Ketika dunia berubah begitu cepat, orang mudah kehilangan arah. Semua berlomba menjadi baru, hingga lupa siapa dirinya. Dalam kecepatan itu, bahasa lokal termasuk bahasa Aceh mengingatkan kita untuk melambat sejenak. Sebab di balik setiap kata yang sederhana, tersimpan cara hidup yang bijak: kesabaran, hormat, dan keseimbangan.
"Peumulia jamee," kata orang tua dulu, bukan sekadar sopan santun. Itu adalah filosofi peradaban bahwa manusia hidup untuk saling memuliakan, bukan saling mengalahkan.
Nilai seperti inilah yang dibutuhkan dunia modern yang sering kehilangan makna di tengah kemudahan.
Teknologi mungkin telah mengubah cara kita berbicara, tetapi tidak seharusnya mengubah hati dari ucapan itu. Bahasa Aceh harus terus hidup, bukan hanya di buku pelajaran, tapi di percakapan sehari-hari, di musik, di konten digital, bahkan di ruang-ruang sunyi batin anak mudanya. Sebab bahasa bukan hanya alat bicara; ia adalah cara kita mencintai dunia.
Modernitas yang sejati bukan tentang meninggalkan yang lama, tetapi tentang membawa warisan itu melangkah bersama ke masa depan. Hikayat tidak mati ia hanya berpindah bentuk, dari lembaran naskah tua ke layar sentuh yang bercahaya. Dan hashtag bukan musuh hikayat ia hanyalah bab lanjutan dari kisah yang sama: kisah manusia yang ingin didengar, dipahami, dan dikenang.
Sejauh apa pun dunia melaju, setiap anak Aceh akan selalu punya satu bahasa yang memanggil pulang: bahasa yang mengajarkan mereka tentang damai, hormat, dan cinta.
Dari hikayat ke hashtag dari masa lalu ke masa depan bahasa itu terus bernafas, perlahan tapi pasti, di hati mereka yang tak ingin melupakan asalnya.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI