Mohon tunggu...
Fauzan Rizqy Hidayat
Fauzan Rizqy Hidayat Mohon Tunggu... Mahasiswa

Nama : Fauzan Rizqy Hidayat NIM : 43223010058 Program Studi / Fakultas : S1- Akuntansi / Fakultas Ekonomi dan Bisnis Mata Kuliah : Sistem Informasi Akuntansi Dosen : Prof.Dr. Apollo , Ak , M. Si. Universitas Mercu Buana Jakarta

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

B-206_Kuis Teori Akuntansi Pendekatan Hermeneutik Wilhelm Dilthey

11 Oktober 2025   15:13 Diperbarui: 12 Oktober 2025   16:26 52
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://id.wikipedia.org/wiki/Wilhelm_Dilthey

Abstrak

Artikel ini membahas apa yang dimaksud dengan hermeneutika Dilthey, siapa tokohnya dan pengaruhnya, kapan pemikirannya muncul, di mana relevansi konsepnya bagi dunia akuntansi, mengapa perlu pendekatan hermeneutik, dan bagaimana penerapannya dalam konteks epistemologi, ontologi, dan aksiologi akuntansi.

1. Pendahuluan

Dalam dunia modern yang semakin terukur dan terstandar, akuntansi sering kali dipandang sebagai bahasa universal bisnis sebuah sistem yang mampu mengubah realitas ekonomi menjadi angka-angka yang tampak pasti, obyektif, dan terukur. Laporan keuangan, rasio profitabilitas, serta indikator kinerja dianggap mewakili "kebenaran" tentang kondisi suatu organisasi. Namun, di balik segala ketepatan matematis dan konsistensi teknis itu, terselip satu pertanyaan mendasar: apakah angka-angka tersebut sungguh merepresentasikan kehidupan manusia yang kompleks, ataukah sekadar bayangan statistik dari kenyataan yang jauh lebih dalam?

Apa (What) yang menjadikan hermeneutika Dilthey relevan dengan akuntansi adalah penekanannya bahwa pengetahuan tentang manusia tidak dapat direduksi menjadi angka semata. Dalam akuntansi, setiap keputusan, catatan, dan laporan bukan hanya hasil kalkulasi logis, tetapi juga ungkapan dari nilai, tanggung jawab, dan keyakinan. Saat seorang akuntan menetapkan nilai wajar suatu aset, mempertimbangkan depresiasi, atau menyusun laporan tahunan, ia sesungguhnya sedang menafsirkan realitas sosial dan moral yang melibatkan manusia di dalamnya. Dengan kata lain, akuntansi adalah praktik penafsiran yang hidup---sebuah hermeneutika dalam tindakan.

Dalam kerangka itu, mengapa (Why) pendekatan hermeneutik penting adalah karena ia mengembalikan akuntansi ke jantung kemanusiaan. Di tengah arus globalisasi dan kapitalisme yang menuntut efisiensi maksimal, akuntansi kerap tergelincir menjadi alat kekuasaan yang menyingkirkan nilai-nilai empati dan keadilan. Skandal manipulasi keuangan, rekayasa laporan laba, dan penyembunyian kerugian bukan hanya kesalahan teknis, tetapi cerminan hilangnya kesadaran etis dalam profesi ini. Hermeneutika, dengan semangat Verstehen (pemahaman) dan Einfhlung (empati), menuntun kita untuk melihat bahwa angka bukanlah entitas netral; ia adalah simbol kehidupan yang membawa beban moral, sosial, dan spiritual.

Di mana (Where) konteks penerapan pemikiran ini paling nyata? Jawabannya: di setiap ruang di mana akuntansi menyentuh kehidupan manusia. Dalam ruang rapat korporasi, di mana keputusan finansial memengaruhi nasib ribuan pekerja. Dalam organisasi sosial, di mana pencatatan sederhana bisa menentukan keberlanjutan program kemanusiaan. Dalam ruang kuliah, di mana calon akuntan belajar bukan hanya cara menghitung, tetapi juga cara memahami makna di balik perhitungan. Akuntansi hadir di tengah kehidupan, bukan di luar kehidupan. Ia menjadi bagian dari Lebenswelt dunia hidup yang dihayati manusia setiap hari.

Bagaimana (How) pendekatan hermeneutik diterapkan dalam akuntansi? Dengan mengubah cara pandang terhadap data dan angka. Laporan keuangan tidak lagi dianggap sebagai cermin objektif dari kenyataan ekonomi, melainkan sebagai teks sosial yang perlu ditafsirkan. Angka laba bukan sekadar hasil akhir dari operasi matematika, tetapi ekspresi dari pandangan moral tentang keadilan dan keseimbangan antara modal, tenaga kerja, dan masyarakat. Auditor tidak lagi hanya memeriksa ketaatan pada standar, tetapi juga menelusuri makna tanggung jawab yang terkandung di balik setiap keputusan akuntansi.

Dilthey mengajarkan bahwa memahami kehidupan berarti menghidupkan kembali pengalaman orang lain---Nacherleben. Dalam konteks akuntansi, hal ini berarti peneliti atau akuntan harus mampu menempatkan dirinya dalam posisi pihak lain: memahami tekanan, dilema moral, dan nilai-nilai yang melatarbelakangi tindakan ekonomi. Dengan cara ini, akuntansi tidak lagi berdiri sebagai sistem netral, melainkan sebagai praktik pemaknaan yang bersifat intersubjektif dan historis.

1. Perubahan Peran Peneliti

Dalam pendekatan hermeneutik, posisi peneliti akuntansi mengalami pergeseran yang fundamental. Peneliti tidak lagi diposisikan sebagai pengamat netral yang menjaga jarak terhadap objek penelitiannya, melainkan menjadi seorang penafsir (interpreter) yang terlibat secara batiniah dalam proses memahami realitas ekonomi. Keterlibatan ini menandai bahwa pemahaman terhadap fenomena ekonomi tidak dapat dilakukan hanya melalui observasi empiris atau analisis objektif semata.

Peneliti akuntansi hermeneutik diibaratkan seperti seorang psikolog yang berusaha memahami kondisi batin pasiennya, bukan seperti dokter yang sekadar membedah tubuh manusia. Artinya, dalam mempelajari fenomena akuntansi, peneliti tidak hanya melihat angka, data, dan laporan secara kasat mata, tetapi juga berupaya menyelami makna, nilai, dan pengalaman manusia yang tersembunyi di baliknya. Dengan demikian, akuntansi tidak lagi dipahami sebagai sistem mekanis, melainkan sebagai bentuk interpretasi terhadap realitas sosial dan ekonomi manusia.

Melalui kacamata Dilthey, akuntansi dapat dipahami sebagai bentuk Ausdruck ekspresi kehidupan yang mengungkapkan struktur batin masyarakat. Setiap laporan, angka, dan neraca adalah simbol-simbol yang menuturkan kisah manusia: kisah tentang tanggung jawab, ambisi, solidaritas, dan kadang-kadang keserakahan. Memahami akuntansi berarti memahami manusia yang berada di baliknya.

Dengan cara ini, hermeneutika memberi arah baru bagi teori akuntansi modern: bahwa ilmu ini harus melampaui objektivitas semu dan berani menafsirkan makna kehidupan yang dikandungnya. Akuntansi bukan hanya instrumen ekonomi, tetapi juga sarana komunikasi moral yang menyatukan manusia dalam jaringan makna sosial. Dalam pandangan hermeneutik, akuntansi sejatinya adalah upaya manusia untuk memahami dan menata kehidupannya sendiri melalui simbol angka---sebuah "tindakan menulis kehidupan" (Lebensschrift).

2. Dasar Justifikasi Pengetahuan

Pengetahuan akuntansi hermeneutik memperoleh legitimasi atau validitas bukan dari proses generalisasi atau pembuktian empiris sebagaimana yang lazim digunakan dalam ilmu alam, melainkan dari koherensi makna, keterhubungan simbol, dan kedalaman interpretasi.

Bagi pendekatan ini, kebenaran tidak lahir dari uji statistik atau eksperimen laboratorium, melainkan dari kemampuan peneliti dalam menemukan dan menafsirkan makna yang tersembunyi di balik angka-angka dan simbol ekonomi. Rasionalitas yang diutamakan bukan lagi rasionalitas perhitungan, tetapi rasionalitas pemahaman. Artinya, peneliti dituntut untuk mampu menyingkap struktur makna di balik realitas ekonomi dan menjelaskan bagaimana simbol-simbol akuntansi mencerminkan dinamika kehidupan manusia.

Pendekatan ini menjadikan pengetahuan akuntansi lebih manusiawi, karena mengakui bahwa setiap angka dan laporan keuangan merupakan hasil dari tindakan manusia yang memiliki niat, tujuan, dan nilai. Dengan demikian, akuntansi hermeneutik berupaya melampaui batas-batas empirisisme dan positivisme yang selama ini mendominasi ilmu akuntansi modern.

3. Akuntansi sebagai Ilmu tentang Ekspresi Kehidupan Ekonomi Manusia

Menurut perspektif Wilhelm Dilthey, akuntansi tidak dapat direduksi menjadi sekadar sistem teknis untuk mencatat transaksi keuangan, melainkan harus dipahami sebagai ilmu tentang ekspresi kehidupan ekonomi manusia. Dalam pandangan ini, aktivitas ekonomi dipandang sebagai bentuk manifestasi dari kehidupan batin manusia—sebuah ekspresi nilai, pengalaman, dan makna yang saling terkait.

Angka-angka akuntansi, dengan demikian, bukan hanya hasil perhitungan rasional, tetapi juga representasi simbolik dari dinamika sosial, budaya, dan psikologis manusia. Melalui kerangka ini, akuntansi menjadi bagian dari ilmu kemanusiaan (Geisteswissenschaften), yaitu ilmu yang berupaya memahami manusia dari sisi makna dan kesadarannya, bukan hanya dari perilaku luarnya.

4. Dua Metafora Epistemologis: Fisiologi dan Psikologi

Dalam menjelaskan cara kerja pengetahuan, Dilthey membedakan dua metafora epistemologis utama: fisiologi dan psikologi.

  • Fisiologi menggambarkan cara memahami dunia dari luar—melalui hubungan sebab-akibat, eksperimen empiris, dan pengukuran angka. Pendekatan ini khas bagi ilmu alam dan bersifat objektif.

  • Psikologi, sebaliknya, berfokus pada pemahaman dunia dari dalam—melalui makna, pengalaman, dan kesadaran subjektif manusia.

Hermeneutika akuntansi berusaha menyatukan kedua pendekatan tersebut melalui jalan yang disebut Verstehen, yaitu kemampuan untuk memahami makna kehidupan manusia secara mendalam. Melalui Verstehen, peneliti akuntansi berupaya melihat dunia ekonomi sebagai dunia hidup (Lebenswelt), yakni dunia yang diisi oleh manusia dengan nilai, simbol, dan pengalaman yang saling berkelindan.

5. Tujuan dan Implikasi Hermeneutika Akuntansi

Tujuan utama dari hermeneutika akuntansi bukan untuk menemukan hukum universal atau membuktikan teori secara empiris, melainkan untuk memahami kehidupan ekonomi manusia secara mendalam. Pendekatan ini menekankan bahwa kebenaran dalam akuntansi tidak harus bersifat eksperimental, tetapi dapat diperoleh melalui proses interpretasi yang reflektif dan koheren terhadap makna.

Dengan demikian, teori akuntansi hermeneutik menawarkan dasar rasional baru:
pengetahuan yang dapat dipercaya karena dipahami dari dalam diri manusia itu sendiri, bukan semata-mata karena dapat diuji secara statistik. Pemahaman ini menjadikan akuntansi bukan hanya alat ukur ekonomi, tetapi juga cermin dari kehidupan manusiayang penuh dengan makna, nilai, dan emosi.

3. Implikasi bagi Teori Akuntansi

Pemikiran Dilthey memiliki pengaruh besar terhadap perkembangan teori akuntansi hermeneutik, khususnya dalam hal memahami hakikat pengetahuan akuntansi dan peran peneliti di dalamnya. Jika positivisme menekankan pengukuran objektif terhadap realitas ekonomi, maka hermeneutika menekankan pada pemahaman makna sosial dan manusiawi di balik data ekonomi.

Dengan demikian, akuntansi tidak lagi sekadar sistem teknis untuk mencatat, mengukur, dan melaporkan transaksi keuangan, tetapi juga suatu sistem komunikasi sosial yang mengandung nilai, simbol, dan makna yang merepresentasikan kehidupan ekonomi manusia.

4. Epistemologi Ganda Akuntansi

Dilthey, dan kemudian para pemikir akuntansi hermeneutik, mengusulkan adanya dua epistemologi dalam memahami akuntansi, yaitu:

  1. Epistemologi Luar (Fisiologis)
    Akuntansi dipahami sebagai sistem pengukuran dan pengendalian yang bersifat kuantitatif, empiris, serta teknis. Pandangan ini melihat akuntansi dari sisi objektif—yakni sebagai alat untuk mengukur performa ekonomi, efisiensi, dan kestabilan organisasi. Pendekatan ini penting dalam menjaga keteraturan dan akurasi data finansial.

  2. Epistemologi Dalam (Psikologis–Hermeneutik)
    Akuntansi juga dapat dipahami sebagai sistem pemaknaan dan komunikasi sosial. Dalam pandangan ini, laporan keuangan bukan hanya sekumpulan angka, melainkan simbol-simbol yang mencerminkan pengalaman historis, sosial, dan spiritual manusia dalam konteks ekonomi. Dengan kata lain, akuntansi menjadi sarana ekspresi nilai-nilai kemanusiaan di bidang ekonomi.

5. Integrasi Dua Epistemologi: Dari Pengukuran ke Pemahaman

Kedua epistemologi tersebut tidak seharusnya dipertentangkan. Hermeneutika justru mengajukan pendekatan integratif, di mana pengukuran eksternal (aspek kuantitatif dan teknis) harus disertai dengan pemahaman internal (aspek makna dan nilai yang dihayati pelaku).

Pengukuran keuangan hanya memiliki makna jika diinterpretasikan berdasarkan nilai-nilai dan pengalaman manusia yang melatarbelakanginya. Misalnya, laba dalam laporan keuangan bukan hanya angka hasil perhitungan, tetapi juga cerminan dari pilihan moral, kebijakan sosial, dan keputusan manusia yang sarat makna etis.

https://id.wikipedia.org/wiki/Wilhelm_Dilthey
https://id.wikipedia.org/wiki/Wilhelm_Dilthey

2.Ontologi Hermeneutik sebagai Ontologi Kehidupan dalam Pandangan Wilhelm Dilthey 

PPT PROF APOLLO
PPT PROF APOLLO

1. Ontologi Hermeneutik: Ontologi Kehidupan

Wilhelm Dilthey menolak pandangan positivistik yang menganggap realitas sosial—termasuk akuntansi—sebagai entitas objektif yang berdiri di luar manusia dan dapat dijelaskan secara eksak seperti benda alam. Menurut Dilthey, realitas manusia tidak dapat dipahami melalui hukum kausalitas mekanistik, melainkan melalui kehidupan itu sendiri (das Leben). Karena itu, ontologi hermeneutik tidak berbicara tentang “benda” atau “entitas luar,” tetapi tentang kehidupan yang dipahami dari dalam pengalaman manusia.

Bagi Dilthey, realitas manusia adalah kehidupan itu sendiri, dan kehidupan ini tidak pernah bersifat statis. Ia terus mengekspresikan dirinya melalui simbol, bahasa, tindakan, dan lembaga sosial, termasuk sistem akuntansi. Dengan demikian, akuntansi hermeneutik tidak dipandang sebagai sekadar sistem teknis yang berdiri di luar manusia, melainkan sebagai bagian dari kehidupan bermakna yang menampakkan dirinya melalui simbol-simbol ekonomi dan ekspresi sosial.

Dalam konteks ini, ontologi akuntansi hermeneutik bukanlah ontologi benda atau hukum sebab-akibat, tetapi ontologi yang berfokus pada kehidupan yang memiliki makna—suatu kehidupan yang dihayati, ditafsirkan, dan diekspresikan manusia melalui praktik sosial, termasuk praktik pencatatan dan pelaporan keuangan.

2. Dunia Hidup (Lebenswelt) sebagai Realitas Ontologis Akuntansi

Konsep Lebenswelt atau dunia hidup merupakan gagasan kunci dalam pandangan Dilthey tentang realitas manusia. Dunia hidup adalah dunia yang tidak netral dan tidak bebas nilai, tetapi dunia yang penuh dengan pengalaman, makna, dan nilai-nilai yang dihidupi oleh manusia.

Dalam konteks akuntansi, dunia hidup ini adalah ranah sosial-historis tempat manusia memberi arti pada simbol-simbol ekonomi seperti “angka,” “laba,” “biaya,” atau “utang.” Simbol-simbol ini bukan hanya alat pengukur, tetapi juga representasi nilai-nilai sosial, moral, dan spiritual yang dianut oleh komunitas tertentu.

a. Akuntansi sebagai Dunia Hidup yang Dihayati

Dalam kerangka hermeneutik, akuntansi tidak dilihat sebagai entitas eksternal yang berdiri sendiri, melainkan sebagai bagian integral dari cara manusia menghayati kehidupan ekonominya. Nilai-nilai dan makna yang terkandung di dalamnya muncul dari pengalaman sosial manusia yang beragam.

Misalnya:

  • Dalam dunia pedagang tradisional, laba sering dihayati sebagai rezeki dan tanda keberkahan. Makna ini mengandung nilai religius dan moral yang kuat.

  • Dalam dunia korporasi modern, laba dimaknai sebagai indikator performa dan legitimasi publik, yang menunjukkan keberhasilan organisasi dalam memenuhi tuntutan pasar dan pemangku kepentingan.

  • Dalam dunia spiritual, seperti pesantren atau komunitas religius Jawa, laba bisa dihayati sebagai simbol keseimbangan moral antara usaha dan doa, bukan semata keuntungan material.

Dari ketiga contoh ini, tampak bahwa akuntansi hidup dalam struktur makna yang berbeda-beda, tergantung pada dunia sosial yang melahirkannya. Akuntansi tidak netral, melainkan produk dari pengalaman eksistensial dan nilai-nilai budaya manusia.

b. Ontologi Historis dan Inter-subjektif

Realitas akuntansi bersifat historis dan inter-subjektif, artinya maknanya terbentuk melalui proses sejarah, budaya, dan interaksi antar-manusia. Akuntansi tidak bisa dipahami sebagai sistem yang bersifat ahistoris atau universal, karena setiap bentuk akuntansi merupakan hasil produk kesepakatan makna dalam konteks sosial tertentu.

Dalam hal ini, akuntansi adalah produk inter-subjektif dari kesepakatan sosial yang dihasilkan melalui komunikasi, interpretasi, dan negosiasi makna antar individu. Laporan keuangan, misalnya, tidak hanya berfungsi sebagai alat pelaporan ekonomi, tetapi juga sebagai hasil dari interpretasi kolektif terhadap pengalaman ekonomi manusia.

Sejarah praktik akuntansi, mulai dari sistem pencatatan sederhana hingga audit modern, menunjukkan bahwa setiap perkembangan akuntansi mencerminkan hasil tafsir kolektif masyarakat terhadap nilai-nilai kehidupan dan moralitas ekonomi.

3. Makna Ontologis bagi Akuntansi Hermeneutik

Dengan memahami akuntansi sebagai bagian dari ontologi kehidupan, hermeneutika mengajak peneliti untuk melihat akuntansi bukan semata dari sisi teknis, tetapi sebagai manifestasi kesadaran manusia yang penuh makna. Akuntansi adalah cara manusia mengekspresikan dan memahami dirinya sendiri dalam konteks ekonomi, budaya, dan sejarah.

Oleh karena itu:

  • Ontologi hermeneutik menempatkan akuntansi sebagai bagian dari kehidupan yang dihayati, bukan sistem eksternal yang netral.

  • Dunia hidup (Lebenswelt) menjadi landasan realitas akuntansi, karena di dalamnyalah manusia memberikan arti pada simbol ekonomi.

  • Akuntansi bersifat historis dan inter-subjektif, karena maknanya terus dibentuk dan dinegosiasikan dalam konteks sosial yang berubah.

Keseluruhan pandangan ini menunjukkan bahwa akuntansi hermeneutik bukan sekadar teori alternatif, melainkan cara memahami realitas ekonomi sebagai bagian dari eksistensi manusia—sebuah ekspresi kehidupan yang terus berubah, bermakna, dan berakar dalam pengalaman manusia.

PPT Prof Apollo
PPT Prof Apollo

Perkembangan Tradisi Hermeneutika dari Schleiermacher hingga Gadamer

Hermeneutika sebagai disiplin filsafat dan metode pemahaman mengalami perkembangan panjang dari masa klasik hingga modern. Awalnya, hermeneutika dipahami sebatas seni menafsirkan teks-teks keagamaan dan sastra, namun seiring perkembangan pemikiran para filsuf, ia berkembang menjadi dasar epistemologi dan bahkan ontologi bagi pemahaman eksistensi manusia. Empat tokoh utama yang menjadi tonggak perkembangan hermeneutika adalah F.D.E. Schleiermacher, Wilhelm Dilthey, Martin Heidegger, dan Hans-Georg Gadamer.

1. F.D.E. Schleiermacher (1768–1834): Hermeneutika Klasik

Schleiermacher merupakan tokoh penting yang menempatkan hermeneutika sebagai seni universal dalam memahami teks. Ia menolak pandangan bahwa penafsiran hanya berlaku bagi teks-teks tertentu, seperti kitab suci atau karya sastra, dan justru menegaskan bahwa semua bentuk komunikasi manusia membutuhkan proses penafsiran.
Menurut Schleiermacher, pemahaman terhadap teks mencakup dua dimensi utama, yaitu:

  • Pemahaman gramatikal, yakni analisis terhadap struktur bahasa yang digunakan penulis, serta konteks linguistik yang melatarbelakanginya.

  • Pemahaman psikologis, yaitu usaha rekonstruksi makna batin atau maksud subjektif penulis di balik teks yang ia tulis.

Kedua aspek ini menandai awal hermeneutika modern, di mana penafsir tidak hanya berfokus pada kata-kata tertulis, tetapi juga pada kehidupan batin penulis dan konteks komunikatifnya. Melalui pemikirannya, Schleiermacher menjadikan hermeneutika sebagai seni memahami makna bahasa dan maksud manusia secara universal, bukan sekadar prosedur interpretasi keagamaan.

2. Wilhelm Dilthey (1833–1911): Hermeneutika Humanistik

Dilthey memperluas gagasan Schleiermacher dengan membawa hermeneutika ke ranah ilmu sosial dan humaniora. Menurutnya, hermeneutika tidak hanya berurusan dengan teks, tetapi juga dengan kehidupan manusia dan sejarahnya. Ia memperkenalkan konsep Erlebnis (pengalaman hidup) sebagai kunci pemahaman realitas manusia.

Dilthey menegaskan bahwa realitas manusia bukanlah sesuatu yang netral dan dapat diukur secara objektif seperti dalam ilmu alam (Naturwissenschaften), melainkan merupakan realitas yang dipahami dari dalam, melalui pengalaman dan ekspresi simbolik manusia dalam konteks sosial-historis (Geisteswissenschaften).
Dengan demikian, tugas hermeneutika adalah memahami makna di balik tindakan, simbol, dan ekspresi manusia yang merefleksikan pengalaman batin dan nilai-nilai historisnya.

Kontribusi utama Dilthey adalah menjadikan hermeneutika sebagai dasar epistemologi bagi ilmu-ilmu sosial dan kemanusiaan, di mana pemahaman manusia tidak dicapai melalui hukum universal seperti dalam ilmu alam, tetapi melalui interpretasi terhadap makna yang hidup dalam sejarah dan budaya. Hermeneutika baginya adalah jalan untuk memahami kehidupan manusia secara utuh, bukan sekadar menjelaskan fenomena empiris.

3. Martin Heidegger (1889–1976): Hermeneutika Eksistensial

Bagi Heidegger, pemahaman justru merupakan cara manusia “ada di dunia” (Being-in-the-world).
Dengan pendekatan fenomenologis, Heidegger menegaskan bahwa manusia tidak pernah menjadi pengamat pasif atas dunia, tetapi selalu terlibat secara eksistensial di dalamnya. Maka, setiap pemahaman adalah interpretasi yang sudah dibentuk oleh keberadaan manusia dalam konteks dunia kehidupannya.

Pandangan ini mengubah hermeneutika dari sekadar metode pengetahuan menjadi ontologi eksistensial, yakni cara memahami makna keberadaan itu sendiri. Melalui pemikiran Heidegger, hermeneutika tidak lagi hanya membahas cara menafsir teks atau sejarah, melainkan menyelami struktur makna keberadaan manusia yang selalu berhubungan dengan dunia dan sesamanya.

4. Hans-Georg Gadamer (1900–2002): Hermeneutika Filosofis

Gadamer melanjutkan dan memperluas gagasan Heidegger dengan mengembangkan apa yang disebut hermeneutika filosofis. Ia menolak pandangan bahwa pemahaman dapat bersifat objektif dan final. Menurutnya, pemahaman selalu terjadi melalui dialog antara penafsir dan tradisi sejarah yang hidup melalui bahasa dan seni.

Gadamer memperkenalkan dua konsep penting:

  • Lingkaran hermeneutik (Hermeneutischer Zirkel), yaitu gagasan bahwa pemahaman selalu bergerak secara dinamis antara bagian dan keseluruhan makna; penafsir tidak pernah memulai dari titik nol, melainkan selalu membawa pra-pemahaman.

  • Fusi horizon (Horizontverschmelzung), yaitu pertemuan antara cakrawala makna masa lalu (tradisi, teks, sejarah) dan cakrawala pemahaman masa kini.

Dengan menggunakan kerangka hermeneutik Dilthey, akuntansi dapat dipandang sebagai "teks kehidupan ekonomi" yang perlu ditafsir secara kontekstual dan historis. Setiap angka, neraca, dan laporan tahunan adalah ekspresi (Ausdruck) dari kehidupan sosial  jejak dari pengalaman manusia yang mencoba memberi bentuk pada realitas ekonominya. Pemahaman terhadap akuntansi, oleh karena itu, tidak cukup dilakukan melalui pengukuran kuantitatif; ia membutuhkan penafsiran yang peka terhadap konteks, nilai, dan pengalaman batin subjek ekonomi.

pribadi
pribadi

 Dalam akuntansi, hal ini berarti bahwa setiap sistem pelaporan, setiap prinsip akuntansi, dan setiap praktik keuangan selalu lahir dari konteks historis tertentu. Akuntansi kolonial, misalnya, berbeda maknanya dengan akuntansi koperasi lokal, dan keduanya berbeda pula dengan akuntansi korporasi modern. Makna laba, utang, modal, dan pajak tidak bersifat universal, melainkan selalu diproduksi ulang oleh masyarakat dalam ruang dan waktu yang spesifik.

Dengan demikian, landasan teoretis hermeneutika Dilthey memberikan tiga kontribusi penting bagi pemahaman akuntansi:

  1. Epistemologis: Menggeser cara pandang terhadap akuntansi dari sekadar "alat ukur" menjadi "teks kehidupan" yang harus ditafsir.
  2. Ontologis: Menunjukkan bahwa akuntansi adalah bagian dari dunia hidup (Lebenswelt) manusia yang bersifat historis, intersubjektif, dan bermakna.
  3. Aksiologis: Menegaskan bahwa angka-angka akuntansi tidak netral, melainkan mengandung nilai moral dan sosial yang menuntut tanggung jawab.

Landasan inilah yang kelak membuka jalan bagi pengembangan teori akuntansi hermeneutik. Ia memberikan perspektif alternatif terhadap paradigma positivistik yang selama ini mendominasi dunia akuntansi modern. Dengan pendekatan Dilthey, akuntansi tidak lagi hanya "menghitung" realitas, tetapi juga "memahami" kehidupan ekonomi manusia.

PPT PROF APOLLO
PPT PROF APOLLO

Dasar Episteme: Justifikasi Pengetahuan tentang Manusia

Wilhelm Dilthey ingin memberikan legitimasi rasional bagi ilmu tentang manusia agar sejajar dengan ilmu alam.
Ia menolak pandangan positivistik (seperti Comte) yang menyatukan semua ilmu dalam satu metode eksakta.

Menurut Dilthey:

  • Ilmu alam mencari penjelasan (Erklären).

  • Ilmu manusia mencari pemahaman (Verstehen).

Keduanya tetap rasional, namun ilmu manusia menekankan makna dan konteks kehidupan, bukan hukum universal. Karena itu, pendekatan hermeneutik tetap ilmiah, tetapi berfokus pada rasionalitas interpretatif.

Implikasi bagi Teori Akuntansi

Akuntansi bisa dipahami melalui dua pendekatan:

  1. Epistemologi luar (fisiologis) → Akuntansi sebagai sistem pengukuran dan pengendalian (kuantitatif, teknis).

  2. Epistemologi dalam (psikologis–hermeneutik) → Akuntansi sebagai sistem pemaknaan sosial (simbolik, historis, spiritual).

Keduanya saling melengkapi: pengukuran eksternal hanya bermakna jika disertai pemahaman internal terhadap makna dan nilai yang dihayati pelaku akuntansi.

3. Dualitas Pengetahuan dan Epistemologi Akuntansi

 Naturwissenschaften (ilmu alam) dan Geisteswissenschaften (ilmu tentang manusia). Kedua cabang ini sama-sama rasional, tetapi berbeda dalam orientasi dan metodenya. Ilmu alam berfokus pada penjelasan sebab-akibat (Erklren), sementara ilmu manusia berfokus pada pemahaman makna (Verstehen). Dalam ilmu alam, pengetahuan diperoleh dengan mengamati dan menjelaskan gejala eksternal secara objektif, seperti bagaimana hukum gravitasi bekerja atau bagaimana sebuah mesin beroperasi. Namun dalam ilmu manusia, pengetahuan muncul melalui partisipasi dan empati terhadap kehidupan batin manusia itu sendiri. Di sinilah Dilthey menegaskan bahwa manusia tidak dapat dipahami seperti benda; kehidupan manusia harus dihayati dan ditafsirkan dari dalam.

psikologi bagi Dilthey menggambarkan cara memahami manusia dari dalam. Peneliti berusaha masuk ke dalam dunia batin subjek, mencoba merasakan dan menghidupkan kembali pengalaman orang lain (Nacherleben). Dalam konteks akuntansi, pendekatan ini berarti memahami makna yang dihayati oleh pelaku ekonomi di balik setiap angka yang mereka hasilkan. Laporan keuangan tidak lagi dipandang sebagai kumpulan data netral, melainkan sebagai teks kehidupan yang mengandung nilai, emosi, dan tanggung jawab. Angka laba, misalnya, bukan hanya hasil perhitungan logis, melainkan juga simbol dari kerja keras, dilema moral, dan nilai sosial yang menyertai proses ekonomi di baliknya.

4. Ontologi Hermeneutik Akuntansi: Akuntansi sebagai Dunia Hidup

Wilhelm Dilthey berpendapat bahwa realitas manusia tidak bisa dipahami sebagai sesuatu yang berdiri di luar dirinya, melainkan sebagai bagian dari kehidupan itu sendiri. Ia menyebutnya dengan istilah das Leben atau kehidupan yang dihayati. Dalam pandangannya, kehidupan manusia selalu berada dalam konteks sejarah, budaya, dan pengalaman yang membentuk makna. Karena itu, ontologi hermeneutik tidak berfokus pada objek-objek mati atau hukum universal seperti dalam ilmu alam, melainkan pada kehidupan yang bermakna. Realitas sejati bagi manusia bukanlah data atau angka, tetapi pengalaman hidup yang memberi makna pada data dan angka tersebut.

Dalam konteks akuntansi, pandangan ini menuntun kita untuk melihat bahwa akuntansi bukanlah entitas yang berdiri sendiri. Ia tidak eksis di luar manusia, melainkan ada di dalam kehidupan manusia itu sendiri. Setiap catatan transaksi, laporan keuangan, maupun kebijakan akuntansi adalah bentuk ekspresi manusia dalam memahami dan mengatur kehidupannya. Laporan laba rugi, misalnya, tidak sekadar menggambarkan kondisi keuangan, tetapi juga merefleksikan pandangan moral dan sosial tentang bagaimana kekayaan dihasilkan dan dibagikan. Akuntansi adalah bahasa yang digunakan manusia untuk menuturkan kisah hidup ekonominya- sebuah "cerita angka" yang penuh makna.

PPT prof Apollo
PPT prof Apollo

Aksiologi Akuntansi Hermeneutik Dilthey: Nilai, Empati, dan Makna Moral dalam Angka

Wilhelm Dilthey memandang pemahaman manusia (Verstehen) sebagai jalan etis untuk menghayati nilai kehidupan, bukan sekadar proses intelektual. Dalam akuntansi, hal ini berarti bahwa angka bukan hanya alat ukur kekayaan, tetapi sarana untuk memahami nilai, tanggung jawab, dan makna hidup ekonomi manusia.

PPT PROF APOLLO
PPT PROF APOLLO

Aksiologi akuntansi hermeneutik menekankan tiga pilar utama:

  1. Nilai kehidupan (Lebenswert) — nilai bersifat batin dan memberi arah bagi tindakan manusia.

  2. Empati (Einfühlung) — kemampuan memahami makna moral di balik tindakan ekonomi.

  3. Makna moral dalam simbol angka — angka mencerminkan nilai sosial dan budaya masyarakat.

Setiap praktik akuntansi mengandung nilai tertentu, baik disadari maupun tidak:

  • Akuntansi korporasi menonjolkan efisiensi dan laba,

  • Akuntansi sosial menekankan tanggung jawab dan keadilan,

  • Akuntansi religius menampilkan keseimbangan spiritual

PPT PROF APOLLO
PPT PROF APOLLO

Makna Moral pada Angka Akuntansi dalam Perspektif Hermeneutik

Dalam pandangan hermeneutik, angka-angka dalam akuntansi tidak sekadar data kuantitatif atau realitas yang mati, melainkan simbol moral yang hidup. Artinya, setiap angka yang tercantum dalam laporan keuangan bukan hanya hasil perhitungan teknis, tetapi juga mencerminkan keputusan moral dan etis dari pihak-pihak yang terlibat, seperti akuntan, manajemen, dan auditor.
Setiap angka dihasilkan melalui proses pertimbangan tentang kejujuran, tanggung jawab, dan niat baik (guter Wille). Maka, akuntansi tidak bisa dipisahkan dari dimensi kemanusiaan dan moralitas.

a. Angka sebagai Teks Moral

Angka dalam akuntansi dapat dipandang sebagai bahasa etis yang memerlukan penafsiran moral. Hermeneutika membantu menyingkap makna di balik angka-angka tersebut.
Sebagai contoh:

  • Neraca mencerminkan keseimbangan moral antara hak dan kewajiban, bukan sekadar keseimbangan finansial.

  • Laporan laba rugi menunjukkan keadilan distributif, yaitu bagaimana keuntungan dibagi secara adil antara tenaga kerja, pemilik modal, dan masyarakat.

  • Pajak menggambarkan ekspresi solidaritas sosial, karena merupakan kontribusi etis perusahaan terhadap kesejahteraan umum.

Melalui penafsiran hermeneutik, angka dipahami sebagai teks moral yang mengandung nilai-nilai kehidupan, bukan sekadar objek matematis. Dengan demikian, akuntansi tidak hanya berurusan dengan apa yang tampak dalam laporan, tetapi juga nilai-nilai yang tersembunyi di baliknya — seperti tanggung jawab sosial, empati, dan moralitas.

b. Transparansi dan Tanggung Jawab sebagai Nilai Aksiologis

Prinsip aksiologi dalam akuntansi hermeneutik menekankan bahwa setiap tindakan akuntansi harus berlandaskan tanggung jawab (Verantwortung).
Setiap laporan keuangan bukan hanya alat pertanggungjawaban ekonomi, melainkan juga bentuk kejujuran eksistensial kepada masyarakat.

Dalam konteks ini, transparansi dipahami bukan hanya sebagai kewajiban hukum atau regulasi, tetapi sebagai sikap etis dan moral untuk “membiarkan makna hidup terlihat.” Artinya, akuntan harus menyajikan laporan dengan kejujuran dan keterbukaan agar realitas sosial dan moral yang ada di balik angka-angka tersebut dapat dipahami secara utuh.

5. Aksiologi Akuntansi Hermeneutik: Nilai, Empati, dan Makna Moral

Setelah memahami bagaimana pengetahuan dan realitas dalam akuntansi dapat dijelaskan melalui hermeneutika, langkah berikutnya adalah memahami dimensi aksiologis, yaitu nilai dan tujuan moral dari ilmu akuntansi itu sendiri. Aksiologi berbicara tentang apa yang dianggap baik, benar, dan bernilai dalam suatu ilmu. Dalam pandangan Dilthey, pemahaman terhadap manusia tidak bisa dilepaskan dari nilai-nilai kehidupan yang dihayatinya. Ilmu tanpa nilai adalah pengetahuan yang kering dan kehilangan arah kemanusiaan.

Dalam konteks akuntansi, nilai menjadi pusat dari seluruh aktivitas pencatatan dan pelaporan. Setiap angka, laporan, atau keputusan keuangan mengandung pilihan moral: apakah mencatat secara jujur atau memanipulasi data, apakah menekankan keuntungan semata atau memperhatikan tanggung jawab sosial. Dilthey menyebut nilai kehidupan ini sebagai Lebenswert---dimensi batin yang memberi arah pada tindakan manusia. Akuntansi yang berlandaskan Lebenswert tidak hanya mengejar efisiensi, tetapi juga kebaikan hidup. Misalnya, akuntansi sosial dan akuntansi syariah tidak hanya berorientasi pada laba, tetapi juga pada keadilan distributif, keseimbangan, dan keberlanjutan moral.

Selain nilai, empati (Einfhlung) merupakan unsur penting dalam aksiologi hermeneutik. Empati, bagi Dilthey, bukan sekadar perasaan kasihan, melainkan kemampuan untuk menghidupkan kembali pengalaman orang lain secara batin. Dalam akuntansi, empati menjadi dasar moral bagi akuntan, auditor, maupun peneliti. Akuntan yang berempati tidak hanya membaca angka, tetapi juga memahami nasib di balik angka tersebut nasib pekerja, masyarakat, dan lingkungan yang terlibat dalam sistem ekonomi. Auditor yang berempati tidak hanya menilai ketaatan terhadap aturan, tetapi juga memahami dilema etis yang dihadapi klien. Dengan empati, akuntansi menjadi profesi yang tidak hanya cerdas secara intelektual, tetapi juga arif secara moral.

PPT Prof Apollo
PPT Prof Apollo

Lebih jauh, setiap angka dalam akuntansi memiliki makna moral (Sittlicher Sinn). Angka-angka bukanlah entitas mati, melainkan hasil dari keputusan moral yang hidup. Neraca mencerminkan keseimbangan moral antara hak dan kewajiban, laba menunjukkan hasil kerja keras dan tanggung jawab sosial, sedangkan pajak mencerminkan solidaritas dengan masyarakat. Dalam pandangan hermeneutik, angka-angka ini harus dibaca seperti teks moral ia berbicara tentang kejujuran, keadilan, dan niat baik (guter Wille). Maka, laporan keuangan bukan hanya laporan ekonomi, tetapi juga laporan etis yang menunjukkan bagaimana suatu entitas berperilaku di tengah masyarakat.

PPT PROF APOLLO
PPT PROF APOLLO

Nilai, empati, dan moralitas ini saling berhubungan secara erat. Nilai menjadi arah, empati menjadi metode, dan moralitas menjadi hasil akhir dari proses pemahaman hermeneutik. Dengan ketiganya, akuntansi dapat berfungsi bukan hanya sebagai sistem informasi, tetapi juga sebagai praktik moral kehidupan. Transparansi dan tanggung jawab tidak lagi sekadar tuntutan hukum, melainkan perwujudan dari kesadaran etis manusia untuk "membiarkan kebenaran hidup terlihat." Dengan cara ini, akuntansi menjadi sarana komunikasi nilai-nilai kemanusiaan yang menyatukan antara individu, organisasi, dan masyarakat.

Aspek-Aspek Hermeneutika Wilhelm Dilthey dalam Akuntansi

Pemikiran hermeneutik Wilhelm Dilthey memberikan dasar filosofis yang kuat bagi pengembangan akuntansi sebagai ilmu sosial-humanistik. Dilthey menolak pandangan positivistik yang melihat ilmu hanya sah jika dapat dijelaskan secara kausal seperti ilmu alam. Baginya, manusia dan fenomena sosial harus dipahami melalui pengalaman hidup dan makna batin, bukan sekadar hukum universal. Pemikirannya dapat dijabarkan dalam tiga aspek utama — epistemologi, ontologi, dan aksiologi — yang masing-masing memberikan arah baru bagi cara memahami realitas akuntansi.

1. Aspek Epistemologi: Akuntansi sebagai Ilmu Pemahaman (Verstehen)

Dalam pandangan Dilthey, ilmu pengetahuan dibagi menjadi dua jenis:

  1. Ilmu alam (Naturwissenschaften), yang berfokus pada penjelasan (Erklären) melalui hukum-hukum kausal dan pengamatan empiris.

  2. Ilmu manusia (Geisteswissenschaften), yang berfokus pada pemahaman (Verstehen) terhadap makna dan pengalaman batin manusia.

Epistemologi hermeneutik menolak pandangan bahwa pengetahuan hanya valid jika bersifat objektif dan terukur. Sebaliknya, Dilthey menegaskan bahwa pengetahuan sejati tentang manusia hanya dapat diperoleh melalui pemahaman terhadap pengalaman subjektif dan makna yang dihayati.

Dalam konteks akuntansi, hal ini berarti bahwa akuntansi bukan sekadar ilmu penjelasan tentang angka dan laporan keuangan, tetapi juga merupakan ilmu pemahaman sosial-historis tentang perilaku ekonomi, niat pelaku, serta konteks budaya di mana transaksi terjadi.
Laporan keuangan, misalnya, bukan hanya hasil perhitungan matematis, melainkan “teks sosial” yang memuat nilai, kepercayaan, dan makna simbolik dari suatu organisasi.

Dengan demikian, epistemologi hermeneutik mendorong penelitian interpretatif dalam akuntansi, di mana peneliti berusaha memahami makna di balik angka dan teks laporan, bukan hanya mengukur hubungan antarvariabel. Rasionalitas akuntansi di sini bersifat interpretatif dan empatik, karena mengakui peran manusia, budaya, dan sejarah dalam membentuk data akuntansi.

Tujuan akhirnya adalah melahirkan rationalitas akuntansi yang manusiawi, yaitu pengetahuan yang tidak hanya benar secara objektif, tetapi juga bermakna dan relevan dengan konteks sosial di mana ia lahir.

2. Aspek Ontologi: Akuntansi sebagai Dunia Hidup (Lebenswelt) dan Ekspresi Sosial

Ontologi hermeneutik Dilthey berangkat dari pandangan bahwa realitas manusia adalah kehidupan itu sendiri (das Leben). Artinya, segala sesuatu yang ada bagi manusia hanyalah apa yang dialaminya dalam kehidupan. Realitas sosial—termasuk sistem akuntansi—tidak berdiri di luar manusia, tetapi merupakan hasil ekspresi dari kehidupan manusia itu sendiri.

Dalam kerangka ini, akuntansi dipahami sebagai bagian dari “dunia hidup” (Lebenswelt), yaitu ruang tempat manusia memberi makna terhadap pengalamannya. Angka, laporan, dan prosedur akuntansi bukanlah benda netral atau fakta objektif, melainkan simbol-simbol ekspresif yang menampakkan makna sosial, moral, dan budaya di balik aktivitas ekonomi.

Sebagai contoh:

  • Dalam masyarakat tradisional, laba dapat dipahami sebagai rezeki dan tanda keberkahan.

  • Dalam dunia korporasi modern, laba adalah indikator performa, efisiensi, dan legitimasi publik.

  • Dalam konteks spiritual atau pesantren, laba bisa dimaknai sebagai keseimbangan antara usaha dan doa.

Perbedaan makna ini menunjukkan bahwa realitas akuntansi bersifat historis dan intersubjektif, bergantung pada konteks sosial yang melahirkannya. Maka, ontologi akuntansi hermeneutik tidak mencari hukum universal, tetapi struktur makna yang hidup dalam pengalaman manusia.

Selain itu, Dilthey menegaskan bahwa setiap ekspresi sosial merupakan bentuk Ausdruck—yakni ungkapan batin manusia ke dalam simbol. Maka, angka akuntansi, laporan keuangan, dan praktik audit harus dipahami sebagai ekspresi dari pengalaman, nilai, dan hubungan sosial yang dijalani manusia di dalam organisasi.

Dengan demikian, tujuan ontologi hermeneutik dalam akuntansi adalah menemukan realitas akuntansi sebagai fenomena ekspresif dan komunikatif, bukan sekadar representasi material atas aset dan kewajiban.

3. Aspek Aksiologi: Nilai, Empati, dan Tanggung Jawab Moral dalam Akuntansi

Aksiologi hermeneutik berkaitan dengan nilai dan etika yang muncul dari pemahaman terhadap pengalaman manusia. Bagi Dilthey, nilai tidak datang dari luar, melainkan lahir dari pemaknaan batin terhadap kehidupan yang dijalani. Maka, ilmu tentang manusia, termasuk akuntansi, tidak dapat netral secara moral.

Etika hermeneutik menuntut agar praktisi akuntansi “memahami dari dalam” — yakni menghayati makna moral dari setiap tindakan ekonomi dan angka yang mereka laporkan. Pemahaman ini melahirkan kesadaran etis bahwa setiap keputusan akuntansi berpengaruh terhadap kehidupan orang lain, baik dalam organisasi maupun masyarakat luas.

Aksiologi hermeneutik dengan demikian berujung pada cita-cita untuk mewujudkan akuntansi yang berorientasi pada kemanusiaan, solidaritas, dan tanggung jawab moral. Akuntansi tidak lagi dipandang semata sebagai alat efisiensi ekonomi, melainkan sebagai sarana untuk menjaga keadilan sosial, keseimbangan, dan keberlanjutan kehidupan manusia.

7. Kesimpulan

Melalui lensa hermeneutika Wilhelm Dilthey, akuntansi dapat dipahami sebagai ilmu yang menafsir kehidupan manusia. Ia tidak hanya berurusan dengan angka, tetapi dengan makna di balik angka. Akuntansi adalah tindakan manusia untuk memahami dan menata kehidupannya melalui simbol-simbol ekonomi. Dengan demikian, setiap angka dalam laporan keuangan adalah hasil dari proses hidup yang penuh nilai, empati, dan moralitas.

Pendekatan hermeneutik mengajarkan bahwa memahami akuntansi berarti memahami manusia dengan segala pengalaman, dilema, dan harapannya. Ilmu ini membantu kita melihat bahwa ekonomi bukan hanya persoalan efisiensi, tetapi juga persoalan keadilan dan makna. Dengan memadukan pemahaman (epistemologi), kehidupan (ontologi), dan nilai (aksiologi), hermeneutika Dilthey menjadikan akuntansi bukan sekadar ilmu tentang harta benda, tetapi ilmu tentang kehidupan manusia itu sendiri.

Daftar Pustaka

Dilthey, W. (1989). Introduction to the Human Sciences: An Attempt to Lay a Foundation for the Study of Society and History. Princeton University Press.

Gadamer, H.-G. (2004). Truth and Method (2nd ed.). Continuum.

Triyuwono, I. (2012). Akuntansi Syariah: Perspektif, Metodologi, dan Teori. RajaGrafindo Persada.

Mulawarman, A. D. (2011). Integrasi Paradigma Akuntansi: Refleksi atas Akuntansi Syariah. Pustaka Pelajar.

Kamayanti, A. (2016). Metodologi Penelitian Kualitatif Akuntansi: Pengantar Religiositas Keilmuan. Yayasan Rumah Peneleh.

Suyanto, E., & Kholid, M. (2020). Filsafat Ilmu dan Akuntansi: Dari Positivisme ke Hermeneutika. Deepublish.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
  15. 15
  16. 16
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun