Ketiga ayat ini menghadirkan gambaran konsisten: wildānun mukhalladūn berfungsi sebagai pelayan penghuni surga, menyajikan minuman dan menemani dalam suasana penuh kemuliaan.
Tafsir Ulama
Para mufassir klasik dan modern menafsirkan ayat-ayat ini dengan beragam penekanan.
Al-Ṭabari menegaskan bahwa wildānun mukhalladūn adalah makhluk khusus yang diciptakan Allah, tidak lahir dari rahim, bukan keturunan penghuni surga. Mereka semata-mata ada untuk melayani para ahli jannah.
Ibnu Kathir dalam tafsirnya menyebut bahwa mereka adalah pelayan surga yang jumlahnya sangat banyak, selalu muda, dan tidak pernah lelah. Wajah mereka begitu indah sehingga diibaratkan seperti mutiara yang bertaburan.
Al-Qurṭubi menambahkan dimensi estetis: gambaran mereka sebagai mutiara adalah simbol kebersihan, kejernihan, dan kecerahan wajah mereka. Ini menegaskan bahwa pelayanan di surga tidak hanya praktis, tetapi juga menghadirkan suasana keindahan dan kemegahan.
Fakhruddin al-Razi dalam Mafātīḥ al-Ghayb menyoroti bahwa deskripsi ini juga bermakna metaforis. Ia menunjukkan bahwa surga tidak hanya soal kenikmatan fisik, tetapi juga suasana hati yang penuh kelembutan, pelayanan, dan kenyamanan.
Antara Literal dan Simbolis
Perdebatan menarik muncul di kalangan ulama dan filosof: apakah wildānun mukhalladūn harus dipahami secara literal sebagai makhluk nyata, ataukah simbolis sebagai perlambang kenikmatan?
Sebagian mufassir berpegang pada makna literal: mereka memang ada, diciptakan sebagai pelayan surga. Ini konsisten dengan metode tafsir bil-ma’tsur (berdasarkan riwayat sahih).
Namun, ada pula yang melihatnya sebagai simbol. Bagi sebagian filosof, “pemuda abadi” ini adalah representasi dari pelayanan Ilahi yang sempurna, dari suasana surga yang benar-benar tanpa letih dan tanpa kekurangan. Seperti halnya perumpamaan buah surga atau sungai susu, gambaran ini bisa jadi hanya cara Allah menjelaskan hal-hal gaib dengan bahasa yang dipahami manusia.