Seandainya waktu bisa terulang, aku ingin kembali ke malam-malam sederhana di rumah kami.
Ibu baru pulang dari rumah sakit seragam susternya sudah tergantung di kursi, tapi matanya belum lelah. Di depan mesin jahitnya, ia menyatukan potongan kain jadi taplak meja, sementara aku duduk di lantai, menulis PR yang mulai terasa membosankan.
Kadang aku pura-pura menguap, berharap ia tak lagi memperhatikan.
Tapi ibu selalu punya mata di mana-mana.
"Sudah diperiksa ulang?" tanyanya tanpa menoleh.
Aku terdiam.
Beberapa menit kemudian, ia datang, melihat hasil tugasku, dan menunjuk angka merah yang melingkar jelas.
Ia tidak marah. Tapi ia menyuruhku duduk diam di situ, berjam-jam kalau perlu, sampai aku paham di mana letak salahnya.
Aku kesal, kadang menangis diam-diam. Tapi malam itu juga, di sela suara mesin jahit, ibu berkata pelan,
"Ibu cuma ingin kamu belajar sabar. Hidup nggak bisa buru-buru, Nak."
Sekarang aku baru mengerti.
Yang dulu terasa seperti hukuman, ternyata adalah pelajaran tentang ketekunan.
Yang dulu membuatku takut, justru menanamkan keberanian.
Kalau waktu bisa terulang, aku tak ingin memperbaiki nilai merah itu.
Aku hanya ingin satu malam lagi bersama ibu duduk diam di bawah cahaya lampu pijar, mendengar suara jahitannya, dan belajar arti cinta dari kesabaran yang tidak banyak bicara.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI