Mohon tunggu...
Felix Sevanov Gilbert (FSG)
Felix Sevanov Gilbert (FSG) Mohon Tunggu... Freelancer - Fresh Graduate Ilmu Politik UPN Veteran Jakarta. Intern at Bawaslu DKI Jakarta (2021), Kementerian Sekretariat Negara (2021-2022), Kementerian Hukum dan HAM (2022-2023)

iseng menulis menyikapi fenomena, isu, dinamika yang kadang absurd tapi menarik masih pemula dan terus menjadi pemula yang selalu belajar pada pengalaman

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop Pilihan

Polemik Petani Milenial, Unggulan Namun Memilukan

3 Februari 2023   20:00 Diperbarui: 3 Februari 2023   20:02 152
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bisnis. Sumber ilustrasi: Unsplash

Belum lama sedang viral di jagat dunia maya mengenai Petani Milenial. Rasa penasaran menghantui seketika membuka narasi yang terkandung dalam tren yang muncul ternyata adalah sebuah polemik alias 'kegagalan' dari program yang sangat fenomenal tersebut. 

Yang saya tahu sekilas ialah program ini lahir dari permasalahan di kalangan anak muda khususnya di Provinsi yang dikenal sebagai lumbung padi Nasional namun lumbung padi tersebut terancam 'hilang' dikarenakan generasi penerus tidak mau melanjutkan bahkan mengembangkan pertanian yang relevan di masa sekarang dengan harapan bahwa Lumbung Pangan Nasional itu tak berubah begitu saja menjadi Lumbung Besi atau Industri yang memang sudah sangat menjamur di Provinsi Jawa Barat. 

Saya teringat kampanye mengenai program ini kurang lebih pada saat pandemi, yaitu prinsipnya ialah Pemerintah Provinsi ingin memastikan bahwa krisis pangan Nasional yang sebagian terjadi akibat pertumbuhan ekonomi yang akan muncul di masa yang akan datang sementara tidak dibarengi dengan ketahanan pangan diakibatkan krisis kesehatan di masa pandemi menghambat laju pertumbuhan pangan sehingga konsekuensi yang diambil Pemerintah Provinsi bergerak dengan menata kembali ruang lahan yang ada guna didorong menjadi pertanian. 

Namun, yang menjadi masalah ialah ketika bonus demografi yang berjalan di Jabar bahkan sudah mulai memasuki puncak tidak dibarengi dengan pertumbuhan pertanian di Jabar. Wajar saja, sekalipun di provinsi ini ada Institut Pertanian, lantas lulusannya mayoritas tidak ada yang bertani, malah bekerja di sektor lain yang lebih 'rezeki'. Petani sekarang tidak seperti petani yang dulu, nyatanya memang menghadapi ironi dimana disisi lain semangat swasembada akan dihidupkan namun kita perlu realistis melihat bahwa pertumbuhan penduduk dan industri guna menyerap lapangan kerja seakan menjadi sebuah kontradiksi didalamnya.

Maka lahirlah gerakan ini bahkan belum lama juga gerakan ini memang sudah mencapai hasil yang setidaknya bisa menjadi sebuah prestasi ketika teringat juga muncul di suatu acara di stasiun TV berita swasta. Tentang pentingnya membangun minat anak muda untuk membangun kampung dengan bertani skala modern. 

Seolah narasi yang muncul cenderung manis dimana menekankan pada narasi bahwa jembatan itu sudah ada, yaitu inovasi mulai dari pemilihan lahan yang potensial, kemudian peluang pasar, komoditas apa yang ditanam, proses pendataan dan pengembangan kapasitas dari pelaku pertanian hingga pada fasilitasi akan benih, bibit unggul, peralatan serta pestisidanya sampai pada skema pembiayaan dan jaminan untuk pemasarannya.

Semua based on technology, seperti yang kita tahu bahwa visi Jabar Juara selama ini selalu mengedepankan pada kekuatan teknologi dan digitalisasi dengan harapan bahwa langkah yang dilakukan berjalan secara presisi. Ingat sekali bahwa saat itu Pemprov sangat gencar mencari anak muda bekerjasama dengan perguruan tinggi untuk turut serta dalam program pengabdian masyarakat ini yang tentu disambut baik karena saat krisis seperti ini memang pangan adalah sebuah bentuk kewajiban yang ditangani dan tentunya apabila dilakukan secara optimal lantas mampu menciptakan wirausaha wirausaha baru. 

Prinsipnya adalah industrialisasi bukan sekedar pada jasa melainkan pertanian juga skalanya demikian. 

Skema ini juga bekerjasama dengan BUMD yaitu PT Agro Jabar sebagai avalist kemudian menggandeng perusahaan-perusahaan swasta sebagai offtaker yang memberikan jaminan atas modal pertanian dan berjanji untuk mendampingi pemasarannya juga sama halnya program inkubator namun dalam konteks pertanian. Semua menggunakan APBD Jabar dibawah koordinasi Biro Perekonomian Provinsi. Begitu juga dengan akses permodalan dijamin oleh PT Bank BJB selaku Jasa Keuangannya. Namun apa daya, baru saja berjalan 2 tahun. 

Masalah pun terjadi, ketika masing-masing stakeholders yang terkait hanya terkessan manis mendampingi di awal tapi begitu ada masalah didalamnya yaitu soal kepastian kebutuhan pertanian juga berjalan berikut proses tanam hingga panen bisa dipastikan berjalan baik sampai pada pemasarannya. Malah, mereka terkesan serampangan bahkan tidak terukur dimana jika ada masalah mereka saling lempar tanggungjawab ihwalnya sebuah birokrasi. 

Bahkan karena proses atau mekanisme yang berjalan sembarang membuat adanya pemborosan dimana mereka juga sekalipun ada APBD musti modal dahulu yang mana itu adalah pinjaman dari Bank BJB itu sendiri. Ketika janji untuk memasarkan produk belum lagi soal menjamin kerugian yang terjadi akibat risiko-risiko pertanian untuk segera ditanggung tak kunjung diakomodir. Akhirnya yang menjadi kasihan adalah nasib para petani muda tersebut yang tak tahu harus bagaimana. 

Lucunya lagi, ketika gelombang per gelombang petani milenial terus direkrut bukan malah menjadi evaluasi atas berbagai kesalahan malah justru dibiarkan begitu saja sambil meraup banyak peserta yang nyatanya akan mengalami hal serupa. Memang ada berita keberhasilan, namun kegagalan juga tak sedikit dan selayaknya pula dievaluasi dan ditata kembali. 

Tentu menyedihkan memang, ketika pencitraan tidak dibarengi dengan semangat berkelanjutan bukan hanya pada narasi di awal saja. Ibarat kata konsistensi mereka pun dipertanyakan, ketika petani milenial harus menghadapi rentetan masalah yang tidak kecil.

Dimana secara fundamental masalah pertanian memang tidak bisa sembarang, namun seolah mereka lepas tangan dan tetap main aman bahwa program ini berjalan efektif. Lemahnya koordinasi dan tatakelola berdampak pada sinergi yang terbangun menjadi berantakan. Yang menyedihkan dan dikhawatirkan bahwa kepercayaan untuk kembali bertani jadi semakin urung. Padahal anak muda ini tentu masih punya harapan namun harapan tersebut terkesan dijual pada narasi-narasi yang ingin dicapai pada kepentingan tertentu bukan pada sesuatu yang sifatnya luas. 

Padahal, jika memang serius tentunya efektif guna memulihkan keadaan ditengah krisis pangan yang terjadi secara global dan tidak berdampak pada Indonesia sebab para generasi muda punya harapan sekaligus jaminan bahwa mereka bisa berproduksi dengan baik. Ibaratnya antara stakeholders terkait tidak melihat dan mengukur sebagaimana kepentingan yang disepakati, bahwa ini bukan sekedar gagah-gagahan bahwa petani muda bisa maju, namun lebih terpenting ini berbicara soal masa depan bahwa ketika negara maju karena industri jangan sampai tanah alami yang menghasilkan pangan ketinggalan alias tidak mandiri.

Sedihnya ketika sempat viral polemik ini di media sosial. Banyak reaksi dari berbagai pihak hingga sempat disikapi dengan narasi yang tak elok seolah mereka sudah banyak berbuat. Bahkan terkesan tidak ada koordinasi sebagaimana mestinya ketika Wakil Gubernur Jabar malah mengatakan bahwa seharusnya mereka bersyukur ketika dibantu, dikala PT yang ditunjuk untuk menjadi offtaker diam seribu bahasa, dimana hutang tak kunjung dibayar dan PT Agro saat itu hanya membantu seadanya namun dijawab oleh pemimpin seperti itu. 

Namun begitu sampai kabarnya kepada Gubernur, akhirnya dia meminta maaf dan memerintahkan PT Agro untuk menanggung hutang yang sudah mencecah angka miliaran tersebut, akibat kegagalan dan juga ketidakberdayaan untuk menjamin semua bisa berjalan on the track. Hanya main aman sekali lagi pada mencari lapangan baru tanpa memikirkan lapangan yang lama bisa sepenuhnya sukses. Sukses memang tapi jangan lari dari kenyataan bahwa yang gagal juga bisa terjadi dan selayaknya dievaluasi sekaligus diperbaiki. 

Rata-rata memang masalah terjadi di hilir tapi keseimbangan antara hulu dan hilir juga musti diperhatikan. Kuncinya adalah pola komunikasi dan sinergi dalam membangun komitmen itu penting. Karena menjadi kasihan kalau memang sepenuhnya gagal. Sehingga jalan satu-satunya adalah Pemprov untuk turun tangan memastikan bahwa jangan ada lagi kasus yang seperti ini apalagi koordinasi dengan lintas stakeholders tadi. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun