Setiap pagi, ribuan pekerja urban bergegas menuju stasiun atau halte, berpacu dengan waktu dan kemacetan. Di balik rutinitas itu, ada satu hal yang jarang disadari: biayaian yang diam-diam menggerogoti gaji. Seperti "silent killer" keuangan, pengeluaran untuk ojek online, angkot, dan moda penghubung lainnya sering kali lebih besar dari tiket utama seperti KRL atau Transjakarta.
"Saya pikir saya boros, ternyata uang saya habis di jalan," ujar Rani, pekerja swasta asal Bekasi. Ia mengaku menghabiskan hampir Rp40.000 per hari hanya untuk pergi dan pulang kerja, padahal tiket KRL-nya cuma Rp3.000 sekali jalan.
Fenomena ini bukan kasus sosial, semakin banyak pekerja Jabodetabek yang membagikan pengalaman serupa. Mereka mulai sadar bahwa biaya "first mile" dan "last mile"---yaitu perjalanan dari rumah ke stasiun dan dari stasiun ke kantor---adalah jebakan keuangan yang tak terlihat.
Biaya First Mile dan Last Mile---Ojek Online vs Tiket KRL
Mari kita hitung. Dari rumah ke stasiun, rata-rata pengguna ojek online harus merogoh kocek Rp15.000--Rp20.000. Tiket KRL hanya Rp3.000. Lalu lanjut Transjakarta Rp3.500. Total biaya harian bisa mencapai Rp40.000--Rp50.000, tergantung jarak dan moda yang digunakan.
Ketimpangan ini mencolok. Moda utama seperti KRL dan Transjakarta memang disubsidi, tapi akses ke moda tersebut tidak. Akibatnya, pekerja yang tinggal di pinggiran seperti Depok, Bekasi, atau Tangerang justru mengeluarkan biaya transportasi lebih besar.
Data dari Kementerian Perhubungan menunjukkan bahwa warga Bekasi dan Depok termasuk yang paling tinggi pengeluaran transportasinya. "Kalau dihitung, biaya ojek lebih mahal dari tiket kereta. Tapi tanpa ojek, saya nggak bisa sampai stasiun," kata Andi, pekerja startup di Jakarta Selatan.
Ironisnya, subsidi transportasi justru tidak menyentuh titik-titik krusial seperti moda penghubung. Ini menciptakan ketergantungan pada ojek online, yang tarifnya fluktuatif dan tidak terjangkau semua kalangan.
Strategi Bertahan---Nebeng, Bersepeda, atau Pindah Kos?
Di tengah tekanan biaya, banyak pekerja mulai mencari cara bertahan. Salah satunya dengan nebeng teman. "Saya nebeng teman kantor yang lewat rumah saya. Lumayan hemat Rp20.000 per hari," ujar Dita, pegawai bank di Sudirman.
Alternatif lain adalah bersepeda. Meski lebih murah, tantangannya besar: keamanan, cuaca, dan minimnya jalur sepeda yang aman. Beberapa bahkan memilih pindah kos ke Jakarta, meski harus mengorbankan kenyamanan dan biaya sewa yang lebih tinggi.
"Saya pindah kos bukan karena nyaman, tapi karena capek bayar ojek tiap hari," kata Yoga, pekerja kreatif yang sebelumnya tinggal di Cibubur.
Di sisi lain, Transjabodetabek mulai muncul sebagai harapan baru. Bus ini menjangkau wilayah pinggiran dan terintegrasi dengan Transjakarta. Namun, jangkauannya masih terbatas dan belum bisa menjadi solusi massal.
Perlu Solusi Sistemik, Bukan Sekadar Subsidi
Masalah ini tidak bisa diselesaikan dengan subsidi tiket semata. Tanpa integrasi moda dan tarif, pekerja tetap akan terjebak dalam pengeluaran harian yang tidak efisien.
Solusi sistemik dibutuhkan: feeder gratis dari pemukiman ke stasiun, integrasi tarif antarmoda, dan perluasan rute ke wilayah padat penduduk. Tanpa itu, pekerja akan terus mencari jalan pintas yang tidak selalu aman atau nyaman.
"Kalau sistemnya adil, kami nggak perlu cari jalan pintas," ujar Rani.
Pertanyaannya: berapa banyak gaji kita yang hilang di jalan, tanpa kita sadari?
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI