Mohon tunggu...
H Febriyanto Chrestiatmojo
H Febriyanto Chrestiatmojo Mohon Tunggu... Penulis

Menyajikan artikel berisi tips-tips yang relevan dengan isu dan tema pilihan saat itu—dengan gaya reflektif, aplikatif, dan mengundang dialog.

Selanjutnya

Tutup

Halo Lokal

Aroma Bawang Putih dan Cerita Pedagang yang Tak Pernah Menyerah

2 Agustus 2025   19:00 Diperbarui: 2 Agustus 2025   12:34 29
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi - Bawang putih /dok/canva

Setiap kali saya melangkah ke Pasar Kotagede, Yogyakarta, ada satu aroma yang tak pernah gagal menarik langkah saya: perpaduan bawang putih, lengkuas, dan daun salam yang menguar dari kios kecil di pojok barat pasar. Di sanalah Ibu Rini berjualan bumbu dapur sejak lebih dari dua dekade lalu. Kiosnya tak besar—hanya cukup untuk satu meja kayu dan rak plastik berisi rempah segar dan kering. Tapi dari sudut sederhana itu, saya menemukan pelajaran tentang ketabahan, kehilangan, dan harapan.

Pertemuan pertama saya dengan Ibu Rini terjadi saat membeli bawang merah untuk masakan rumah. Ia menyapa dengan senyum hangat, meski wajahnya tampak lelah. “Kalau mau yang baru panen, ambil yang ini,” katanya sambil menunjuk tumpukan bawang yang masih berembun. Sejak saat itu, saya rutin mampir. Bukan hanya untuk belanja, tapi untuk mendengar cerita hidup yang ia bagi pelan-pelan, di antara aroma rempah dan hiruk pikuk pasar.

Bumbu Dapur dan Keteguhan yang Tumbuh dari Kehilangan

Suatu pagi, saat pasar belum terlalu ramai, saya memberanikan diri bertanya kenapa ia tetap berjualan meski usianya sudah lebih dari 60 tahun. Ibu Rini terdiam sejenak, lalu berkata, “Karena ini satu-satunya yang tersisa.”

Ia bercerita tentang suaminya, Pak Darto, yang dulu selalu membantu menyiapkan dagangan setiap pagi. Bersama, mereka membangun kios itu dari nol—menjual bawang, jahe, kunyit, dan rempah-rempah lain yang mereka beli langsung dari petani. Tapi lima tahun lalu, Pak Darto meninggal karena stroke. Sejak itu, Ibu Rini berjualan sendiri.

“Awalnya berat. Saya sempat berhenti. Tapi tiap pagi, saya merasa ada yang hilang kalau tidak ke pasar,” katanya sambil merapikan daun salam kering.

Keteguhan Ibu Rini bukan berasal dari kekuatan fisik, melainkan dari dorongan untuk tetap berarti. Pasar bukan hanya tempat mencari nafkah, tapi ruang untuk menjaga kenangan dan melanjutkan hidup.

Aroma yang Menyimpan Kenangan dan Kehangatan

Yang membuat kios Ibu Rini istimewa bukan hanya kualitas bumbunya, tapi cara ia merawatnya. Ia menyimpan bawang putih di kantong kain agar tidak lembap, menjemur kunyit dan jahe sendiri, dan selalu memastikan daun jeruknya segar. “Aroma itu penting. Kalau bumbu wangi, masakan bisa jadi penghibur,” ujarnya.

Saya mulai menyadari bahwa aroma bumbu di kiosnya bukan sekadar wangi dapur, tapi juga wangi kenangan. Setiap kali saya mencium bau kencur dari kiosnya, saya teringat cerita tentang Pak Darto yang dulu suka membuat sambal kencur untuk sarapan. Bagi Ibu Rini, bumbu dapur adalah pengikat masa lalu dan penguat hari ini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Halo Lokal Selengkapnya
Lihat Halo Lokal Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun