Mohon tunggu...
Febry Prameshwari Putri
Febry Prameshwari Putri Mohon Tunggu... Mahasiswa Hukum

Menulis tentang Self Development, Growth Mindset, Personal Opinion, Isu-isu Terkini & Memberikan Solusi

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Institusi Rawan Intervensi Negara

16 Oktober 2025   19:42 Diperbarui: 17 Oktober 2025   06:38 24
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sejak masa reformasi, Indonesia banyak berjuang agar lembaga negara bersifat mandiri dan tidak mudah dikuasai oleh kekuasaan eksekutif atau swasta. Namun belakangan ini, sejumlah sorotan menunjukkan bahwa lembaga-lembaga penting negeri ini tetap berada dalam zona rawan intervensi   tak selalu melalui cara terang-terangan, tetapi lewat regulasi, tekanan politik, atau mekanisme keuangan yang menjeratnya. Saya menulis ini bukan sekadar untuk mengritik, melainkan untuk menyadarkan kita bahwa menjaga independensi institusi negara adalah tugas kolektif warga dan pemerintahan.

Baru-baru ini, survei Indikator Mei 2025  kembali membuka catatan menarik: TNI menjadi lembaga negara yang paling dipercaya publik, dengan tingkat kepercayaan mencapai 85,7 % (23,9 % sangat percaya dan 61,8 % cukup percaya). Di posisi kedua ada presiden (82,7 %), sedangkan Kejaksaan Agung berada di kisaran 76 %. Angka-angka ini menarik karena meskipun tingkat kepercayaan lembaga hukum relatif tinggi, tetap ada ruang skeptisisme dan kerentanan terhadap tekanan kekuasaan yang belum sepenuhnya tertutup.

Salah satu konteks paling nyata adalah putusan Mahkamah Konstitusi mengenai status Lembaga Penjamin Simpanan (LPS). MK menyatakan bahwa LPS adalah lembaga independen dan harus bebas dari intervensi politik. Namun undang-undang yang mengatur penguatan sektor keuangan (termasuk pembentukan badan supervisi LPS oleh DPR) kerap ditafsirkan oleh sebagian pihak sebagai potensi "pintu belakang" untuk mengintervensi lembaga yang seharusnya mandiri. Ketika regulasi yang semula dirancang untuk pengawasan berubah menjadi alat kontrol politis, independensi yang diidealkan bisa nyaris dilucuti dari dalam.

Tak cukup di sana, institusi pemberantasan korupsi pun tidak luput dari sorotan. Setelah revisi UU KPK lewat UU No. 19/2019, banyak kalangan menilai bahwa fleksibilitas anggaran dan mekanisme pengangkatan pimpinan KPK kini lebih terpapar pengaruh politik. Lembaga yang dulu memiliki ruang relatif besar dalam tindakannya kini harus lebih berhati-hati terhadap tekanan kelembagaan, baik lewat publik maupun struktural. Bila lembaga anti-korupsi yang berani melakukan penegakan hukum terhadap elite politik dalam kondisi mandiri pun mulai tertekan, maka apa lagi yang tersisa dari institusi negara ini yang benar-benar prima?

Intervensi lembaga tidak selalu berupa panggilan langsung atau instruksi eksplisit. Bentuk yang lebih halus adalah kontrol anggaran ketika lembaga tergantung pada alokasi yang sewenang-wenang atau revisi undang-undang yang mengurangi kewenangan kritis mereka. Ada pula intervensi lewat proses pengangkatan pejabat, di mana aktor luar bisa memberi tekanan terselubung. Jika lembaga menjadi "bergantung pada goodwill" penguasa, maka independensi hanya jadi slogan formal tanpa substansi.

Kerusakan yang muncul dari lembaga yang mudah diintervensi begitu nyata. Pertama, legitimasi lembaga merosot: publik akan kehilangan keyakinan bila sering melihat lembaga didekati atau dikendalikan kekuasaan. Kedua, penegakan hukum berpotensi menjadi selektif: kasus-kasus tertentu bisa diperlakukan berbeda tergantung pada kepentingan kekuasaan. Ketiga, sistem kontrol internal dan eksternal melemah membuka ruang bagi korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) tumbuh subur di balik "independensi semu."

Untuk membendung kerawanan ini, kita butuh dua aspek yang jalan beriringan: aspek hukum dan aspek sosial. Di ranah hukum, perlu regulasi yang menyokong kelembagaan independen agar tidak mudah direvisi demi kepentingan sesaat contohnya alokasi anggaran independen, mekanisme pengangkatan pejabat yang transparan, serta perlindungan konstitusional bagi lembaga kritis. Di sisi sosial, peran aktif masyarakat dan media amatlah vital: setiap potensi intervensi harus dikawal, dilaporkan, dan dikritisi. Suara warga bukan hanya pasif memantau, tapi juga menuntut akuntabilitas menjadi benteng terakhir agar institusi negara tidak menjadi alat kekuasaan.

Saya yakin bahwa selama dominasi pusat tidak dibatasi dengan jelas, dan ruang intervensi tetap lebar, ancaman terhadap institusi negara akan terus muncul dalam bentuk baru. Oleh karena itu, sebagai warga negara, kita tidak cukup hanya menjadi pengamat; kita mesti menjadi advokat bagi independensi lembaga. Hukum yang adil, negara yang demokratis, dan lembaga negara yang benar-benar bebas itu bukan utopia jika kita bersama-sama menjaga agar tekanan kekuasaan tak merongrong institusi kita.

Sumber

Tingkat kepercayaan publik terhadap lembaga hukum (HukumOnline)
https://www.hukumonline.com/berita/a/tingkat-kepercayaan-publik-terhadap-lembaga-hukum--kejagung-tertinggi-lt65afca1bbb519/

Putusan MK: LPS sebagai lembaga independen & bebas intervensi (MKRI)
https://mkri.id/berita/mk-tegaskan-lps-sebagai-lembaga-independen-dan-bebas-dari-intervensi-politik-22029

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun