Mohon tunggu...
Fauzi FI
Fauzi FI Mohon Tunggu... Pengacara - UNMA Banten

Kawal Keadilan

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Penanganan Cyber Crime (Kejahatan Virtual) Berdasarkan Tempat Terjadinya Peristiwa Tindak Pidana Study Kasus Putusan Nomor: 853/Pid.Sus/2022/PN Srg

24 Januari 2023   11:00 Diperbarui: 24 Januari 2023   11:06 423
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Penanganan Cyber Crime (Kejahatan Virtual) Berdasarkan Tempat Terjadinya Peristiwa Tindak Pidana Study Kasus Putusan Nomor : 853/Pid.Sus/2022/PN Srg

 

Oleh: Fauzi Ilham

Mahasiswa Pasca Sarjana Universitas Mathla'ul Anwar Banten
Email: fauziilham1982@gmail.com

                                                         

Abstrak:


Perkembangan teknologi sekarang ini begitu pesatnya, hal ini dikarenakan perkembangan teknologi yang tidak lepas dari kebutuhan manusia yang semakin terbuka akan teknologi yang merupakan produk modernitas. dari fenomena itulah adanya kejahatan maya. yang menimbulkan peraturan baru untuk mengatur kejahatan tersebut apalagi kejahatan maya tersebut tidak mudah dilacak. Maka tentu hal ini akan berdampak dalam menentukan tempus dan locus delicti cyber crime karena penentuan tersebut mempengaruhi untuk menentukan kewenangan pengadilan yang berhak untuk mengadili. Sebagaimana kasus pada penanganan perkara Nomor 853/Pid.Sus/2022/PN Srg.

Pengaturan kewenangan pengadilan penentuan tempus dan locus delicti tentu di dasarkan atas penggunakan teori-teori dalam hukum pidana, maka manakah teori yang relevan dan memiliki kekoherensian sehingga berpengaruh pada penentuan saksi-saksi, daluwarsa pidana, dan menentukan sah atau tidaknya terhadap penuntutan. sesuai dengan Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana Pasal 84 Ayat 2 yang berhak untuk mengadili kejahatan tersebut.

Kata kunci : UU No. 19 Tahun 2016 Informasi Transaksi Elektronik, Hukum,  Keadilan, Cyber Crime.

                

Abstract:

Development are so rapid This because techological development from cannnot be separatid from human needs that are in creaseengly open to technology which is a product of modernity. From this phenomenon there is a maya gap that creates new regulations to regulate these crimes, especially since corps crimes are not easy to trace. Then of crouse this will have an impact on determining the penetration and locus of deleting cybercrim bicause this determination affect determing the authority of the court entitled to adjudicate as is the case in the handling of case number 853 versus 2022 serang district Court.

The regulation of the court authority to determine trasgression and lopus from certain case is based on the of theories in criminal law. Then which is relevant has reference so that it influnces the determination of criminal witnesses and determines whether or not lawful according to law number 8 of 1981 of the criminal procedure code articles 84 paragraph 2 have the right to try crimes

 

Keywords: Law Number 19 Of 2016 Electronic Transaction Information, Law Justice, Cyber Crime, 

 

 

 

BAB 1

PENDAHULUAN


Latar Belakang Masalah 

 

Negara Indonesia adalah negara hukum. demikian bunyi Pasal 1 Ayat 3 Undang-undang Dasar (UUD) 1945. yang dimaksud negara hukum adalah negara yang di dalamnya terdapat berbagai aspek peraturan-peraturan yang bersifat memaksa dan mempunyai sanksi tegas apabila dilanggar.[1] Konsepsi itu pula yang menjadi dasar yuridis sebagaimana dalam preambule aline ke-empat di nyatakan bahwa "keadilan sosial bagi seluruh rakyat indonesia" Seiring dengan perkembangan zaman kemajuan teknologi berkembang sedemikian pesat. Perkembangan teknologi ini tidak lepas dari kebutuhan manusia yang semakin terbuka akan teknologi yang merupakan produk modernitas. dengan begitu pesatnya perkembangan teknologi pada gilirannya menjadikan manusia sebagai kreator teknologi itu sendiri, bahkan kemudian bagaimana hukum untuk mengendalikan batasannya, atau bahkan bisa dikatakan teknologi berbalik arah mengendalikan manusia. 

 

Pada abad ke-21 ini telah ditemukan beberapa karya dibidang teknologi informasi diantaranya adalah internet. Internet merupakan suatu alat yang memungkinkan hidup secara maya, kehadiran dunia maya sangat membawa dampak yang luar biasa bagi kehidupan manusia. dengan internet manusia dapat ngobrol secara daring, pembelajaran lewat daring, belanja, sekolah, dan beberapa aktifitas lainnya yang ada pada kehidupan nyata, substansinya bahwa teknologi dapat memudahkan pertumbuhan kebebasan manusia.[2] Satjipto Rahajo berpendapat bahwa ciri yang menonjol dalam masyarakat modern penggunaaan hukum secara sadar oleh masyarakatnya.[3] bahwa bagaimana masyarakat kita harus sadar dan bijaksana dalam bermedia sosial di gunakan untuk secara bijak dalam menghadapi setiap informasi yang masuk dalam setiap ruang lingkup media sosial dalam kehidupan maya masyarakat digital saat ini. salah satu fasilitas di media sosial mampu menyimpan berbagai informasi mengenai pengetahuan pada berbagai bidang. baik pada bidang pembelajaran daring pada pendidikan, teknologi dan sebagainya. Bahkan pada game multimedia. Namun Pada akhirnya kehidupan pada media sosial dapat memunculkan anggapan yang membagi kehidupan secara dikotomis menjadi real life kehidupan nyata dan virtual life kehidupan maya. 

 

Pada mulanya bahwa teknologi internet  pada media sebetulnya merupakan sesuatu yang bersifat netral, artinya teknologi internet pada media sosial tidak dapat dilekati sebagai sesuatu sifat baik dan jahat. Tetapi pada kenyatannya sesuai perkembangannya kehadiran teknologi pada media sosial banyak pihak-pihak yang berniat jahat untuk menyalahgunakan atas kehadiran arus media sosial tersebut saat ini. [4]

 

Dengan demikian alih teknologi terhadap situs di internet sangat bermanfaat bagi peningkatan kualitas hidup manusia. Namun secara hukum yang menjadi persoalan adalah biasanya teknologi selalu bersifat bermata dua, selain dapat dipergunakan untuk hal-hal yang bersifat positif, juga dapat dipergunakan untuk hal-hal negatif, apalagi karakteristik teknologi internet pada media sosial bersifat terbuka, informasi di dalamnya tanpa sensor dan tidak dapat juga kebenaran dipertanggungjawabkan seluruh isinya pada media sosial. teknologi media sosial merupakan salah satu fasilitas dalam bentuk digital, maka bisa dikatakan faktor kriminogen, faktor yang menyebabkan timbulnya keinginan orang untuk berbuat jahat atau memudahkan terjadinya tindak kejahatan.

 

Berbagai hal tersebut di atas dapat menimbulkan kebijakan tersendiri tentang tindakan terhadap kriminalisasi, yakni suatu kebijakan di mana dalam menetapkan perbuatan yang semula bukan merupakan suatu tindak pidana. perbuatan yang tidak dapat dipidana menjadi suatu tindak pidana perbuatan yang dapat dipidana. Pada dekade (10 tahun) terakhir, telah muncul kejahatan dengan dimensi baru, hal tersebut akibat dari penyalahgunaan teknologi internet pada media sosial. teknologi internet media sosial juga ternyata mengundang tangan-tangan kriminal dalam beraksi, baik untuk mencari keuntungan materi maupun untuk sekedar melampiaskan keisengan. hal ini memunculkan fenomena tersendiri yang sering disebut dalam bahasa asing sebagai cyber crime kejahatan di dunia maya.

 

Pada dasarnya kejahatan dunia maya atau yang sering disebut cyber crime seperti kejahatan yang pada umumnya, namun yang menjadi perbedaanannya adalah kejahatan tersebut dilakukan pada media-media teknologi canggih saat ini yang berbasiskan komputerisasi. Maka tentu juga hal yang membedakan adalah tempus dan locus delicti dari kejahatan tersebut. Munculnya fenomena baru tersebut bagi sebagian orang telah mengubah perilakunya dalam berinteraksi dengan manusia lainnya, yang terus menjalar kebagian lain dari sisi kehidupan manusia, sehingga memunculkan adanya norma-norma baru, nilai-nilai baru dan sebagainya. Kejahatan di dunia maya terjadi pada abad 21 ini banyak terjadi kejahatan cyber crime dalam bentuk penipuan lewat online, pinjaman online atau pembobolan data pribadi, perjudian online, atau bahkan peretasan terhadap data kelembagaan negara sekalipun, misalnya dalam negeri seperti kita sering mendengar pencurian kartu kredit, hacking beberapa situs, menyadap transmisi data orang lain, misalnya lewat email, dan memanipulasi data dalam aplikasi-aplikasi yang tersebar pada plat form media sosial lainnya. sehingga kejahatan dalam dimensi media sosial pada dunia maya dimungkinkan adanya delik formil dan delik materiil. delik formil adalah perbuatan seseorang yang mengirim, mengubah atau mentransfer atau mengedit data orang lain tanpa ijin di gunakan baik secara sah atau bertentangan dengan hukum, sedangkan delik materiil adalah perbuatan yang menimbulkan akibat kerugian bagi orang lain, sebagaimana dalam Pasal 310 Barang siapa sengaja menyerang kehormatan atau nama baik seseorang dengan terang supaya hal itu diketahui umum, maka tentu hal ini menjdikan konsekuensi hukum atas perbuatan tersebut.[5]

 

Maka kejahatan dalam perspektif dunia maya saat ini yang kita sebut adanya kejahatan cyber crime telah menjadi ancaman stabilitas terhadap pemerintah, sehingga penegak hukum lebih ekstra hati-hati dalam memproses terhadap teknik kejahatan yang dilakukan dengan berbagai aplikasi jaringan teknologi internet yang lebih canggih, misalnya kasusistik saat ini terhadap kasus yang di tangani oleh PN Serang Perkara Nomor : 853/Pid.Sus/2022/PN-Srg Jenis kasus yang di laporkan terhadap pencemaran nama baik sebagaimana dalam Pasal 27 ayat 3 UU ITE "Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau menstransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik."

 

Atas pristiwa pidana tersebut bagaimana kejadian di Jakarta (locus) yang kemudian di laporkan pada kepolisian Polres Serang Kota (tempus) Provinsi Banten, yang masuk katagori pencemaran nama baik atau kejahatan transmisikan elektronik sebagaimana pasal 27 ayat 3 tersebut. Ini merupakan kasus mengenai cyber crime pada media sosial yang terjadi khususnya di Jakarta yakni masuk kualifikasi kejahatan pencemaraan nama baik. Atas fakta hukum tersebut bahwa kejahatan cyber crime juga membutuhkan keajegan norma pasal untuk menjatuhkan pidana pada kejahatan cyber crime pada media sosial yang nantinya di gunakan ketentuan yang lebih khusus sebagaimana sudah di atur dalam UU ITE, hal yang masih menjadi perdebatan juga yakni mengenai penentuan locus delicti yang nantinya di perlukan untuk menentukan pengadilan mana yang berhak untuk mengadili orang yang melakukan tindak pidana atas pristiwa tersebut, atas kompetensi relatif dan tempus delicti yang nantinya diperlukan untuk menentukan. apakah undang-undang yang bersangkutan dapat diterapkan terhadap tindak pidana ini. untuk menentukan tempus dan locus delicti tidaklah semudah seperti kelihatannya apalagi mengenai kejahatan cyber crime yang merupakan kejahatan dunia maya yang tidak semudah mengurai pidana biasa, karenanya untuk melacak dan mencari jejak kejahatan tersebut di butuhkan kompetensi di berbagai bidang.

 

 

Rumusan Masalah

 

Berdasarkan latar belakang masalah diatas, maka rumusan masalah dalam penulisan Journal ini adalah;

 

1. Apa Pengertian Cyber Crime.?

 

2. Penjelasan Teori Terjadinya Pristiwa Pidana.?

 

3. Bagaimana Kewenangan Penanganan Hukumnya.?

 

Tujuan Penulisan

 

Tujuan penulisan ini untuk mengetahui kedudukan hukum cyber crime.

Tujuan penulisan ini untuk mengetahui tentang bidang Kekuasaan Kehakiman. 

Tujuna penulisan ini untuk mengetahui kewenangan peradilan dalam penanganan perkara.

 

                                                      

BAB II

 

CYBER CRIME BERDASARKAN TEMPAT TERJADINYA PRISTIWA TINDAK PIDANA

  

Tinjauan Yuridis Cyber Crime (Media Sosial)

              Dalam tinjauan study pustaka ini untuk menguraikan tinjauannya mengenai konsep Teori Penegakan hukum dari Lawrence M. Friedman, yaitu "teori the legal system (sistem hukum)" yaitu tentang subtansi hukum, struktur hukum dan budaya hukum,[6] sistem merupakan rekayasa pembagian yang diadakan dalam hukum merupakan alat bantu yang tidak boleh menjadi niai yang absolut.[7] 

           Cybercrime merupakan salah satu istilah yang mengacu kepada aktivitas kejahatan dengan komputer atau jaringan komputer yang menjadi alat, sasaran atau tempat terjadinya kejahatan dalam dunia maya. Ini termasuk serangan terhadap data komputer dan sistem, pencurian identitas, distribusi gambar pelecehan seksual, penipuan lelang di internet, Judi Online, penetrasi layanan keuangan online, serta penyebaran virus, spamh, dan penipuan berbagai email seperti phishing. Walaupun kejahatan dunia maya atau cyber crime umumnya mengacu kepada aktivitas kejahatan dengan komputer atau jaringan komputer sebagai unsur utamanya, istilah ini juga digunakan untuk kegiatan kejahatan tradisional di mana komputer atau jaringan komputer digunakan untuk mempermudah atau memungkinkan kejahatan itu terjadi di masa lalu, cyber crime telah dilakukan oleh individu atau kelompok-kelompok kecil individu.

          Hingga sekarang ini melihat tren yang sedang berkembang dengan tradisional sindikat kejahatan terorganisir dan profesional dengan teknologi kriminal dengan kerja sama dan penyatuan sumber daya dan keahlian. Meminjam istilah Fritjof Capra dunia ini tengah berada pada suatu "Turning Point" suatu titik balik dalam peradaban.[8] berikut merupakan definisi atau pengertian dari cyber crime menurut Menurut Andi Hamzah dalam bukunya yang berjudul "Aspek-Aspek Pidana dalam Komputer" 1989 mengartikan cybercrime sebagai kejahatan dibidang komputer secara umum dapat diartikan sebagai penggunaan komputer secara ilegal. menurut definisi Forester dan Marrinson mendefinisikan kejahatan komputer sebagai aksi kriminal dimana komputer digunakan sebagai senjata utama. Menurut Girasa mendefinisikan cybercrime sebagai aksi kejahatan yang menggunakan teknologi komputer sebagai komponen utama. Menurut Tavani mendefinisikan cybercrime yang lebih menarik yaitu kejahatan dimana tindakan kriminal hanya bisa dilakukan dengan menggunakan teknologi cyber dan terjadi didunia cyber. Senada dengan hal di atas, Bhattasali dalam bukunya Trasfer of Technology Among Developing Countries sebagaimana di kutif Sunaryati Hartono, Menyatakan bahwa Alih teknologi bukan hanya sekedar pemindahan, bahwa tehnologi yang tadinya asing sehingga terjadinya adaptasi kedalam lingkungan yang baru.[9] 

 

Misalnya kasus yang menimpa Nikita Mirzani disangkakan dengan pasal 27 Ayat (3) jo Pasal 45 Ayat (3) atau Pasal 36 jo Pasal 51 Ayat (2) Undang Undang Nomor 19 Tahun 2016 Tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 sebagaimanana perubahan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 Tentang ITE, dan atau pensitaan (fitnah) dengan tulisan sebagaimana Pasal 311 KUHP. Alasan objektif melakukan penahanan terhadap Nikita Mirzani karena ancaman pidananya di atas lima tahun penjara. Sementara, alasan subjektif dari tindak pidana adalah segi kesalahan  bahwa akibat yang tidak di inginkan oleh undang-undang,[10] sesuai Pasal 21 ayat 1 KUHP Pidana menyebutkan bahwa tersangka agar tidak mengulangi perbuatannya, begitupun penipuan identitas di game online hanya mengisi alamat identitas palsu game online tersebut bingung dengan alamat identitas palsu karena mereka sadar akan berjalannya cybercrime.

 

Berdasarkan sudut pandang yang berbeda, kejahatan terhadap pencemaran nama baik bisa saja di sebut illegal contents yang merupakan kejahatan dengan memasukkan data atau informasi kejaringan internet dengan berbasiskan aplikasi media sosial tentang sesuatu hal yang tidak benar, tidak etis, dan dapat dianggap melanggar hukum atau mengganggu ketertiban umum. yang muatannya bisa masuk dalam kwalifikasi pemuatan suatu berita bohong (hoaxs) atau fitnah yang akan menghancurkan martabat atau harga diri pihak lain, hal-hal yang berhubungan dengan pornografi atau pemuatan suatu informasi yang merupakan rahasia negara, agitasi dan propaganda untuk melawan pemerintahan yang sah dan sebagainya.

 

Illegal content menurut pengertian diatas dapat disederhanakan pengertiannya menjadi kegiatan menyebarkan mengunggah, menulis hal yang salah atau diarang dapat merugikan orang lain. yang menarik dari hukuman atau sangsi untuk beberapa kasus seseorang yang terlibat dalam Illegal content ini ialah hanya penyebar atau yang melakukan proses unggah saja.

 

Illegal content ini merupakan kegiatan menyebarkan mengunggah, menulis hal yang salah atau dapat merugikan orang lain. dan sebagainya misalnya belakangan ini marak sekali terjadi pemalsuan gambar yang dilakukan oleh oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab dengan cara mengubah gambar seseorang biasanya artis atau public figure  lainnya dengan gambar yang tidak senonoh menggunakan aplikasi komputer seperti photoshop atau saat nh melalui banyak aplikasi yang dapat merubah wajah atau bisa saja di salah gunakan sekalipun untuk kepentingan main-main. kemudian gambar ini dipublikasikan lewat internet dan beredar dalam media sosial dan ditambahkan sedikit berita palsu berkenaan dengan gambar tersebut hal ini sangat merugikan pihak yang menjadi korban karena dapat merusak image seseorang. dan dari banyak kasus yang terjadi, para pelaku kejahatan ini susah dilacak sehingga proses hukum tidak dapat berjalan dengan baik.

 

 Konsep Terjadinya Pristiwa Tindak Pidana

 

Istilah perbuatan pidana atau tindak pidana dalam bahasa belanda Strafbaar feit atau delict artinya pristiwa pidana dalam kamus hukum yang di susun Yan Pramadya Puspa dalam bahasa Belanda Pristiwa atau kejadian  dalam Bahasa Inggris artinya fact pristiwa atau kejadian tindak pidana atau delict.[11] Vos berpendapat pristiwa pidana adalah suatu pristiwa yang di nyatakan dapat dipidana oleh undang-undang.[12] Teori absolut merupakan teori aliran klasik sendiri merupakan aliran hukum pidana yang lahir pada abad pertengahan, merupakan bagian asas legalitas lahir pada abad pertengahan, karena bertujuan untuk melindungi kepentingan individu dari kesewenang-wenangan penguasa. 

 

Teori absolut sendiri lebih bertujuan untuk membalas perbuatan pelaku pidana, sehingga saat itu, hukum yang diterapkan tidaklah bertujuan untuk memperbaiki pelaku, tetapi semata-mata membalas perbuatan pelaku. sehingga, apabila ada orang yang membunuh orang lain, maka sebagai balasan atas perbuatannya, teori yang lahir dari aliran modern hukum pidana berbeda dengan aliran klasik yang melahirkan asas legalitas dan bertujuan melindungi kepentingan individu dari kesewenang-wenangan penguasa, aliran modern bertujuan untuk melindungi masyarakat dari kejahatan. Le salut du people est la supreme loi. hukum tertinggi adalah perlindungan masyarakat. Pada prinsipnya asas legalitas merupakan perlindungan terhadap hukum pidana.[13]

 

Karena itulah, teori relatif tidak lagi bertujuan untuk membalas pelaku tindak pidana, tetapi bertujuan untuk memperbaiki pelaku, serta mencegah terjadinya tindak pidana dengan peraturan-peraturan yang dibuat untuk mencegah kejahatan. Menurut Von Feuerbach, pencegahan tersebut dinamakan psychologischezwang atau paksaan psikologis.[14] dengan disahkannya peraturan-peraturan dengan sanksi yang diancamkan terhadap pelaku yang melanggar peraturan tersebut, maka niat jahat pelaku bisa berkurang sebelum pelaku benar-benar melakukan tindakan tersebut.

 

Selain itu, teori relatif juga mulai memperhitungkan perkembangan ilmu pengetahuan lain, seperti ilmu psikologi, ilmu sosiologi, ilmu ekonomi dan lain-lain, sehingga apabila terdapat orang yang melakukan tindak pidana, maka dapat dicarikan sanksi yang tepat guna memperbaiki si pelaku. maka teori relatif menganggap bahwa hukum tertinggi merupakan perlindungan terhadap masyarakat. 

 

Teori gabungan, yakni teori yang menggabungkan teori absolut dan teori relatif. teori gabungan ini berangkat dari pemikiran bahwa, baik teori absolut maupun teori relatif sama-sama memiliki kelemahan, sehingga kedua teori ini digabungkan untuk menutupi kekurangan dari masing-masing teori tersebut. dalam teori gabungan, pidana digunakan selain untuk membalas perbuatan pelaku, juga untuk memperbaiki pelaku agar pelaku tidak mengulangi tindak pidana lagi di masa mendatang.

 

Sepereti halnnya masalah denda terhadap orang yang tidak mengenakan masker di tempat umum yang diterapkan oleh beberapa pemerintah daerah, pada dasarnya dapat dikatakan bahwa pemerintah daerah tersebut menggunakan pendekatan pidana dengan teori relatif, karena ancaman denda tersebut lebih dimaksudkan untuk membuat seseorang berpikir dua kali apabila tidak menggunakan masker di tempat umum.

 

Pada akhirnya, ancaman denda tersebut diharapkan dapat membangkitkan kesadaran dalam diri masyarakat bahwa dalam situasi pandemi seperti sekarang ini, penggunaan masker di tempat umum merupakan suatu kebutuhan untuk mencegah tertularnya diri mereka dari penyakit yang belum diketahui obatnya.

 

Tetapi sesuai dengan kata Roscoe Pound yang menyatakan bahwa law is a tool of social engineering, alias hukum merupakan alat rekayasa sosial, maka jelaslah bahwa hukum pada dasarnya memang digunakan sebagai alat pemaksa di mana menata kepentingan-kepentingan yang ada dalam sutu masyarakat di mana harus di tata sedemikian rupa agar mencapai keseimbangan yang proporsional.[15]

 

Teori Hukum Pidana Dalam Menentukan Pristiwa Pidana 

 

Dalam melaksanakan fungsinya untuk menciptakan ketertiban, hukum berlaku sebagai sistem peraturan, yang kemudian melahirkan peraturan hukum dengan berdasar pada asas hukum yang harus dipatuhi oleh setiap subjek hukum (dalam hal ini, masyarakat). Hukum Pidana" menurut Prof. Satochid mengandung beberapa arti atau dapat dipandang dari beberapa sudut, antara lain bahwa Hukum Pidana, disebut juga (Ius Poenale) yaitu sejumlah peraturan yang mengandung larangan-larangan atau keharusan-keharusan dimana terhadap pelanggarnya diancam dengan hukuman yang merupakan sebagai jaminan bagi keamanan hukum.[16]

 

 Dalam ilmu hukum ada perbedaan antara istilah "pidana" dengan istilah "hukuman". Sudarto mengatakan bahwa istilah "hukuman" kadang-kadang digunakan untuk pergantian perkataan "straft", tetapi menurut beliau istilah "pidana" lebih baik daripada "hukuman. Menurut Muladi dan Bardanawawi Arief "Istilah hukuman yang merupakan istilah umum dan konvensional, dapat mempunyai arti yang luas dan berubah-ubah karena istilah itu dapat berkonotasi dengan bidang yang cukup luas. Istilah tersebut tidak hanya sering digunakan dalam bidang hukum, tetapi juga dalam istilah sehari-hari dibidang pendidikan, moral, agama, dan sebagainya.

 

Oleh karena pidana merupakan istilah yang lebih khusus, maka perlu ada pembatasan pengertian atau makna sentral yang dapat menunjukan cirri-ciri atau sifat-sifatnya yang khas". Pengertian tindak pidana yang di muat di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) oleh pembentuk undang-undang sering disebut dengan strafbaarfeit.

 

Peristiwa Pidana atau Delik Tindak pidana ialah suatu perbuatan/ rangkaian perbuatan yang dilakukan oleh manusia, yang bertentangan dengan kaedah-kaedah Hukum dan dapat dikenakan hukuman pidana. Tindak Pidana sering juga disebut dengan perbuatan pidana/peristiwa pidana atau dalam istilah asing, disebut dengan (Delict). Menurut Prof. Mulyanto, S.H. Strafbaarfeit adalah Perbuatan Pidana. Strafbaarfeit yaitu perbuatan manusia yang dilarang dan diancam dengan hukuman oleh undang-undang, yang dapat dilakukan oleh seseorang yang dapat dipertanggungjawabkan. Strafbaarfeit juga merupakan kelakuan orang yang dirumuskan dalam wet, yang bersifat melawan hukum, yang patut dipidana (strafwaardig) dan dilakukan dengan kesalahan. Suatu peristiwa hukum dapat dikatakan sebagai tindak pidana apabila, Suatu peristiwa hukum tersebut telah memenuhi unsur obyektif dan unsur subyektif.

 

Unsur Obyektif dan Unsur Subyektif tersebut ialah unsur obyektif, yaitu adanya suatu tindakan (perbuatan) yang bertentangan dengan hukum atau perbuatan yang dilarang oleh hukum dengan ancaman pidananya. menjadi titik utama dari pengertian obyektif ini adalah tindakannya. unsur subyektif, yaitu adanya perbuatan seseorang atau beberapa orang yang berakibat pada hal yang tidak dikehendaki oleh undang-undang.[17] Menjadi titik utama dari pengertian subyektif ini adalah adanya seseorang atau beberapa orang yang melakukan tindakan. adapun syarat yang harus dipenuhi sebagai unsur obyektif dan subyektif dalam suatu peristiwa pidana adalah sebagai harus ada perbuatan orang/beberapa orang. dimana perbuatan itu dapat dipahami orang lain sebagai sesuatu yang merupakan peristiwa tindak pidana. Perbuatan itu harus bertentangan dengan norma hukum perbuatan itu harus sesuai dengan apa yang disebutkan dalam ketentuan hukum Harus terbukti ada kesalahan yang dapat dipertanggungjawabkan harus tersedia ancaman hukuman terhadap perbuatan yang dilakukan yang termuat dalam peraturan-peraturan hukum yang berlaku. 

 

Adapun tindak pidana yang untuk mendapat sifat tindak pidanya itu memerlukan hal-hal objektif yang menyertainya, seperti pencemaran nama baik sebagaimana Pasal 27 ayat 3 UU ITE, setiap orang tanpa hak menstransmisikan dokumen elektronik mauataanya penghinaan merupakan katagori pencemaran nama baik, sebagaimana ketentuan sanksinya pada Pasal 28 ayat 2 UU ITE maka akan dikenakan ancaman pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda.

 

Selanjutnya dalam ketentuan UU ITE juga mengatur mengenai pencemaran nama baik merupakan delik atau tindak pidana biasa yang dapat diproses secara hukum meski tidak adanya pengaduan dari korban, namun pada prinsipnya bahwa delik aduan merupakan dapat di lakukan pengaduan dari pihak tertentua atas suatu pristiwa tersebut sebagaimana dalam KUHP Pasal 310.[18] namun, ketentuan ini telah mengalami perubahan yang telah diatur di dalam UU ITE 2016. di mana, dalam UUITE 2016, tindak pidana pencemaran nama baik berubah menjadi delik aduan (klacht delic) yang mengharuskan korban membuat pengaduan kepada pihak yang berwajib. Sebagaimana dalam Putusan MK 50/PUU-VI/2008 disebutkan bahwa ketentuan pencemaran nama baik menjadi tindak pidana aduan tidak dapat dipisahkan dari norma hukum pokok dalam Pasal 310 dan pasal 311 KUHP yang mensyaratkan adanya pengaduan.[19] (klacht) untuk dapat dituntut dihadapan Pengadilan. 

 

Oleh karenanya kasus pencemaran nama baik, harus melakukan pengaduan ke pihak yang berwenang. karena kasus pencemaran nama baik hanya akan diproses jika pihak yang menjadi korban melakukan pelaporan kasus tersebut. Sumber diketahuinya mengenai suatu Tindak Pidana (Delict) bisa melalui laporan pengaduan sebagaimana, Pasal 1 butir 24 KUHAP Laporan adalah Pemberitahuan yang disampaikan seorang karena hak/kewajiban berdasar undang-undang kepada pejabat berwenang tentang telah/sedang/diduga akan terjadi peristiwa pidana.

 

Dalam delik kejahatan adalah rumusan delik yang biasanya disebut delik hukuman, ancaman hukumannya lebih berat delik pelanggaran adalah biasanya disebut delik Undang-Undang yang ancaman hukumannya memberii alternative bagi setiap pelanggarnya delik formil yaitu delik yang selesai, jika perbuatan yang dirumuskan dalam peraturan pidana itu telah dilakukan tanpa melihat akibatnya.

 

Delik aduan adalah delik yang dapat dilakukan penuntutan delik sebagai syarat penyidikan dan penuntutan apabila ada pengaduan dari pihak yang dirugikan/korban. delik pidana (Peristiwa Pidana) adalah perbuatan manusia yang dilarang dan diancam dengan hukuman oleh undang-undang, yang dapat dilakukan oleh seseorang yang dapat dipertanggungjawabkan. Maka memiliki beberapa Unsur yaitu subjektif dan objektif dari ketentuan norma hukum.

 

Kewenangan Pengadilan Dalam Penanganan Perkara Pidana

 

 Kewenangan pengadilan untuk memeriksa, mengadili dan memutus suatu perkara sesuai dengan jenis dan tingkatan pengadilan berlandaskan kepada peraturan perundang-undangan yang berlaku. landasan menentukan kewenangan mengadili setiap Pengadilan Negeri ditinjau dari segi kompetensi relatif, diatur di dalam Pasal 84 ayat 2 KUHAP " Pengadilan negeri yang di dalam daerah hukumnya terdakwa bertempat tinggal, berdiam terakhir, di tempat ia diketemukan. atau ditahan, hanya berwenang mengadili perkara terdakwa tersebut, apabila tempat kediaman sebagian besar saksi yang dipanggil lebih dekat pada tempat pengadilan negerti itu dari pada tempat kedudukan pengadilan negeri yang di dalam daerahnya tindak pidana itu dilakukan" bertitik tolak dari ketentuan yang dirumuskan dalam pasal 84 ayat 2 tersebut diatur kriteria menentukan kewenangan pengadilan mengadili perkara pidana. tempat tindak Pidana dilakukan inilah kriteria yang pertama dan utama. Pengadilan Negeri berwenang mengadili setiap perkara pidana yang dilakukan dalam daerah hukumnya. hal ini sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 84 ayat (1) KUHAP berbunyi  "Pengadilan Negeri berwenang mengadili segala perkara mengenai tindak pidana yang dilakukan dalam daerah hukumnya."

 

Kriteria yang diatur di dalam Pasal 84 ayat (1) berkaitan dengan "tempat tindak pidana dilakukan" atau disebut Locus delicti, berkaitan dengan wilayah kerja atau wilayah hukum pengadilan yang menjadi kewenangannya, atau disebut dengan kewenangan relatif. misalnya, Pengadilan Negeri Serang memiliki lingkup kerja di wilayah Serang, Jadi tindak pidana yang terjadi di Serang menjadi kewenangan Pengadilan Negeri Serang untuk mengadilinya.

 

Asas kedua menentukan kewenangan Pengadilan Negeri berdasar tempat tinggal sebagian besar saksi. hal ini diatur dalam Pasal 84 ayat (2) KUHAP yang berbunyi. Pengadilan Negeri yang di dalam daerah hukumnya terdakwa bertempat tinggal, berdiam diri, di tempat ia ditemukan atau ditahan, hanya berwenang mengadili perkara terdakwa tersebut, apabila tempat kediaman sebagian besar saksi yang dipanggil lebih dekat pada tempat pengadilan negeri itu dari pada tempat kedudukan pengadilan negeri yang di dalam daerahnya tindak pidana itu dilakukan.

 

Pelaksanaan  Pasal 84 ayat (2) mengenai kewenangan mengadili berkaitan dengan "tempat tinggal" sekaligus mengenyampingkan asas Locus delicti dalam Pasal 84 ayat (1). Penerapan asas tempat kediaman menurut  M. Yahya Harahap  dapat terjadi dalam hal-hal, Apabila terdakwa bertempat tinggal di daerah hukum Pengadilan Negeri dimana sebagian besar saksi yang hendak dipanggil bertempat tinggal. tempat kediaman terakhir terdakwa. Terdakwa berkediaman terakhir di daerah hukum suatu Pengadilan Negeri dan sebagian besar saksi yang hendak dipanggil bertempat tinggal di daerah hukum Pengadilan Negeri tersebut.

 

Ditempat terdakwa ditemukan di mana terdakwa diketemukan di suatu daerah hukum Pengadilan Negeri serta saksi-saksi yang hendak dipanggil kebanyakan bertempat tinggal atau lebih dekat dengan Pengadilan Negeri tempat di mana terdakwa diketemukan. di tempat terdakwa ditahan. Tempat penahanan terdakwa serta saksi-saksi yang hendak diperiksa sebagian besar bertempat tinggal atau lebih dekat ke Pengadilan Negeri tempat di mana terdakwa ditahan.

 

Dari uraian di atas, dapat ditarik deskripsi bahwa tidak selamanya Locus delicti bersifat menentukan. Memang benar asas utama menentukan kewenangan relatif mengadili suatu perkara, dititikberatkan kepada Locus delicti. Akan tetapi asas Locus delicti dapat dikesampingkan oleh tempat tinggal, tempat kediaman terakhir, tempat ditemukan terdakwa atau tempat terdakwa ditahan. dengan catatan dipenuhinya syarat bahwa saksi-saksi yang akan dipanggil sebagian besar bertempat tinggal atau lebih dekat dengan Pengadilan Negeri tempat di mana terdakwa bertempat tinggal.

 

Kompentesi Absolut diartikan kewenangan pengadilan mengadili suatu perkara atas tempat tinggal pokok perkara tersebut "objek atau menteri pokok perkaranya" Untuk melihat lebih jauh terkait kompentensi absolut tersebut dapat dilihat dalam penjelasan Pasal 10 ayat (1) UU No. 14 Tahun 1970 (saat ini telah diubah menjadi UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman) yaitu sebagai berikut.

 

Didasarkan pada lingkungan kewenangan

Masing-masing lingkungan memiliki kewenangan mengadili tertentu (diversity jurisdiction)

Kewenangan tertentu tersebut menjadi kewenangan absolut (absolute jurisdiction) pada masing-masing lingkungan peradilan sesuai dengan subjek/materinya

Oleh karena itu masing-masing lingkungan pengadilan hanya berwenang mengadili perkara/kasus yang dilimpahkan UU kepadanya.

 

Setidaknya terdapat 1 (satu) jenis pengadilan apabila ditinjau dari aspek kompetensi absolutnya, yaitu. Pengadilan Umum, yaitu pengadilan yang berwenang untuk memeriksa, mengadili dan memutus perkara pidana (umum dan khusus) pengajuan didasarkan pada asas Actor Sequitur Forum Rei. Asas tersebut diatur dalam Pasal 118 ayat (1) Herzien Inlandsch Reglement ("HIR") yang menentukan bahwa yang berwenang mengadili suatu perkara adalah Pengadilan Negeri tempat tinggal tergugat Penerapan asas tersebut tidaklah mutlak.

Ketentuan serupa dapat kita temui dalam Pasal 20 ayat (3) PP No. 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang mengatur bahwa dalam hal tergugat bertempat kediaman di luar negeri, gugatan perceraian diajukan kepada Pengadilan di tempat kediaman penggugat.[20] kemudian, Ketua Pengadilan menyampaikan permohonan tersebut kepada tergugat melalui Perwakilan Republik Indonesia setempat ingin mengajukan gugatan ke pengadilan atau mau konsultasi tentang permasalahan hukum.

 

 

BAB III

 

PENUTUP

 

Simpulan

 

Dalam ketentuan teori kompetensi absolut (kompetensi/kewenangan absolut) terhadap sebuah lembaga peradilan untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara a quo, yang berwenang adalah lembaga peradilan yang secara ketentuan pasal 84 ayat 1 sebagaimana KUHAP, selanjutnya dalam UU No. 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. majelis hakim menilai pengadilan mempunyai wewenang memeriksa dan mengadili perkara sudah sesuai aturan yang berlaku sesuai dengan Undang-undang. Bahwa dewan pers adalah bukan badan kekuasaan kehakiman sesuai dengan amanat pasal 24 ayat 2 UUD 1945 dan pasal 18 Undang-undang nomor 48 tahun 2009 tentang kekuasaan kehakiman.

 

Bahwa Pengadilan Negeri Serang Tidak berwenang secara relatif (kompetensi/kewenangan relatif) dalam memeriksa, mengadili, dan memutus perkara a quo, yang berwenang adalah pengadilan negeri Jakarta Selatan. Berkaitan dengan hal itu, hakim harus melihat sebagain besar saksi bertempat tinggal lebih dekat dengan lokasi terdakwa ditahan sebagaimana KUHAP Pasal 84 ayat 2 "Pengadilan negeri yang di dalam daerah hukumnya terdakwa bertempat tinggal, berdiam terakhir, di tempat ia diketemukan atau ditahan, hanya berwenang mengadili perkara terdakwa tersebut, apabila tempat kediaman sebagian besar saksi yang dipanggil lebih dekat pada tempat pengadilan negeri itu daripada tempat kedudukan pengadilan negeri yang di dalam daerahnya tindak pidana itu dilakukan" dari pada pada (Rumah Tahanan) Rutan Serang.

 

Maka, hakim mengesampingkan lokasi kejadian tindak pidana yakni dirumah terdakwa di kawasan Pesanggrahan, Jakarta Selatan. Sehingga Pengadilan Negeri Serang tidak berwenang secara relatif memeriksa mengadili, memutus perkara a quo, maka berdasarkan ketentuan tersebut kewenangan adalah pengadilan negeri Jakarta Selatan. Maka berdasarkan norma hukum disusun bertentangan dengan asas hukum pidana lex specialis derogat legi generalis (bahwa aturan hukum yang khusus akan mengesampingkan aturan hukum yang umum) sebagaimana diatur dalam Pasal 63 Ayat (2) KUHP"Jika suatu perbuatan masuk dalam suatu aturan pidana yang umum, diatur pula dalam aturan pidana yang khusus, maka hanya yang khusus itulah yang diterapkan"Jika suatu perbuatan masuk dalam suatu aturan pidana yang umum, diatur pula dalam aturan pidana yang khusus, maka hanya yang khusus itulah yang diterapkan.

 

Daftar Pustaka

 

Martakusumo, Sudikno, Penemuan Hukum, Yogyakarta, Cahaya Atma Pustaka, 1996

 

Gerson Bawengan, Penyidikan Perkara Pidanadan Teknik Introgasi Penerbit Pradnya Paramita Jakarta 1977

 

Suhardi Somomoeljono, Pembunuhan Berencana Dalam Perspektif Pembuktian, Penerbit Gemaia SSA Advocates 2021

 

Zaenal Arifin Hoesein, Kekuasaan Kehakiman Di Indonesia, Penerbit Imperium Yogyakarya, 2013

 

LJ Van Apeldoorn Pengantar Ilmu Hukum, Penerbit Pradnya Paramita Jakarta, 1990

 

Suteki, Hukum dan Alih Teknologi Sebuah Pergulatan Sosiologis, Penerbit Thafa Media 2013

 

Peter Mahmud Marzuki, Teori Hukum, The House of Law is the House of mankind, Kencana, Jakarta, 2020

 

Bernad L. Tanya dkk. Teori Hukum, Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang dan Genderasi, Genta Publishing, Jogyakarta, 2013

 

Khairul Umam, Teori dan Metode Perubahan Undang-undang Dasar 1945, Melalui Tafsir Konstitusi  Perspektif Budaya Konstitusi, Penerbit Thafa Media Konstitusi Yogyakarta 2016

 

Syaful Bakhri, Sistem Peradilan Pidana Di Indonesia Dalam Perspektif Pembaruan, Teori, dan Praktik Peradilan. Penerbit Pustaka Pelajar Yogyakarta 2015

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
  15. 15
  16. 16
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun