- Bawa alas duduk atau kain. Banyak pertunjukan berlangsung di pelataran terbuka tanpa kursi.
- Ajak anak-anak. Pertunjukan seperti wayang, tari tradisional, dan musik lesung sangat edukatif dan menyenangkan.
- Jangan malu berinteraksi. Beberapa pertunjukan mengajak penonton ikut menari atau memainkan alat musik.
Saya sendiri ikut memainkan lesung bersama anak-anak, dan itu menjadi momen paling menyenangkan hari itu. Interaksi langsung membuat seni terasa lebih hidup dan inklusif.
Seni dan Ekonomi: Dua Denyut yang Saling Menguatkan
Pasar Raya juga menjadi ruang ekonomi kreatif. Selain pertunjukan, ada lebih dari 80 pelaku UMKM yang menjual produk khas daerah: batik, jamu, kerajinan bambu, dan kuliner jadul seperti jenang, serabi, dan klepon. Saya membeli lukisan kecil dari pelukis lokal yang sedang melukis langsung di lapaknya. "Kalau seni tidak hadir di pasar, kita kehilangan separuh jiwa pasar," katanya.
Saya setuju. Pasar bukan hanya soal harga, tapi soal rasa. Dan rasa itu hadir lewat seni, tradisi, dan interaksi manusia. Di sini, transaksi bukan hanya ekonomi, tapi juga emosional dan kultural.
Ketika Pasar Menjadi Ruang Pulang Budaya
Saya pulang dari Pasar Raya dengan batik, jenang, dan satu hal yang tak bisa dibeli: rasa bangga. Bangga karena di tengah gempuran digital dan pasar modern, masih ada ruang di mana budaya hidup, bukan sekadar dipajang.
Pasar ini mengajarkan saya bahwa pertunjukan rakyat tidak harus di gedung mewah. Ia bisa hidup di tengah pasar, di antara tumpukan sayur dan suara tawar-menawar. Dan selama ada ruang seperti ini, tradisi akan terus bernapas.
Pasar Raya bukan hanya event tahunan, tapi simbol bahwa budaya bisa tetap relevan jika diberi ruang untuk tumbuh bersama masyarakat. Ia adalah bukti bahwa seni dan ekonomi bisa berjalan beriringan, saling menguatkan, dan membentuk ekosistem yang sehat.