Mohon tunggu...
H Febriyanto Chrestiatmojo
H Febriyanto Chrestiatmojo Mohon Tunggu... Penulis

Menyajikan artikel berisi tips-tips yang relevan dengan isu dan tema pilihan saat itu—dengan gaya reflektif, aplikatif, dan mengundang dialog.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Kenapa Aku yang Justru Gagal Menjaga?

20 Juli 2025   19:00 Diperbarui: 20 Juli 2025   16:25 29
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
FotoKenapa Laki-Laki Mudah Tergelincir? Sumber: Freepik.com

Aku tahu aku salah. Bahkan sebelum dia menangis malam itu, sebelum suara pintu ditutup terlalu pelan, dan sebelum teleponku tak lagi berbunyi dengan pesan “udah makan?”—aku tahu aku telah mengambil langkah yang bukan milikku.

Namaku Rama. Usia empat puluh dua. Dua anak. Istri yang baik, sabar, dan pernah jadi teman tertawaku paling lepas. Tapi entah sejak kapan, tawa itu mulai pelan, komunikasi jadi teknis, dan aku... jadi pria yang mendua.

Tak ada skandal. Hanya obrolan makan siang yang berubah jadi rasa nyaman. Teman kerja yang tahu kapan aku gelisah, yang bilang “kamu kelihatan capek, istirahatlah.” Sesuatu yang istriku pun mungkin ingin katakan, tapi terhalang oleh rutinitas yang menumpuk dan ekspektasi diam-diam bahwa sebagai pria, aku kuat dan tidak perlu dirawat.

Aku dibesarkan dengan ajaran “laki-laki harus tahan banting.” Tak perlu banyak bicara. Tak boleh cengeng. Maka aku belajar menahan. Menahan kecewa, menahan lelah, menahan kerinduan untuk disapa dengan lembut. Lalu, ketika seseorang di luar rumah berkata hal sederhana seperti “aku khawatir kamu terlalu keras ke diri sendiri,” tubuhku bereaksi seperti menemukan air di gurun.

Apakah itu alasan yang cukup? Tidak. Tapi itu nyata.

Saat ketahuan, istriku hanya berkata, “Kenapa kamu nggak bilang kalau butuh perhatian?” Pertanyaan itu menghantam lebih keras dari amarah. Karena aku sadar: aku sendiri tidak tahu bagaimana caranya meminta.

Kami bicara lama. Dia menangis. Aku hanya diam. Lalu dia bilang, “Aku bukan nggak mau jadi tempat pulangmu. Tapi kamu nggak pernah datang dengan jujur.”

Dan di sanalah aku mulai mengerti: bahwa selingkuh bukan hanya soal tubuh yang berpaling, tapi hati yang tak berani bicara. Kami dibentuk oleh dunia yang memaksa laki-laki untuk selalu mengerti, tapi tidak memberi ruang untuk dimengerti.

Di sisi lain, aku juga melihat luka dari sudut pandangnya. Ia kecewa bukan karena aku jatuh cinta pada orang lain, tapi karena aku tidak memilih untuk jatuh cinta padanya lagi—dengan cara yang dewasa, yang repot, yang rumit tapi sah.

Benarkah selingkuh tidak bisa diobati?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun