Mohon tunggu...
Fahmi Aziz
Fahmi Aziz Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

Penikmat kata

Selanjutnya

Tutup

Money

Siap-siap Bypass Petani Go Digital

25 Desember 2019   00:30 Diperbarui: 25 Desember 2019   07:44 154
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi pasar daring pertanian. Sumber: pomidor.id

Sudah ketiga kalinya dalam sehari ini, dia (temanku) membuat story Instagram -- menampilkan dirinya menikmati es kopi susu. Tiap unggahan, tempat membelinya pun juga berbeda. Terlihat dari lokasi yang ditambahkan dalam cerita.

Sebagai orang yang mengamini kenikmatan kopi, muncul rasa kagum terhadap temanku. Untuk kegemarannya, dia rela mengalokasikan bujet yang tak sedikit. Satu cup-nya, taruhlah sekitar Rp 20 ribu. Sehari dia mengkonsumsi 3 kali, berarti Rp 60 ribu per hari. Dikalikan hari dalam sebulan (30 hari), setidaknya total pengeluaran ngopi-nya Rp 1,8 juta per bulan.

Sementara satu cup itu hanya menghabiskan sekitar 40 gram kopi, totalnya selama sebulan sekitar 3,6 kilogram. Itu baru satu orang, belum 10 atau 20 orang. Kalau begitu, buukan berarti petani kopi yang panennya bisa sampai ton-tonan justru untung besar?

Namun nyatanya tidak demikian. Mengutip dari Viva.co.id, dalam penelitiannya, menyebutkan dari secangkir kopi seharga Rp 45 ribu, sebagian besar petani kecil hanya menerima Rp 450.

Daya laba di kebun kopi (hulu) tidak semeriah kedai kopi di perkotaan (hilir). Padahal usaha petani berpuluh-puluh kali lipat ketimbang yang dilakukan barista saat menyeduh. Setidaknya menggiling (grinding) bijih kopi tak sepayah ketika menyemai bibitnya. Menentukan rasio kopi dan air saat penyeduhan tak seberapa rumit ketimbang saat pengajiran benih.

Itu belum termasuk soal modal, ancaman satwa liar yang wilayahnya bersebelahan dengan kebun kopi, tengkulak, kartel harga, impor dan ditambah rantai distribusi yang begitu panjang. Sebenarnya tidak hanya kopi, ketimpangan kondisi hulu dan hilir ini juga dialamai sebagian besar komoditas pertanian. Itulah yang menjadi menurunkan minat anak petani meneruskan mata pencaharian orang tuanya. Bertani identik kotor dan tidak menguntungkan.

Jerat Tengkulak yang Mengakar

Ilustrasi tengkulak yang masih umum dalam dunia pertanian. Sumber: dwiantosyaiful.web.ugm.ac.id
Ilustrasi tengkulak yang masih umum dalam dunia pertanian. Sumber: dwiantosyaiful.web.ugm.ac.id
Seperti pengertian di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), mengakar berarti 'menyatu benar di dalam hati, pikiran dan sebagainya (tentang ajaran, adat, dan lainnya)'. Keberadaan tengkulak menjadi elemen yang tak terpisahkan dari pertanian tradisional.

Tidak ada sumber yang jelas menyebutkan sejak kapan tengkulak muncul di Indonesia. Ada pihak yang memperkirakan sebenarnya praktik tengkulak sudah dilakukan pada zaman Penjajahan Belanda, tepatnya saat Sistem Tanam Paksa digalakkan. Saat itu, pribumi disuruh untuk menanam sejumlah komoditas ekspor, yang nantinya diserahkan kepada penguasa.

Setelah kemerdekaan, praktik ini diteruskan dan dilakukan oleh sejumlah masyarakat pribumi dan pemilik modal. Awalnya keberadaan tengkulak dianggap membantu. Dimulai dari penjemputan hasil panen ke lahan. Juga tengkulak memberi akses pasar kepada para petani.  

Akan tetapi, yang terjadi persis seperti waktu Sistem Tanam Paksa. Dalam pelaksanaannya, seringkali merugikan petani. Seperti diterapkannya kredit rente, sistem ijon dan kartel harga. Juga memberi kabar keadaan pasar yang tidak benar supaya bisa membeli hasil produksi petani dengan murah. Sementara pembayarannya seringkali tidak dilakukan secara tunai tapi kredit.

Tidak mudah lepas dari jerat tengkulak. Karena di awal musim, petani kerap kekurangan meodal untk membeli benih, pupuk dan perlengkapan bertani lainnya. Untuk meminjam bank, mereka harus membayar cicilan tiap bulannya. Sementara kebanyakan mereka baru bisa membayar setelah panen. Akhirnya, mereka terpaksa meminjam ke tengkulak, dengan syarat para petani itu harus menjual hasil panennya kepada tengkulak itu dengan harga jual yang rendah.

Skema Modern Marketplace dan E-Commerce

Pemanfaatan e-commerce dan marketplace yang umum digunakan. Sumber: financialexpress.com
Pemanfaatan e-commerce dan marketplace yang umum digunakan. Sumber: financialexpress.com
Perlahan-lahan peran sentral tengkulak mulai dihilangkan. Caranya, dengan memberikan fasilitas kemudahan yang sebelumnya diberikan tengkulak. Seperti masalah permodalan. Meski belum sepenuhnya menjawab kebutuhan para petani kecil, ada beberapa alternatif pembiayaan yang dapat dimanfaatkan. Seperti Program Kemitraan dan BIna Lingkungan (PKBL), Kredit Usaha Tani (KUT) dan Kredit Usaha Rakyat (KUR).

Setelah masalah permodalan, tinggal bagaimana memberikan akses pasar. Salah satu potensi terbesar, dengan memanfaatkan digitalisasi. Di era 4.0, pasar dunia maya terbuka luas. Marketplace dan platform e-commerce tidak hanya menjual barang jadi seperti baju, elektronik dan lain sebagainya. Tapi juga bisa dimanfaatkan petani untuk menjual hasil pertanian dan pangan.

Beberapa tahun belakangan, baik pemerintah dah swasta,mulai serius menggarap ceruk ini. Selain dari segi komersil, dengan skema ini dapat memotong rantai distribusi yang terlalu panjang. Bahkan, dimungkinkan nantinya para petani itu memasarkan langsung dengan konsumennya by online. Hal ini ditandai dengan bertumbuhnya platform berbagai startup agritech.

Di antaranya, Agromaret, TaniHub, Pantau Harga, LimaKilo dan lainnya. Bahkan startup unicorn Indonesia, Tokopedia, tidak mau ketinggalan. Alih-alih berinvestasi ke luar negeri seperti unicorn lainnya, Tokopedia memilih berinvestasi ke pedesaan.

"Untuk mengedukasi masyarakat Thailand atau Singapura effort-nya sama dengan mengedukasi masyarakat pedesaan, petani, nelayan sehingga mereka mendapat penghasilan," ujar Pendiri dan CEO Tokopedia William Tanuwijaya seperti dilansir dari CNBC Indonesia, Kamis (10/10/2019).

Dengan skema ini, otomatis meniadakan tengkulak -- yang selama ini mengeruk profit yang besar. Sehingga diperkirakan dapat meningkatkan pemasukan petani hingga 20 persen, dan diiringi penurunan harga jual di tingkat konsumen.

Petani tidak hanya sekadar menanam dan memanen saja, tapi juga menjadi pemain di pasar online. Sementara marketplace dan platform e-commerce sebagai 'bypass'-nya.

Adaptasi Sistem Logistik 

Ilustrasi sistem logistik. Sumber: bangka.tribunnews.com
Ilustrasi sistem logistik. Sumber: bangka.tribunnews.com
Sebelumnya, mari kita lakukan beberapa perhitungan terlebih dahulu. Tercatat jumlah pekerja di sektor pertanian kita -- berdasar data BPS pada Agustus 2019 lalu - jumlahnya mencapai 34,58 juta jiwa. Mereka memenuhi kebutuhan pangan dan konsumsi seluruh penduduk dengan total lebih dari 270 juta jiwa.

Sementara salah satu pemain strartup agritech, TaniHub saat ini sudah bermitra dengan 35 ribu petani. Dalam tiga tahun ke depan, CEO dan co-founder PT TaniHub Indonesia Ivan Arie, menargetkan akan menggandeng satu juta petani. Menurut Ivan, sebenarnya ada banyak petani yang menunggu untuk bisa dibeli produknya. "Hanya, kami masih menyeleraskan dengan market-nya. Market-nya ada atau tidak untuk menyerap produk sebesar itu," katanya seperti dilansir dari swa.co.id.

Dalam analisis saya, salah satu faktor penarik pasar adalah tren. Seperti yang kita ingat tren belanja daring mulai merebak saat munculnya marketplace tokobagus.com (yang saat ini menjadi olx.co.id) tahun 2005. Saat itu, komoditasnya masih sebatas aksesoris gadget, mobil bekas, dan beberapa produk lainnya. Kemudian makin berkembang dengan umumnya pembayaran digital sekitar 2007. Budaya online shopping ini makin agresif dengan hadirnya berbagai macam startup e-commerce pada 2015-an.

Bukan tidak mungkin, komoditas pangan dan hasil pertanian turut menjadi produk yang paling banyak dicari dalam hitungan beberapa tahun kemudian. Prasyarat keberadaan dompet digital dan pembayaran via mobile sudah marak dipakai. Ditambah, banyak startup agritech yang bermunculan dengan berbagai kelebihannya.

Bayangkan bila, seluruh produksi petani di Indonesia terserap di pasar online. Ini merupakan perputaran ekonomi yang sangat besar. Tinggal melengkapinya, dari sisi logistik  untuk menjawab tuntutan itu. Mungkin tak jadi soal, untuk komoditas pertanian kering seperti beras, gula, kopi dan lain sebagainya.

Namun masih menjadi pekerjaan rumah untuk penanganan logistik komoditas segar seperti sayuran dan buah-buahan. Perlu pengaturan tertentu, seperti packing kayu, asuransi pengiriman, temperatur suhu dan estimasi pengiriman yang singkat.

Kesiapan J&T Sebagai Perusahaan Logisitk Berbasis Digital

Kurir J&T Express mengantarkan kiriman ke pelanggan. Sumber: biz.kompas.com
Kurir J&T Express mengantarkan kiriman ke pelanggan. Sumber: biz.kompas.com
Melihat potensi pasar daring pangan dan pertanian, diharapkan J&T Express menjadi pemain logistik yang memenuhi tuntutan market tersebut. Bukan tanpa sebab, perusahaan pengiriman barang ini terbukti mampu menunjukkan kinerja sangat positif hanya dalam waktu empat tahun. Pencapaian ini tidak lepas dengan pemanfaatan teknologi yang inovatif.

Seperti diketahui, komoditas pangan dan konsumsi merupakan kebutuhan primer manusia. Bisa dibayangkan bila memang pasar daring produk ini sudah aktif, seberapa ramainya lalu-lalang pengiriman barang. J&T memiliki solusi di dalam menjawab tantangan ini. Yakni dengan menggunakan teknologi mesin sortir otomatis yang mampu menyortir hingga 30.000 paket per hari dengan 108 destinasi. Selain efisien, teknologi ini juga mampu meminimalisir human error.

Mesin sortir itu ditempatkan di tiga lokasi gudang. Yakni Surabaya, Semarang, dan Bandung. Sementara di Jakarta dalam waktu dekat akan selesai pembangunan megahub, tentunya dilengkapi fasilitas mesin sortir otomatisnya. Tidak hanya itu, untuk mempercepat penyortiran, dilengkapi pula mesin x-ray. Mesin ini akan memangkas antrian sortir sampai 2-3 jam.

Setiap hari, J&T mampu melayani pengiriman rata-rata 1 juta paket di luar musim puncak. Bahkan, pada pekan Harbolnas lalu, J&T berhasil mengirim 10 juta paket.

Bagaimana untuk pengiriman logistik antar pulau? Semisal, ada pelanggan yang memesan bijih kopi Gayo dari daerah asalnya langsung. J&T sudah mengatisipasinya dengan berkolaborasi dengan aplikasi Tauberes, cucu usaha Garuda. Tidak hanya bahan pangan, bahkan nantinya konsumen bisa order kuliner dari luar Pulau.

Kemudian detail tracking system. Walaupun hampir seluruh jasa kurir mememiliki fitur ini, namun tidak semuanya yang real time dan akurat. J&T telah bekerjasama dengan Huawei Cloud untuk mengoptimalkan teknologi cloud untuk fitur tracking paketnya. Sehingga memberikan rasa tenang pengirim dan penerima barang dalam pelacakan lokasi barang.

Tak tanggung-tanggung bahkan, ke depannya bersama Huawei Cloud, J&T Express akan menggembangkan pemanfaatan kecerdasan buatan yang fokus pada analisis video, pengelolaan armada dan pemindaan wajah. Langkah ini ini dilakukan untuk mengoptimalkan operasional yang terintegrasi dan lebih efisien. Tentunya, ini menjadi inovasi yang sangat bagus untuk petani dan para pelaku startup argitech.

Seperti yang diketahui, terutama untuk pengiriman sayuran dan buah segar sangat sensitif dengan kecepatan,  J&T Express sendiri memiliki lebih dari 2.000 drop point, 2.000 collection point, dan lebih dari 1.000 armada yang beroperasi selama 365 hari penuh. Sehingga, barang yang dikirim pun langsung diproses.

Ke depannya, semoga J&T Express -- dengan segala potensi yang dimilikinya - turut berperan dalam merealisasikan program digitalisasi pertanian. Berkolaborasi dengan startup agritech untuk mendekatkan petani dengan konsumen. Serta memberikan solusi untuk mendorong petani go digital.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun