Pukul 05.30 pagi, saya melangkah ke Pasar Triwindu, Solo, dengan satu tujuan: mencari barang antik sebelum para kolektor tetap datang. Matahari baru menyentuh genteng bangunan tua di kawasan Keprabon, dan para pedagang mulai membuka kios mereka satu per satu. Di sinilah, di tengah denyut kota yang mulai bangun, saya menemukan ruang yang terasa seperti museum terbuka—tempat di mana benda-benda dari masa lalu menunggu untuk diberi kehidupan baru.
Pasar Triwindu bukan sekadar tempat jual beli. Ia adalah ruang narasi, tempat barang-barang berbicara lewat karat, ukiran, dan aroma kayu jati. Dari gramofon tua hingga dakon kayu, setiap benda menyimpan jejak waktu yang tak bisa dibeli di toko modern.
Barang Antik Sebelum Kolektor Menyerbu: Temuan Langka di Jam-Jam Awal
Jika kamu datang cukup pagi, sebelum para kolektor tetap menyisir lapak-lapak, kamu bisa menemukan harta karun yang belum tersentuh. Berikut beberapa benda yang saya temukan dan pelajari langsung dari pedagang:
- Gramofon asli era 1930-an: Masih berfungsi, dengan suara khas piringan hitam yang serak tapi hangat.
- Guci Qianlong replika: Ukiran tangan yang nyaris menyerupai versi museum, cocok untuk dekorasi atau koleksi.
- Jam dinding bandul dari Belanda: Lengkap dengan lonceng dan ukiran kayu, masih berdetak pelan.
- Kain batik lawas cap tangan: Motif klasik yang sudah tidak diproduksi lagi, dengan warna yang memudar indah.
- Dakon kayu jati: Mainan tradisional yang kini jadi barang koleksi bernilai tinggi.
Pedagang seperti Pak Komet, generasi ketiga di pasar ini, tahu persis asal-usul barangnya. Ia bisa bercerita tentang siapa pemilik sebelumnya, dari mana barang itu berasal, dan bagaimana ia mendapatkannya. “Ini bukan cuma jualan, Mas. Ini warisan,” katanya sambil membungkus jam dinding yang saya beli.