Pembuka
Di usia 18-20-an awal, hidup sering terasa seperti buku PR kosong... yang harus dikumpulkan besok. Kita sering kali merasa dipaksa untuk menentukan jalan hidup, padahal baru saja menapak ke dunia nyata . Ketika teman-teman kita seolah sudah tahu kemana arah mereka, kita malah bingung dan merasa tertinggal.
Terus banyak dari kita punya mimpi. Ingin jadi seniman, pengusaha, penulis, arsitek, atau bahkan sekadar "jadi diri sendiri" tanpa harus memenuhi ekspektasi orang lain. Tapi, makin lama kita hidup, makin kita kenal yang namanya realitas.
Realitas dan Tekanan SosialÂ
Realitas itu keras. Biaya hidup terus naik, cari kerja makin susah, persaingan makin sengit. Belum lagi tekanan dari keluarga, atau rasa minder karena belum "sejauh" orang lain. Kadang, mimpi yang dulu membuat kita semangat, kini terasa begitu jauh untuk dicapaiÂ
Pada akhirnya, kita terlalu sering memilih jalur aman---pekerjaan yang menjanjikan gaji tetap, jurusan yang pasti ada peluang kerjanya---tanpa benar-benar mempertimbangkan apa yang kita cintai. Tapi, Jika kita terus berjalan di jalur yang aman, lantas apa gunanya mimpi yang dulu kita perjuangkan?Â
Belajar dari Tan Malaka
Tan Malaka pernah berkata, "Tujuan pendidikan ialah menuntun segala kekuatan kodrat yang ada pada anak-anak agar mereka sebagai manusia dan sebagai anggota masyarakat dapat mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya."
Tan Malaka bukan sekadar tokoh revolusi. Ia adalah guru, filsuf, dan pemimpi keras kepala yang mengembara dari Belanda hingga Filipina---membawa satu gagasan: pendidikan adalah alat pembebasan.
Ia bukan hanya seorang tokoh revolusi, tapi juga seorang pembelajar yang menghidupi ide-idenya . Di zaman yang sulit, ia menyadari bahwa pendidikan bukan hanya soal mengumpulkan nilai, tetapi tentang bagaimana kita bisa berpikir bebas, kritis, dan merdeka dalam menghadapi kenyataan hidup