Mohon tunggu...
Febby Fortinella Rusmoyo
Febby Fortinella Rusmoyo Mohon Tunggu... -

i'm just an ordinary girl in an EXTRA-ordinary world...

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Masuk Koran (dimuat di Haluan Riau, 2012)

3 Maret 2014   21:16 Diperbarui: 24 Juni 2015   01:17 49
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Keramaian di alun-alun Jam Gadang sudah mulai menyesak. Suara tiupan terompet, balon anak-anak, riuh rendah percakapan para pengunjung, dan cekakakan remaja, terdengar bercampur-aduk. Memekakkan telinga dan memusingkan kepalaku yang sesungguhnya kurang suka keramaian. Tapi disinilah aku saat ini. Dengan kedua temanku, pasangan suami istri Delfi dan Delon yang dengan nyentriknya sudah memasang bando berbentuk tanduk setan di atas kepala mereka masing-masing.

Ponselku bernyanyi, dari Bang Remon. “Ya, Bang?”

“Kamu dimana, Dek?”

“Di dekat Jam Gadang, Bang. Abang sudah sampai?”

“Sudah. Kamu kesini lah. Abang malas melewati kerumunan di tengah itu.”

“Abang dimana?”

“Di depan Rumah Makan Simpang Raya, yang arah pasar.”

Aku kurang hafal dengan daerah ini. Tapi Delfi yang sudah lebih sering kesini, mengetahui lokasi yang dimaksud. Kami segera menuju kesana. Tidak terlalu susah menemukan Bang Remon di tengah keramaian, mengingat tubuhnya yang tinggi, besar, hitam seperti Mike Tyson. Aku segera mendekatinya.

“Abang naik apa?”

“Sepeda motor.”

“Dimana parkirnya?”

“Tuh…” Dia menunjuk tak jauh dari tempat kami berdiri. Aku hanya mengangguk.

“Sudah ada atraksi apa saja?” tanya Bang Remon tentang acara malam Tahun Baru yang mungkin terlewati olehnya.

“Belum ada, jamnya masih ditutup kain.”

“Hmm, mungkin nanti menjelang jam 12.” Abang melihat ke arlojinya. Memang baru pukul 10 malam.

“Kita nunggu disini aja?” tanyaku.

“Adek maunya kemana?”

Nggak tahu juga.”

“Delfi, di dekat sini ada kafe nggak?” tanya Bang Remon.

“Kayaknya ada, Bang. Di sebelah sana,” tunjuk Delfi.

“Kita ke kafe ajalah ya. Abang haus.”

“Oke,” jawabku.

Kami bertiga berjalan kaki saja menuju kafe itu. Kebetulan tidak terlalu jauh. Lagipula cukup sulit berkendara dengan kerapatan pengunjung seperti sekarang ini.

Kafe itu terbuat dari kayu artistik, dengan penerangan remang-remang yang mendukung suasana bagi pasangan yang ingin menghabiskan malam. Topeng Kepala Suku Indian dengan bulu panjang di kepalanya yang digantung di pintu kafe seolah menyambut pengunjung dengan nuansa eksotis. Kami memilih tempat duduk lesehan. Aku berdampingan dengan Bang Remon, di depan kami Delfi dan Delon. Seorang pelayan pria menghampiri kami sambil membawa menu dan catatan kecil untuk menulis pesanan.

“Pesan apa, Dek?” tanya Bang Remon padaku.

“Kopi ginseng hangat, makannya Beef Burger aja.”

“Kalian?” Bang Remon beralih ke Delfi dan Delon.

“Aku Coca Cola aja, sama Tuna Sandwich. Ayang apa?” Delfi bertanya pada Delon.

“Sama aja deh dengan Ayang,” jawab Delon.

“Beef Burger dan Guinness, sebotol ya.” Itu pesanan Bang Remon. Aku menggeleng-gelengkan kepala, Delon dan Delfi hanya tersenyum. Tapi aku cukup maklum. Dengan cuaca yang dingin ini, cukup wajar jika dia ingin sedikit menghangatkan tubuh dengan minuman ‘panas’ itu. Tapi sebotol, agak keterlaluan menurutku.

“Nanti kan bagi-bagi, kalian nyobain juga dong,” ujar Bang Remon seolah mengetahui isi kepalaku.

“Pahit!” celetuk Delfi.

“Enak kok!” balas Delon.

“Jadi Ayang mau nyoba juga nih ceritanya?!” Delfi melotot ke suaminya.

Delon hanya terbahak. Bang Remon tersenyum lebar sambil berkata, “Cuekin aja, Lon. Nanti kalau sudah merasakan efeknya di ranjang, dia bakal menyuruh kamu sering-sering minum itu.”

Kedua keturunan Adam itu terbahak. Mereka tahu bahwa Hawa-Hawa mereka takkan sanggup menolak dan melarang mereka menenggak minuman haram itu. Toh mereka akan menikmati ‘hasilnya’ nanti.

Tak lama pesanan datang. Satu botol Guinness itu habis oleh mereka berdua, para Adam, walau porsi Bang Remon tetap lebih banyak.

“Acaranya belum mulai, Bang. Nanti Abang keburu teler,” ujarku mengingatkan.

“Ah, cuma segini mana bakal teler…” tangkis Bang Remon.

Aku hanya menghela nafas. Terserah dialah, asal tidak membuat keributan atau mempermalukan aku saja nantinya.

Sekitar satu jam kami nongkrong di kafe itu, ditemani alunan musik hip hop dari sound system-nya. Setelah puas, kami kembali ke dekat alun-alun. Menunggu acara-acara pergantian tahun yang tak lama lagi akan dimulai.

Mulanya kami berempat berdiri di depan Rumah Makan Simpang Raya, tempatku menemui Bang Remon waktu baru datang. Lalu Delfi dan Delon ingin duduk, sehingga mereka memilih di emperan toko-toko yang sudah tutup sejak senja. Aku dan Bang Remon tetap bertahan di depan rumah makan itu, tapi tak lama kemudian bergeser ke arah yang lebih dekat dengan alun-alun.

Acara sudah mulai berlangsung. Tapi ternyata tidak ada pertunjukan musik. Jam besar itu pun ternyata juga tidak dibuka kain penutupnya. Yang ada hanya letusan-letusan kembang api yang ditembakkan masing-masing pemiliknya. Sedikit kecewa, tapi aku dan Bang Remon tetap menikmati acara itu. Kembang apinya beraneka bentuk, sehingga cukup menyenangkan juga melihatnya.

Kami masih berdiri berdampingan, agak rapat. Bang Remon merangkul bahuku dari belakang. Pose yang tak vulgar menurutku, dan cukup wajar untuk kondisi malam hari dengan cuaca dingin seperti ini. Kami berdiri di dekat sebuah mobil polisi yang berjaga. Entah karena tertutup mobil polisi itu atau karena kami terlalu asyik memandangi kembang api yang meletus-letus di langit, kami tidak menyadari ketika serombongan pria dengan pakaian jubah dan sorban berjalan tergesa-gesa mendekati kami. Ada yang pakaiannya putih dengan sorban yang juga putih, ada juga yang berwarna serba gelap. Mereka semakin mendekati aku dan Bang Remon, dan ternyata mereka memang berniat menghampiri kami.

“Maaf, Pak, Bu. Anda suami istri?” tanya salah seorang dari mereka – yang kemungkinan pemimpin pasukannya – pada Bang Remon.

Jantungku mulai berdebar. Ada apa ini? Aku tidak merasa melakukan kesalahan apa-apa. Sementara itu mataku silau karena seorang yang lainnya membidikkan kamera ke wajahku, wajah kami berdua, seolah-olah kami pezina yang tertangkap basah. Jantungku semakin berdentum, antara jengkel dan malu.

“Tidak,” jawab Bang Remon tenang sambil pelan-pelan melepaskan rangkulannya di pundakku. Sepertinya dia tahu arah pertanyaan ini.

“Muslim kan?” tanya pria berjubah dan bersorban putih itu lagi.

“Ya.”

“Mohon maaf, Pak. Bapak tahu kan bahwa memegang yang bukan muhrim itu dosa?” Dia memberi gestur rangkulan Bang Remon di pundakku tadi. Bang Remon mengangguk.

“Baik, Pak. Kali ini kami maafkan. Tapi besok-besok jangan diulang lagi ya, Pak,” nasihatnya pada kami, seolah-olah dosa kami adalah tanggung jawabnya dan dialah yang berhak menentukan hukuman.

Sekali lagi Bang Remon mengangguk. Agaknya dia tidak ingin mencari gara-gara. Aku cukup bersyukur karena dengan kondisinya yang sudah dipengaruhi alkohol, dia masih bisa bersikap tenang. Aku sudah sempat khawatir, takut kalau dia kehilangan kesadaran dan menantang mereka semua. Dan yang juga kusyukuri, sepertinya mereka tidak mencium aroma alkohol dari mulut Bang Remon, karena mereka tidak mempertanyakan itu.

Selepas mereka pergi, aku dan Bang Remon hanya saling menatap. Ada senyum mengejek di bibirnya. Kami masih melanjutkan menikmati sisa malam tahun baru ini hingga semua kembang api ludes ditembakkan. Setelah itu kami kembali ke hotel, namun tak segera tidur. Di masing-masing ranjang, para Hawa menikmati efek dari minuman setan yang telah ditenggak para Adam.

* * *

Kami melewati pagi hingga siang di hotel, nyaris di kamar saja, selain keluar untuk sarapan dan makan siang. Sorenya, aku dan Bang Remon duduk-duduk di lobi hotel, sekedar bersantai sambil memikirkan akan kemana sore hingga malam nanti. Iseng, aku mengambil koran sore yang baru datang dan diletakkan di rak koran. Aku membolak-balik koran itu. Nyaris semua isinya tentang acara pergantian tahun tadi malam, di kota ini dan sekitarnya. Juga beberapa liputan nasional.

Saat membuka lembaran berita foto, leherku serasa dicekik. Di bawah salah satu foto tertulis, “Pasangan non-muhrim yang tertangkap Laskar Suci ketika sedang berpelukan”, dan foto diatasnya terpampang seorang wanita muda dengan rambut bergelombang melewati bahu, dan di sebelahnya seorang pria berperawakan ala Mike Tyson. “Ternyata aku cantik juga kalau difoto. Pantas saja fotografer sok suci itu nafsu banget menjepretku!” batinku.

Bang Remon yang sedari tadi hanya menonton televisi, ternyata juga sedang memandang foto yang sedang kulihat itu. Kami berdua berpandangan tanpa suara. Seketika Bang Remon berdiri dan bergegas menuju kamar. Aku mengikutinya dari belakang. Segera kami mengemasi semua barang.

(Ruang Semedi,8 Desember 2010)

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun