Mohon tunggu...
H Febriyanto Chrestiatmojo
H Febriyanto Chrestiatmojo Mohon Tunggu... Penulis

Menyajikan artikel berisi tips-tips yang relevan dengan isu dan tema pilihan saat itu—dengan gaya reflektif, aplikatif, dan mengundang dialog.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Biaya Transportasi Lebih Mahal dari Tiketnya? Ini Jebakan Keuangan Pekerja Urban

13 Agustus 2025   09:00 Diperbarui: 13 Agustus 2025   06:39 19
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(Dok. Pribadi dibuat dengan. AI)

Setiap pagi, ribuan pekerja urban bergegas menuju stasiun atau halte, berpacu dengan waktu dan kemacetan. Di balik rutinitas itu, ada satu hal yang jarang disadari: biayaian yang diam-diam menggerogoti gaji. Seperti "silent killer" keuangan, pengeluaran untuk ojek online, angkot, dan moda penghubung lainnya sering kali lebih besar dari tiket utama seperti KRL atau Transjakarta.

"Saya pikir saya boros, ternyata uang saya habis di jalan," ujar Rani, pekerja swasta asal Bekasi. Ia mengaku menghabiskan hampir Rp40.000 per hari hanya untuk pergi dan pulang kerja, padahal tiket KRL-nya cuma Rp3.000 sekali jalan.

Fenomena ini bukan kasus sosial, semakin banyak pekerja Jabodetabek yang membagikan pengalaman serupa. Mereka mulai sadar bahwa biaya "first mile" dan "last mile"---yaitu perjalanan dari rumah ke stasiun dan dari stasiun ke kantor---adalah jebakan keuangan yang tak terlihat.

Biaya First Mile dan Last Mile---Ojek Online vs Tiket KRL

Mari kita hitung. Dari rumah ke stasiun, rata-rata pengguna ojek online harus merogoh kocek Rp15.000--Rp20.000. Tiket KRL hanya Rp3.000. Lalu lanjut Transjakarta Rp3.500. Total biaya harian bisa mencapai Rp40.000--Rp50.000, tergantung jarak dan moda yang digunakan.

Ketimpangan ini mencolok. Moda utama seperti KRL dan Transjakarta memang disubsidi, tapi akses ke moda tersebut tidak. Akibatnya, pekerja yang tinggal di pinggiran seperti Depok, Bekasi, atau Tangerang justru mengeluarkan biaya transportasi lebih besar.

Data dari Kementerian Perhubungan menunjukkan bahwa warga Bekasi dan Depok termasuk yang paling tinggi pengeluaran transportasinya. "Kalau dihitung, biaya ojek lebih mahal dari tiket kereta. Tapi tanpa ojek, saya nggak bisa sampai stasiun," kata Andi, pekerja startup di Jakarta Selatan.

Ironisnya, subsidi transportasi justru tidak menyentuh titik-titik krusial seperti moda penghubung. Ini menciptakan ketergantungan pada ojek online, yang tarifnya fluktuatif dan tidak terjangkau semua kalangan.

Strategi Bertahan---Nebeng, Bersepeda, atau Pindah Kos?

Di tengah tekanan biaya, banyak pekerja mulai mencari cara bertahan. Salah satunya dengan nebeng teman. "Saya nebeng teman kantor yang lewat rumah saya. Lumayan hemat Rp20.000 per hari," ujar Dita, pegawai bank di Sudirman.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun