Mohon tunggu...
Fauzia Nisrina Salsabila
Fauzia Nisrina Salsabila Mohon Tunggu... Pelajar Sekolah - Siswa Kelas XII MIPA 3 SMA Negeri 1 Waled

Saya adalah seseorang yang gemar membaca buku fiksi. Saya memiliki ketertarikan untuk membahas buku-buku seperti novel, karya sastra, juga saya suka melihat hujan yang turun membasahi bumi. Saya juga menyukai kajian tentang ilmu pengetahuan, baik tentang ilmu alam maupun ilmu sosial.

Selanjutnya

Tutup

Analisis

Politik Uang Masih Menjadi Tantangan Besar Pemilu

3 Februari 2024   22:43 Diperbarui: 5 Februari 2024   11:02 141
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Salah satu musuh utama dalam pesta demokrasi, baik di tingkat nasional maupun daerah adalah praktik politik uang (money politic). Menurut Juliansyah (2007), politik uang adalah suatu upaya mempengaruhi orang lain dengan menggunakan imbalan berupa materi pada proses politik dengan membagi-bagikan uang, baik milik pribadi atau partai untuk mempengaruhi suara pemilih (voters). Menurut Aspinall & Sukmajati (2015), politik uang merupakan upaya menyuap pemilih dengan memberikan uang atau jasa agar preferensi suara pemilih dapat diberikan kepada seorang penyuap.

Dengan adanya praktik politik uang, pemilih kehilangan kewenangannya untuk memilih kandidat pejabat publik melalui pertimbangan rasional, seperti rekam jejak, kinerja, program maupun janji kampanye karena memilih kandidat hanya karena pemberian uang belaka. Dari pemahaman tersebut, politik uang adalah salah satu bentuk suap.

Mengutip dari laman website cnbcindonesia.com, fenomena politik uang dipertegas melalui riset yang dilakukan oleh agensi Public Relations (PR), Praxis Indonesia. Berdasarkan survei kepada 1.001 mahasiswa berusia 16-25 tahun yang tersebar di 34 provinsi pada periode 1-8 Januari 2024 menunjukkan adanya sikap permisif terhadap praktik politik uang. Dari total responden, hanya ada 10,99% saja yang bersikap tegas dengan cara menolak, yang lainnya menerima dengan sejumlah catatan. Salah satunya sikap pragmatis atau ingin untung, dengan menerima tapi tidak memilih atau dikenal luas dengan slogan “ambil uangnya, jangan pilih orangnya.”

Sumber: cerdika.com
Sumber: cerdika.com

Larangan politik uang telah tertuang dalam Pasal 278 Ayat (2), 280 Ayat (1) Huruf J, 284, 286 Ayat (1), 515 dan 523 UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum.

Dalam UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Ketentuan Pidana Pemilu menyebutkan Pemberian Hukuman Terhadap Pembelian Imbalan Pada Peserta Kampanye. Ketentuan tersebut tertuang dalam Pasal 523 yang menyebutkan bahwa "Setiap pelaksana, peserta, dan/atau tim kampanye pemilu yang dengan sengaja menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya sebagai imbalan kepada peserta kampanye pemilu secara langsung ataupun tidak langsung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 280 Ayat (1) Huruf J, dipidana dengan pidana penjara selama 2 tahun dan denda paling banyak Rp 24.000.000 (dua puluh empat juta rupiah)."

Ketentuan sanksi pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 187 A Ayat (1) “Setiap orang yang dengan sengaja melakukan perbuatan melawan hukum, menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya sebagai imbalan kepada Warga Negara Indonesia (WNI) baik secara langsung ataupun tidak langsung untuk mempengaruhi pemilih agar tidak menggunakan hak pilih atau menggunakan hak pilih dengan cara tertentu sehingga suara menjadi tidak sah, memilih calon tertentu, atau tidak memilih calon tertentu sebagaimana dimaksud pada pasal 73 ayat (4) dipidana dengan pidana penjara paling singkat 36 (tiga puluh enam) bulan dan paling lama 72 (tujuh puluh dua) bulan dan denda paling sedikit Rp.200.000.000 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp.1.000.000.000. (satu milyar rupiah)”. Ayat (2) “Pidana yang sama diterapkan kepada pemilih yang dengan sengaja melakukan perbuatan melawan hukum menerima pemberian atau janji sebagaimana dimaksud pada Ayat (1)”.

Dilansir dari laman website stisipsains.ac.id., meskipun telah tertera dengan jelas dalam hukum, Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) mencatat setidaknya 25 kasus politik uang di 25 kabupaten/kota yang tertangkap tangan menjelang pemilu yang dilaksanakan pada 2019 silam. 

Mada Sukmajati, peneliti sekaligus dosen DPP Fisipol UGM mengungkapkan bahwa salah satu motif utama dari pihak patron adalah calon legislatif (caleg) yang tidak mampu mengembangkan program tetapi berkeinginan untuk menang dengan dukungan minim dari partai politik yang mengusung mereka berhenti pada proses pencalonan saja.

Faktor budaya masyarakat yang telah melekat sejak lama tak luput menjadi pilar utama penyebab praktik politik uang yang tumbuh  di Indonesia. Misalnya kebiasaan yang sudah mendarah daging di masyarakat Indonesia, yakni tidak pantas jika menolak pemberian dan jika tidak membalas pemberian tersebut akan dipandang sebagai “kurang sopan”. Masih banyak bagian dari masyarakat yang memandang tindakan tersebut sebagai suatu bentuk kerendahan hati, sehingga mendorong mereka untuk mendukung aksi tidak terpuji. Instrumen kultural ini pun pada akhirnya dimanfaatkan oleh oknum politisi untuk menjalankan politik uang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun