Jam di dinding kantor menunjukkan pukul 07.15. Biasanya, itu waktu paling sibuk: email berdatangan, meeting pertama sebentar lagi. Tapi pagi itu berbeda. Aku berdiri di depan meja supervisor, menyodorkan surat izin sehari. Bukan sakit. Bukan urusan dinas. Hanya satu alasan: anakku masuk sekolah untuk pertama kalinya.
Supervisor mengangguk sambil tersenyum, mungkin sudah tahu jawabannya bahkan sebelum membaca surat. "Selamat jadi pengantar mimpi, Pak," katanya. Ringan, tapi cukup membuat dada bergemuruh.
Di rumah, istri sudah sibuk menyiapkan bekal dan menyetrika seragam kecil yang baru kami beli minggu lalu. Putriku, Aluna, berdiri di depan cermin sambil merapikan rambut. Ekspresinya campur aduk: antusias, gugup, dan sedikit bingung. Ia sudah bolak-balik bertanya, "Nanti duduknya di mana?" atau "Bu guru galak nggak?" Aku jawab seadanya, tapi tahu bahwa ketakutannya bukan soal tempat duduk---melainkan tentang memasuki dunia baru.
Kami berangkat lebih pagi. Di perjalanan, aku mengingat lagi bagaimana dulu ayahku mengantariku. Ia naik motor tua, memelukku sebelum masuk gerbang, lalu diam-diam berdiri jauh memantau sampai aku benar-benar masuk. Dulu aku tak mengerti, tapi pagi itu aku seperti merasakan ulang semua perasaannya---rasa khawatir, haru, dan semacam perpisahan kecil.
Di gerbang sekolah, suasana ramai. Anak-anak berdiri dengan tas baru, sebagian menangis, sebagian memeluk erat orang tuanya. Di antara keramaian itu, aku menggenggam tangan Aluna lebih kuat.
"Yakin berani?" tanyaku.
Ia mengangguk ragu, lalu mencubit jemariku perlahan. Mungkin itu kode: "Belum sepenuhnya."
Aku jongkok dan menatap matanya, seperti ingin mentransfer semua keberanian yang kumiliki. "Kamu nggak harus langsung hebat hari ini. Yang penting berani masuk dulu."
Ia tersenyum kecil, lalu melangkah pelan ke barisan. Satu guru menghampiri dan menyapanya. Aku tak tahu apa yang mereka bicarakan, tapi wajah Aluna mulai merekah. Ia menoleh sebentar, melambaikan tangan, lalu bergabung ke dalam.
Di balik gerbang itu, ia resmi menjadi murid. Aku, resmi menjadi orang tua yang melepaskan.