Mohon tunggu...
Fauzi FI
Fauzi FI Mohon Tunggu... Pengacara - UNMA Banten

Kawal Keadilan

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Pembuktian Digital pada Media Sosial Facebook dalam Penanganan Pelanggaran Tindak Pidana Pemilu

30 November 2022   15:08 Diperbarui: 30 November 2022   15:13 409
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

PEMBUKTIAN DIGITAL PADA MEDIA SOSIAL FACEBOOK DALAM PENANGANAN PELANGGARAN TINDAK PIDANA PEMILU

Oleh: Fauzi Ilham

Mahasiswa Pasca Sarjana Universitas Matla,ul Anwar Banten
Email: fauziilham1982@gmail.com

                                                         Abstrak:

 Hukum dan keadilan merupakan kesatuan dalam krangka penegakan hukum pemilu, dalam ketentuan normanya sudah mengatur terhadap penerapan konsep pembuktian dalam tindak pidana. dalam pemilihan tentu bagi penyelenggara bahwa prinsip kepastian hukum dalam menjalankan prosedurnya tersebut hukum menjadi yang paling utama sebagai sarana untuk menegakan hukum dan keadilan, Menurut Jeremy Bentham, tujuan hukum adalah memberikan kemanfaatan dan kebahagiaan terbesar kepada sebanyak-banyaknya warga masyarakat. konsepnya meletakkan kemanfaatan sebagai tujuan utama hukum. adil atau tidaknya penegakan hukum tersebut sangat tergantung terhadap kwalitas alat bukti, atas pristiwa pidana apakah atas alat bukti tersebut mampu memberikan pembuktian kepada pristiwa tersebut. maka kemanfaatan diartikan sama sebagai kebahagiaan (happiness). 

Maka pemilihan umum yang di laksanakan lima tahun sekali, terhadap krangka pembuktian sebagaimana dalam Pasal 184 dan pasal 5 dan 6  UU nomor 11 Tahun 2008 transaksi elektronik, dalam UU Nomor 7 Tahun 2017 Pasal 103 terhadap ketentuan penanganan pelanggaran, bahwa Bawaslu berwenang menerima dan menindaklanjuti laporan yang berkaitan dengan dugaan pelanggaran terhadap pelaksanaan UU pemilu. tindak pidana pemilu dibedakan berdasarkan subjeknya, yaitu subjek hukum setiap orang dan badan hukum, terhadap pelaku tindak pidana Pemilu didasarkan dengan adanya unsur kesalahan dan kesengajaan dalam melakukan perbuatan pidana, kemampuan terdakwa untuk bertanggungjawab, tidak ada alasan pembenar dan pemaaf bagi terdakwa dalam melakukan tindak pidana Pemilu. sebagaimana rumusan tindak pidana pemilu diatur dalam Pasal 488 sampai dengan Pasal 554 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum.

Kata Kunci : Pemilu dan Demokrasi, Pelanggaran, Keadilan Pemilu, Pembukitan, Transaksi Eletronik, Digital, UU 7 Tahun 2017.


                Abstract:

Law and justice are one unit in the context of law enforcement elections, in the election of course for the organizer that the principle of legal certainty in carrying out the procedure is most important law as a means to suppess law and justice, according to Jerermy Bentam the purpose of law is to provide the greatest benefiot and happiness to as many citizens as possible. The concept of putting benefit as the main goal of fair law or not is very depedent on the quality of evidence for eventslf the evidence is able to provide evidence for the interpreted the same as happiness or happiness.

Then the general election which is held everi 5 year against the partial evidentary framework in article 184 and articles 5 and 6 of law number 11 of 2008 electonic transactions in law number 7 of 2017 article 103 against provisions for handling violations that Bawaslu has the authority to receive and act on luti’s reports relating to alleged violations of the implementation of the election law, election crimes are differentiated based on the subject, namly the legal subject of each personb and legal entityagaint the perpetrators of election crimes based on existence elemnt of error and intention in the ability of the acusused to tobe responsible there is no justification and forgivenes for the defendnt in committing an election crime as the formulation of an election crime is regulated in the article 488 to article 554 of law number 7 of 2017 concerning general elections.

Keywords: Democracy and Law, Justice and Law, Transaction Electric, Digital, Election National, Criminal Sanctions, Law 7 of 2017

 

BAB 1

PENDAHULUAN

  • Latar Belakang Masalah 

Negara Indonesia adalah Negara hukum, yang kedaulatannya berada ditangan rakyat, itulah amanat konstitusi Pasal 1 UUD 1945. dalam Pasal 1 ayat (3) yang berbunyi: “Negara Indonesia adalah Negara Hukum”.[1] Konsespi itu pula yang menjadi dasar yuridis normatif sebagaimana dalam aline empat preambule di nyatakan bahwa “keadilan sosial” Untuk mengimplementasikannya kedalam pemilu yang dilaksanakan secara priodik setiap 5 (lima) tahun sekali dengan berasaskan luber dan judil.[2]  

Hukum dan keadilan merupakan satu konsep adanya jaminan kepastian hukum serta menghormati hak asasi manusia. dalam konsep demokrasi setiap perbuatan (nilai-nilai kemanusiaan) hak-haknya harus dilindungi serta mendapatkan jaminan dari negara terhadap pertanggungjawaban seluruh aspek kehidupan, lebih-lebih pada pelibatan partisipasi publik. dalam pandangan presiden Amerika Serikat pada sebuah konvensi partai politik tahun 1856 menyampaikan sebuah pernyataan ”surat-suara jauh lebih kuat dari peluru”.[3]

Dalam konsep hukum dan keadilan bawa azas “equali bifore the law” sebagaimana juga prinsip dasar magna charta atau bhil of right Pemilihan Umum (Pemilu) merupakan praktek perwujudan kedaulatan rakyat dalam sebuah sistem demokrasi, yang mampu menjamin perlindungan terhadap hak-hak asasi (rule of law), serta pembentukan institusi pada kelembagaan negara yang demokratis. Pentingnya krangka hukum yang dapat menjamin keadilan dalam menyelenggarakan Pemilu kemanfaatan serta memberikan kepastian hukum terhadap peserta pemilu maupun pemilih mesti terus di bangun konsep serta krangka hukum agar lebih baik.

Setiap negara yang menganut sistem demokrasi, dalam pengisian jabatan-jabatan publik di pemerintahan dipastikan menyelenggarakan proses pemilu itulah konsekwensinya. dimana pemilu yang dilaksanakan merupakan sebagai kompetisi politik yang syah untuk merepsentasikan kedaulatan (rakyat), melalui pemilu rakyat dapat memberikan mandat kedaulatanya sehingga meligitimasi terhadap kekuasaan politik guna untuk mendelegasikan proses kekuasaan dalam menjalankan pemerintahan dalam negara.

Dalam konsep krangka pembentukan hukum pemilu terjadinya tarik ulur regulasi (khususnya terhadap penegakan hukum pemilu) sejak peralihan kepemimpinan sampai era reformasi terjadi transisi dinamis terhadap perubahan amandemen UUD 1945 terhadap pasal tentang pasal.[4] 

Persoalan penanganan pelanggaran dalam UU Pemilu Nomor 7 Tahun 2017 Pasal 103 mengidentifikasi pada  penanganan pelanggaran bawaslu menindaklanjuti baik temuan maupun laporan yang mengandung unsur dugaan pelanggaran pemilu. kendatipun terhadap pelanggaran tindak pidana, Selanjutnya juga sebagaimana ketentuan Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 Pasal 476, terhadap penanganan tindak pidana di sampaikan secara tertulis pada penyidik kepolisisan ketentuan sanksi pidana merupakan ultimum remedium (sanksi terahir) yang di berikan terhadap para pihak yang melanggar dalam penyelenggaraan pemilu.[5] 

Jika dilakukan telaah lebih jauh terhadap persoalan penanganan pelanggaran salah satu study kasus pada bawaslu pandeglang terhadap kasus pada pemilu 2019 pada media sosial akun facebook membutuhkan pembuktian dalam teknologi digital forensik terhadap pelanggaran yang selanjutnya di proses oleh Bawaslu Pandeglang dalam Pemilu 2019, sehingga terhadap pembuktian tersebut berdasarkan Undang-Undang No. 1 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana, Pasal 184 (1) bahwa alat bukti di antaranya Keterangan Saksi, Keterangan Ahli, Surat, Petunjuk, Keterangan Terdakwa. baik dari waktu yang berdasarkan tahapan maupun dalam proses pembuktian tentunya mengacu pada KUHAP (Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana)  yang kemudian atas study kasus tersebut menjadi hal yang sangat krusial dalam pembuktian pada saat gelar perkara sentra penegakan hukum terpadu terhadap keterpenuhan unsur alat bukti.

  • Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas, maka identifikasi masalah dalam penulisan journal ini adalah;

  • Bagaimana Dasar Hukum Alat Bukti berdasarkan KUHAP.?
  • Bagaimana Proses Pembuktian Dalam Pemilu.?
  • Bagaimana Konsep Teori Pembuktian Pemilu.?

Tujuan Penulisan

  • Dari penulisan ini diangkat sebagai bahan masukan terhadap kelembagaan penyelenggara pemilu, khususnya bawaslu.
  • Tujuan penulisan ini mencoba mencari deskriftif komperhensif secara objektif dalam pendekatan yuridis normatif proses penanganan pelanggaran.
  • Memberikan masukan terhadap proses pembuktian dalam tahapan pemilu dalam proses penyelidikan dan penyidikan.  

 BAB II 

PEMBUKTIAN DIGITAL DALAM PENANGANAN PELANGGARAN TINDAK PIDANA PEMILU

 Pemilu

Berbicara mengenai pemilihan umum, tidak bisa kita bicarakan sebagai satu struktur tunggal yang hadir tanpa induk. Pemilu adalah “anak kandung” dari sistem demokrasi yang sekarang menjadi satu sistem ketatanegaraan yang dianut oleh hampir seluruh Negara di dunia.[6] Demokrasi merupakan satu gagasan yang mengasumsikan bahwa kekuasaan adalah dari, oleh, dan untuk rakyat. Artinya, kekuasaan diakui berasal dari rakyat dan oleh karena itu semua kebijakan, peraturan, dan aktifitas Negara adalah manifestasi dari kehendak rakyat sebagai yang memiliki kekuasaan. Oleh karena itu penyelenggaraan Negara dalam sistem demokrasi memusatkan perhatiannya pada rakyat dengan cara memberikan ruang seluas-luasnya bagi partisipasi rakyat[7]. 

Masyarakat bersepakat untuk menyerahkan beberapa urusannya diatur oleh institusi negara. Maka setiap anggota masyarakat wajib hukumnya taat kepada setiap tindakan Negara. Dengan pemahaman itulah maka sejatinya dalam demokrasi, rakyat mengatur dan memerintah dirinya sendiri. Kesadaran tentang arti pentingnya posisi rakyat dalam demokrasi melahirkan mekanisme partisipasi rakyat dalam bernegara. Mekanisme partisipasi rakyat yang kita kenal saat ini ada dua macam, yaitu mekanisme demokrasi langsung dan mekanisme demokrasi tidak langsung. Yang dimaksud dengan demokrasi langsung adalah satu cara dimana masyarakat hadir secara langsung turut menentukan arah kebijakan yang akan ditempuh oleh Negara.

 Situasi ini yang memungkinkan demokrasi langsung dapat dipraktekkan dengan berbagai tantangan yang tidak cukup mudah.  menganalisa dan membuat keputusan secara langsung terhadap persoalan-persoalan yang ada. Maka, demokrasi tidak langsung merupakan satu sistem yang paling realistis untuk dipraktekan dalam satu negara modern saat ini. Dalam melaksanakan model demokrasi tidak langsung, rakyat disyaratkan harus memiliki wakil dalam parlemen atau institusi negara yang sejenis untuk menyampaikan aspirasinya. Idealnya, mereka yang mewakili rakyat adalah orang-orang yang dipilih secara langsung oleh yang diwakili melalui pemilihan yang secara hukum dapat dinilai adil. disinilah kita menemukan arti penting diadakannya pemilu.[8]

  • Konsep Penanganan Pelanggaran Pemilu
  •  
  • Penanganan Pelanggaran Pemilu merupakan serangkaian tindakan yang di lakukan oleh penyelenggara pemilu dalam tindakannya terhadap prinsip-prinsip penyelenggara pemilu dan etika, yang berpedoman kepada sumpah dan/atau janji sebelum menjalankan tugas sebagai penyelenggara pemilu dan asas penyelenggara pemilu yang diberlakukan dan ditetapkan undang-undang. Oleh karenanya dalam proses pelanggaran pemilu baik yang bersumber dai laporan atau temuan di lakukan proses kajian terhadap ketepenuhan syaraf formil maupun materil yang selanjutnya terhadap keterpenuhan tersebut untuk di lakukan tindak lanjut atau di hentikan karena tidak memenuhi unsur dugaan pelanggaran.[9]  untuk menjaga kemandirian, integritas, akuntabilitas, dan kredibilitas penyelenggara pemilu. Sedangkan tujuan kode etik adalah memastikan terselenggaranya pemilu secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil. 
  •  
  • Proses pemilu sesuai dengan kerangka hukum melindungi atau memulihkan hak pilih, memungkinkan warga yang meyakini bahwa hak pilih mereka telah dilanggar untuk mengajukan pengaduan atau laporan atas sebuah pristiwa pelanggaran, mengikuti persidangan, dan mendapatkan putusan. dengan demikian, keadilan pemilu dikonsepsikan sebagai kondisi di mana seluruh prosedur dan tindakan penyelenggara dilakukan sesuai regulasi pemilu. Pada saat yang sama, regulasi pemilu juga menyediakan mekanisme pemulihan terhadap hak pilih dilanggar.
  •  
  • Kerangka hukum pemilu oleh karenanya mengatur prosedur penyelesaian pelanggaran yang terjadi, maka prasyarat mewujudkan keadilan pemilu dapat dipenuhi. Adapun Ramlan Surbakti berpandangan, keadilan pemilu tidak hanya terbatas pada tersedianya kerangka hukum pemilu semata, melainkan juga mencakup kesetaraan hak pilih, badan penyelenggara yang independen, integritas pemungutan suara, dan penyelesaian pelanggaran atau sengketa tepat waktu. Ia menekankan, keadilan pemilu membutuhkan kepastian dan jaminan hukum terhadap semua proses pemilu. penegakan hukum, imparsial, profesionalisme, independen, transparansi, time line, tanpa kekerasan, regularity, dan penerimaan.
  •  
  • Dari beberapa pandangan tersebut, dapat dikonstruksi bahwa sistem keadilan pemilu adalah sistem untuk memastikan proses pemilu di suatu negara berjalan secara bebas, adil, dan jujur. dalam sistem tersebut terdapat beberapa bagian, di mana salah satunya adalah mekanisme penegakan hukum pemilu. Mekanisme ini digunakan sebagai sarana terakhir dalam membentengi keadilan pemilu.
  •  
  • Penindakan terhadap dugaan pelanggaran pemilu sesuai mekanisme yang ditentukan dalam UU Pemilu 2017 Pelanggaran tindak pidana merupakan pelanggaran pidana atau tindak pidana pemilu merupakan perbuatan yang melanggar ketentuan pidana yang diatur dalam UU Pemilu 2017 Penanganan pelanggaran pidana dilakukan melalui proses peradilan pidana yang melibatkan sentra gakumdu sebagaimana pasal 486 ayat untuk menyamakan pemahaman dan pola penanganan pelanggaran tindak pidana pemilu maka dibentuklah sentra gakumdu.[10] maka bawaslu dan jajaran, kepolisian, kejaksaan dan pengadilan negeri. Oleh karenanya bawaslu dalam hal menetapkan apakah suatu peristiwa hukum tindak pidana pemilu yang terjadi dapat diduga sebagai tindak pidana pemilu atau tidak dalam ketentuan waktu 1x24 jam maka harus sudah bisa menilai terhadap ketentuan pristiwa tindak pidana tersebut yang selanjutnya sebagaimana  hukum acara yang digunakan dalam menangani dugaan tindak pidana pemilu adalah Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). 

Alat Bukti dalam Tindak Pidana Pemilu.

Kebenaran yuridis (hukum) sangat dipengaruhi oleh aspek pembuktian, semakin kuat pembukatiannya maka nilai kebenaran dalam setiap putusan yang diambil semakin dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya. Oleh karenanya sistem pembuktian sangat penting dipahami dan diperhatikan dalam setiap mekanisme mengungkap kasus dalam proses penanganan pelanggaran yang masuk dalam katagori tindak pidana menurut pandangan klasik bahwa hakim dalam menerapkan Undang-undang terhadap pristiwa hukum sesungguhnya tidak secara mandiri, hakim hanyalah penyambung undang-undang.[11]  

Berkaitan dengan hal tersebut, R. Supomo sebagaimana dikutip oleh Eddy O.S. Hiariej berpendapat bahwa pembuktian mempunyai dua arti. Pertama dalam arti luas, pembuktian membenarkan hubungan hukum. Misalnya jika hakim mengabulkan gugatan penggugat. Gugatan penggugat yang dikabulkan mengandung arti hakim telah menarik kesimpulan bahwa hal yang dikemukakan oleh penggugat sebagai hubungan hukum antara penggugat dan tergugat adalah benar. Oleh karena itu, membuktikan dalam arti yang luas berarti memperkuat kesimpulan hakim dengan syarat-syarat bukti yang sah. Kedua, dalam arti yang terbatas (sempit), pembuktian hanya diperlukan apabila hal yang dikemukakan oleh penggugat itu dibantah oleh tergugat. Sementara itu, hal yang tidak dibantah tidak perlu dibuktikan. 

Sedangkan Sudikno Mertokusumo yang juga dikutip oleh Eddy O.S. Heariej, membagi pengertian pembuktian menjadi tiga yang meliputi arti logis, konvensional dan yuridis. Pembuktian dalam arti yuridis adalah memberi dasar-dasar yang cukup kepada hakim yang memeriksa perkara yang bersangkutan guna memberi kepastian tentang kebenaran peristiwa yang diajukan.[12]    

Salah satu fungsi dan wewenang Bawaslu adalah penegakan hukum pemilu, baik melalui mekanisme persidangan pada kasus dugaan pelanggaran tindak pidana maupun terhadap adjukasi atas pelanggaran administrasi dan penyelesaian sengketa proses pemilu. ketiga penanganan kasus hukum tersebut (pidana pemilu, pelanggaran administrasi dan penyelesaian sengketa proses pemilu), membutuhkan mekanisme pembuktian yang benar agar putusan yang diambil dapat memenuhi rasa keadilan dan kebenarannya juga dapat dipertanggungjawabkan.

 Urgensi Pembuktian dalam Proses penanganan Pelanggaran Pemilu

 Pada tahun 2019 telah dilaksanakan pemilihan umum, Pemilihan tersebut berjalan lancar, damai, dan tertib. penegakan hukum pidana merupakan faktor penunjang pemilihan umum tersebut. akan tetapi, proses penegakan hukum pidana tersebut mengalami banyak tantangan serta hambatan, di antaranya karena kurangnya kesepahaman pemenuhan unsur pidana pemilu pada proses pembuktian dalam pembahasan Sentra Penegakan Hukum Terpadu. Terhadap proses pembuktian dalam aplikasi media sosial mislanya membutuhkan proses digitalisasi terhadap pemenuhan syarat pembuktian tersebut, kalau melihat pasal 184. alat bukti yang sah adalah keterangan ahli.[13] salah satunya keterangan ahli yang masuk katagori pembuktian tersebut yang harus mampu mengkwalifikasikan tersebut, hal itu disebabkan kurangnya alat bukti tindak pidana dalam pembuktian tindak pidana pemilu. maka menjadi persoalan penanganan pelanggaran lewat medsos aplikasi facebook harus di lakukan secara Forensik digital yang merupakan bidang keilmuan yang harus di dapatkan dari keterangan ahli yang bersangkutan untuk mengambil, menganalisis, dan melaporkan bukti elektronik yang terkait tindak pidana untuk di lakukan uji pembuktian. maka dalam proses penulisan ini merupakan penelitian pendekatan kasusistik hukum yuridis normatif dan menggunakan pendekatan undang-undang (statute approach), yang di dasarkan pada pendekatan kasus (case approach), dan pendekatan komparatif (comparative approach). Penelitian ini dilakukan dengan melakukan penelitian kepustakaan dan terhadap kasus yang pernah terjadi. sedangkan metode analisa data yang digunakan yakni analisis kuantitatif. hasil penelitian ini menunjukan bahwa terhadap pembuktian dengan forensik digital berperan penting dalam pengungkapan perkara pada pristiwa tindak pidana pemilu lewat media sosial dan pembuktian penanganan perkara tindak pidana pemilu secara efisien dan efektif. berkaca dari kelebihannya tersebut penulis merekomendasikan Sentra Penegakan Hukum Terpadu membentuk unit khusus untuk forensik digital yang langsung terhubung dengan kepolisian agar membantu penanganan perkara tindak pidana pemilu.

Konsep Pembuktian Digital Dalam Desain Tindak Pidana Pemilu

Pembuktian merupakan proses penting untuk menentukan salah atau tidaknya seseorang dan juga terang atau tidak terangnya suatu perkara, pengetian pembuktian adalah suatu perbuatan membuktikan. Membuktikan berarti memberikan atau memperlihatkan bukti, melakukan sesuatu kebenaran, melaksanakan menandakan menyaksikan dan meyakinkan. Menurut Prof. Dr. Eddy O.S. Hiariej dalam bukunya Teori dan Hukum Pembuktian hukum pembuktian sebagai ketentuan-ketentuan mengenai pembuktian dalam pasal 184.[14] ayat (1) KUHAP yaitu Keterangan Saksi, Keterangan Ahli, Surat, Petunjuk, Keterangan Terdakwa. yang meliputi alat, bukti, barang bukti, cara mengumpulkan dan memperoleh bukti sampai pada penyampaian bukti di pengadilan serta kekuatan pembuktian dan beban pembuktian.

Alat Bukti

Alat bukti dapat didefinisikan sebagai segala hal yang dapat digunakan untuk membuktikan perihal kebenaran suatu peristiwa di pengadilan. KUHAP menganut sistem pembuktian secara negatif (Negatief Wettelijk Stelsel) sebagaimana ketentuan Pasal 183 KUHAP bahwa “Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia peroleh keyakinan bahwa suatu tidak pidana benar-benar terjadi dan terdakwalah yang bersalah melakukannya”. Adapun alat bukti yang sah menurut Pasal 184 Ayat (1) KUHAP adalah “Keterangan saksi, Keterangan ahli, Surat, Petunjuk dan Keterangan Terdakwa” Kemudian bagaimanakah dengan bukti elektronik, Bagaimana pengaturan bukti elektronik dapat menjadi suatu alat bukti di pengadilan,

Dasar Hukum

Bukti elektronik peetama kali diperkenalkan dalam Pasal 26A Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Kemudian pengaturan bukti elektronik diatur lebih rinci lagi pada Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik terdapat 19 bentuk tindak pidana penghinaan khusus, yang di muat pada pasal 27 ayat 3 UU ITE menyebut melarang “setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik” sebagaimana ketentuan dalam pasal 27 bahwa bisa di jadikan alatbukti tertesut terhadap dokumen elektronik tersebut.[15] sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 atau Selanjutnya disebut UU ITE. 

Bukti Elektronik

Memberikan definisi Mengenai digital evidence sebagai informasi atau data, disimpan atau dikirim dalam bentuk biner (bineryform) yang diandalkan sebagai bukti. dalam buku hukum pidana positif penghinaan karangan Drs. H. Adami Chazawi. S.H pengertian bukti elektronik adalah data tersimpan yang ditransmisikan melalui sebuah perangkat elektronik, jaringan atau sistem komunikasi. Jadi data-data yang tersimpan inilah yang dibutuhkan untuk membuktikan adanya suatu tindak pidana yang terjadi, yang pembuktiannya akan diuji kebenarannya di depan persidangan.[16]

Secara prinsip Internasional penanganan bukti elektronik secara Terpeliharanya integritas data, adanya personel yang kompeten, terpeliharanya chain of custody, kepatuhan terhadap regulasi. Berbeda dengan alat bukti menurut Pasal 184 KUHAP, bukti elekronik memiliki karakteristik yang khusus yakni tak terlihat, sangat rapuh karena mudah berubah, mudah rusak karena sensitive terhadap waktu, dan mudah dimusnahkan atau mudah dimodofikasi (rekayasa). Bukti elektronik juga dapat berpindah dengan mudah, serta jika akan melihat atau membacanya memerlukan bantuan alat, baik alat yang berupa perangkat keras (hardware) maupun perangkat lunak (software).

 Alat Bukti Elektronik

Sesuai Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016, dalam Pasal 1 angka 1 Informasi Elektronik adalah satu atau sekumpulan data elektronik, termasuk, tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, Elektronic Data Inter change (EDI), surat elektronik (electronic mail), telegram, telecopy, atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, kode, akses, simbol, atau perforasi yang telah diolah yang memiliki arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya.

Menurut Pasal 1 angka 4 UU ITE, Dokumen Elektronik adalah setiap Informasi Elektronik yang dibuat, diteruskan, dikirimkan, diterima, atau disimpan dalam bentuk analog, digital, elektromagnetik, optikal, atau sejenisnya yang dapat dilihat, ditampilkan dan/atau didengar melalui Komputer atau Sistem Elektronik termasuk tetaoi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta rancangan, foto atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, kode, akses, symbol atau perfokasi yang memiliki makna atau arti atau dapat dipahami oleh orang mampu memahaminya.

Pasal 5 UU ITE dijelaskan, alat bukti elektronik merupakan alat bukti yang sah dalam persidangan.

(1) Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetakannya merupakan alat bukti yang sah. 

(2) Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan perluasan dari alat bukti yang sah sesuai dengan hukum acara yang berlaku di Indonesia. 

(3) Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dinyatakan sah apabila menggunakan Sistem Elektronik sesuai dengan ketentuan dalam undang-undang ini. 

(4) Ketentuan mengenai Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Eletronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku untuk: a. Surat yang menurut Undang-Undang harus dibuat dalam bentuk tertulis; dan b. Surat beserta dokumennya yang menurut Undang-Undang harus dibuat dalam bentuk Akta Notaris atau Akta yang dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta. 

Dalam buku Dr. Eddy Army “Bukti Elektronik dalam Praktik Peradilan” menjelaskan beberapa jenis bukti-bukti elektronik, Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) menggolongkan jenis bukti elektronik mengaju kepada Scientific Working Group on Digital Evidence Tahun 1999 yakni: 

1. E-mail, alamat E-mail (surat elektronik), 

2. File Word Processor/Spreedsheet, 

3. Source Code perangkat lunak, 

4. File berbentuk Image (jpeg, tip, dan lain-lain), 

5. Web Browser Booksmark, 6. Cookies, Kalender, to-do list. 

Menurut ISO atau IEC 27073:2012 Information technology-Security techniques-Guidelines for Identification, Collection, Acquisition and Praservation of Digital Evidance mengkategorikan bukti elektronik, yaitu: 

1. Computer, peripheral devices, and digital storage media.  

2. Network devices,  

3. Closed Circuit Television (CCTV). 

Association of Chief Police (ACPO), dalam Good Practice, Guide for Computer Based Electronic Evidence, mengkategorikan jenis bukti elektronik, yaitu:

 

1. Computers, 

 2. Network, 

 3. Video & Closed Circuit Television (CCTV), 

 4. Mobile Phone. Muhammad Neil El Himam menggolongkan bukti elektronik dapat bersumber pada:

 Komputer, yang terdiri atas; a. E-mail, b. Gambar digital, c. Dokumen elektronik, d. Spreadsheets, e. Log chat. f. Software illegal dan materi HaKI lainnya.

  1. Hard Disk, yang terdiri atas: a. Files, baik yang aktif, dihapus maupun berupa fragmen, b. Metadata File, c. Slack File, d. Swap File, e. Informasi Sistem, yang terdiri atas Registry, Log, dan Data Konfigurasi.
  2. Sumber lain, yang terdiri atas: a. Telepon Seluler, yaitu berupa SMS, Nomor yang dipanggil, Panggilan Masuk, Nomor Kartu Kredit/Debit, Alamat E-mail, Nomor Call Forwarding; b. PDAs/Smart Phones, yang terdiri atas semua yang tercantum dalam Telepon Selular ditambah kontak, eta, gambar, password, dokumen, dan lain-lain.
  3. Video Game; a. GPS Device yang berisikan Rutes/Rute; b. Kamera Digital, yang berisikan Foto, Video, dan Informasi lain yang mungkin tersimpan dalam memory card (SD, CF, dan lain-lain).

Perolehan Bukti Elektronik

Pada tindakan penggeledahan dan penyitaan sistem elektronik diatur dalam Pasal 43 Ayat (2), (3) dan (4) UU ITE, penggeledahan atau penyitaan terhadap sistem elektronik harus dilakukan atas izin ketua pengadilan negeri setempat, pengeledahan dan/atau penyitaan terhadap sistem elektronik yang terkait dengan tindak pidan di bidang Teknologi Informasi dan Transaksi Elektronik dilakukan sesuai dengan ketentuan hukum acara pidana serta dalam melakukan tindakan pengeledahan dan/atau penyitaan terhadap sistem elektronik penyidik wajib menjaga terpeliharanya kepentingan pelayanan umum. Dan merujuk Pasal 75 Ayat (1) huruf K untuk setiap tindakan yang dilakukan berdasarkan UU ITE dibuatkan Berita Acara, Berita Acara sebagai suatu dokumen bagi hakim untuk mengetahui cara suatu bukti diperoleh penyidik secara sah atau tidak serta sebagai bukti apakah benar bukti tersebut dapat dihadirkan dalam rangka pembuktian.

Pemeriksaan Bukti Elektronik

Bukti elektronik yang dihadirkan ke persidangan haruslah terjaga keabsahannya, yakni telah diperiksa sesuai prosedur yang benar apabila bukti elektronik terjaga keabsahannya maka ia mempunyai nilai kekuatan pembuktian serta dapat menjadi alat bukti yang sah sesuai ketentuan Pasal 5 UU ITE. Sebagaimana yang diatur dalam Pasal 15 dan 16 UU ITE bahwa sistem elektronik haruslah :

Andal, aman, dan bertanggung jawab.

Dapat menampilkan kembali Informasi atau Dokumen Elektronik secara utuh.

Dapat melindungi ketersediaan, keutuhan, keotentikan, kerahasiaan, dan keteraksesan Informasi Elektronik.

Dilengkapai dengan prosedur atau petuntunjuk dan dapat beroperasi sesuai prosedur atau petunjuk yang telah ditetapkan tersebut.

Keabsahan sebagai Alat Bukti

Sebagaimana yang diketahui Pasal 184 KUHAP menyatakan alat bukti yang sah adalah: keterangan saksi; keterangan ahli; surat; petunjuk; dan keterangan terdakwa. Namun dengan lahirnya UU ITE melahirkan alat bukti baru berupa dokumen eletronik. Sesuai Pasal 5 Ayat (1) UU ITE “Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya merupakan alat bukti hukum yang sah”. Maksud sah tersebut apabila menggunakan Sistem Elektronik sesuai ketentuan UU ITE (Pasal 5 Ayat (3)),

Berdasarkan penjelasan diatas maka tidak ada keraguan terhadap Informasi Elektronik dan Dokumen Elektronik bahwa sah digunakan sebagai alat bukti guna proses persidangan di pengadilan. Namun tehadap bukti elektronik ini masih membutuhkan pengaturan yang lebih rinci terkait bagaimana prosedur penggeledahan dan penyitaan serta mekanisme perolehan bukti elektronik, serta hal-hal lain yang dapat memperkuat keabsahan bukti elektronik yang dapat memiliki nilai pembuktian dipersidangan.

BAB III

PENUTUP

 Kesimpulan 

Kedudukan alat bukti elektronik dalam hukum pembuktian dalam penanganan pelanggaran tindak pidana pemilu pada penanganan tindak pidana pada media sosial dikaitkan dengan Pasal 184 KUHAP bahwa Ketentuan hukum pembuktian dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik dalam Pasal 5 dan Pasal 6 Undang-undang Informasi Transaksi Elektornik sudah diatur mengenai pembuktian elektronik, yang menerangkan bahwa informasi elektronik dan/atau hasil cetaknya merupakan alat bukti hukum yang sah apabila menggunakan sistem elektronik sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang Informasi Transaksi Elektronik. Yang dinilai sebagai alat bukti dan dibenarkan mempunyai kekuatan pembuktian hanya terbatas kepada alat-alat bukti berdasarkan pasal 184 (1) KUHAP  bahwa, menyikapi alat bukti elektronik dalam tindak pidana pemilu bahwa, informasi dan- /atau dokumen elektronik adalah alat bukti yang sah. Informasi dan/atau dokumen elektronik dianggap sah sepanjang informasi yang tercantum di dalamnya dapat diakses, ditampilkan, dijamin keutuhannya, dan dapat dipertanggungjawabkan sehingga menerangkan suatu keadaan.

Dalam proses pembuktian di persidangan, alat bukti digital atau alat bukti surat elektronik tidak diperlukan bentuk aslinya (softcopy), yang diperlukan hanya hasil cetakannya (print out). Apabila dalam keterangan saksi dalam bukti surat atau dalam keterangan terdakwa sudah menyebut adanya bukti elektronik, maka majlis hakim dapat mengkaji lebih jauh alat bukti elektronik tersebut sehingga cukup layak, dapat dipergunakan sebagai alat bukti. sebagaimana pada pasal 184 ayat (1) KUHAP alat bukti yang sah adalah keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk, dan keterangan terdakwa. dari kelima ketentuan tersebut alat bukti tersebut minimal 3 (tiga) diantaranya dapat diemban oleh laboratorium digital forensik yaitu keterangan ahli, surat dan petunjuk (yang merupakan dokumen elektronik dalam bentuk digital) sehingga berdasarkan hasil pemeriksaan di TKP (Tindak Kejadian Perkara) dan laboratorium bahwa terkait dengan alat bukti tersebut sebagaimana pasal 5 UU ITE sesuatu yang sah untuk di pergubakan sebagai bagian dari alat bukti elektronik.

 

 Daftar Pustaka

 

Buku 

 Zuhad Aji Firmantoro, Dilema Penanganan Pelanggaran Pemilun Legislatif, The Phinisi Pres Yogyakarta, 2017

 Adami Chazawi, Hukum Pidana Positif Penghinaan, CV. Putra Media Nusantara Surabaya 2009

 Bagja, Rahmat dan Dayanto, Hukum Acara Penyelsaian Sengketa Proses Pemilu, Depok, Rajawali Pres, 2020

 Umam, Khairul, Teori dan Metode Perubahan Undang Undang Dasar 1945, Yogyakarta, Thafa Media, 2016

 Martakusumo, Sudikno, Penemuan Hukum, Yogyakarta, Cahaya Atma Pustaka, 1996

 Pettalolo, Ratna Dewi & Fahmi, Khairul, Kajian Evaluatif Penanganan Pelanggaran Pemilihan Kepala Daerah Serentak 2020, Jakarta: Badan Pengawas Pemilihan Umum, 2020

 Kherid, Nizar, Evaluasi Sistem Pemilu Di Indonesia Sebuah Pluralisme Hukum, Jakarta, Rayyana Komunikasinndo, 2020

 Romsan, Achmad, Altrenative Dispute Resolution, Teknik Penyelsaian Sengketa Negoisasi dan Mediasi, Jakarta, Setara Press, 2016

 Satriawan, Iwan, Politik Hukum Pilkada dan Desain badan Peradilan Khusus, Jakarta, Pustaka Pelajar, 2019

 

E-Journal 

 Surya Galih, Yuridiksi Hukum Pidana Dalam Dunia Maya Volume 7 No. 1- Maret 2019

 Qurrata Ayuni, Gagasan Pengadilan Khusus Untuk Sengketa Hasil Pemilihan Kepala Daerah, Jurnal Hukum & Pembangunan 48 No. 1 (2018): 199-221

 Susilo, dan Budi, Agus, Penegakan Hukum Yang Berkeadilan Dalam Perspektif Filsafat Hermeneutika Hukum: Suatu Alternatif Solusi Terhadap Problematika Penegakan Hukum Di Indonesia. Jurnal: Perspektif Volume XVI No. 4 Tahun 2011 Edisi September, hal: 214      

 Internet/Website

Sari, Cindy Permata, Politik Hukum di Indonesia, https ://www.researchgate.net/ publication/337241250_Politik_Hukum_di_Indonesia. Diakses pada 16 Februari 2022

MK ‘Rombak’ Definisi Saksi dalam KUHAP, https: //www.hukumonline.com/berita/baca/lt4e400c35027d0/mk-definisi-saksi-dalam-kuhap--?page=1 Di akses pada 4 Oktober 2021

 

Peraturan-Peraturan 

Undang-undang Nomor 10 Tahun 2016 Tentang Perubahan Kedua Undang-undang Nomor 1 Taun 2015 Tentang Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati dan/atau Walikota dan Wakil Walikota 

Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum 

Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Putusan Nomor 21/PUU-XII/2014 Terkait Pengujian Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana 

Peraturan Bersama Ketua Badan Pengawas Pemilihan Umum Republik Indonesia, Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia, Dan Jaksa Agung Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2016 Nomor 01 Tahun 2016 Nomor 013/Ja/11/2016 Tentang Sentra Penegakan Hukum Terpadu Pada Pemilihan Gubernur Dan Wakil Gubernur, Bupati Dan Wakil Bupati, Serta Walikota Dan Wakil Walikota.

Peraturan Badan Pengawas Pemilu Nomor 8 Tahun 2018 Tentang Penanganan Temuan dan Laporan Pelanggaran Pemilihan Umum, hal: 10

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun