Mohon tunggu...
Fauzan Irvan
Fauzan Irvan Mohon Tunggu... Ilmuwan - Mahasiswa Pascasarjana Prodi Politik dan Hubungan Internasional di Timur Tengah, Universitas Indonesia

Muhammad Fauzan Irvan | Direktur Ekseksutif Progressive Democracy Watch (Prodewa) , Ketua Pembina Yayasan Pena Bakti Imdonesia dan Mahasiswa Pascasarjana Prodi Politik dan Hubungan Internasional di Timur Tengah, Universitas Indonesia | Instagram : @Fauzan_Irvan | email : fauzanirfan6@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Turki dan Kebangkitan Post-Islamisme

14 November 2020   08:19 Diperbarui: 14 November 2020   10:43 284
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber: yonkerstribune.com

Politik global dalam beberapa dekade terakhir, menurut Robert W. Hefner, diwarnai dua peristiwa utama. Pertama penyebaran ide-ide demokrasi untuk society dan civilization (peradaban) yang berbeda di seluruh dunia. Kedua adalah penampakan kembali isu-isu etnik keagamaan dalam urusan-urusan publik (Hefner, 2000). 

Frank Parkin melihat kemunculan peristiwa ini merupakan bukti prematurnya anggapan bahwa agama dan entitas keagamaan telah mati dantergantikan oleh kapitalisme dan negara-bangsa. 

Meskipun demikian, Samuel Huntington di dalam buku Aktor Baru Demokrasi (Sandhiyudha, 2014) berpendapat bahwa tidak semua masyarakat atau peradaban dapat mengembangkan institusi demokratik, disebabkan prinsip-prisip demokrasi tidak akan selalu cocok dengan semua budaya.

Professor Samuel Huntington menduga, entitas yang paling layak dicurigai tidak cocok dengan demokrasi adalah dunia Muslim. Ia menganggap konflik antara peradaban barat dan Islam yang berlangsung 1.300 tahun lamannya tidak akan mudah membuat interaksi barat dan Islam meredup dan mendamai. 

Pemikiran mengenai hubungan Islam dan Demokrasi seperti yang disampaikan huntington ini memang konfliktual. Banyak yang menduga karena terbatasnya lahan penelitiannya. 

Antropolog seperti Hefner melihat bahwa pesimisme Huntington terhadap Islam karena terbatasnya asumsi bahwa dunia Islam adlah Timur Tengah, atau apa yang terjadi seperti negara muslim di Aljazair yang menghadapi pembunuhan besar-besaran, Afghanistan yang mengalami kebrutalan taliban, atau bosnia dan suriah yang dirundung perpecahan.

Asumsi pemikiran huntington tersebut kemudian dijawab oleh para aktor demokrasi Islamis dengan memunculkan ide Pos-Islamisme. Di dalam bukunya, (Dzakirin, 2012) menjelaskan bahwa Pos Islamisme merupakan transformasi pemikiran Islamisme para Islamis (Islamiyyun) progresif yang berupaya melakukan objektifikasi pandangan dan gagasan Islam ke dalam realitas politik dan ranah kehidupan yang plural. 

Objektifikasi dalam hemat mereka dibutuhkan agar cara pandang Islam dapat diterima dalam konteks masyarakat yang plural serta dapat memenuhi keadilan publik. 

Dalam konstruksi ini, kalangan Islamis progresif menyakini kompatibilitas Islam dengan modernitas. Prinsip dan universalitas Islam diyakini mampu memberikan jawaban atas konstruksi peradaban modern yang pincang ditengah absennya nilai-nilai ketuhanan dan humanisme (Rabbaniyah wa Insaniyyah).

Kalangan Islam progresif atau "Muslim Demokrat" ini menempatkan Islam tidak hanya sebagai agama semata tetapi sebagai cara pandang dunia (word view) serta sistem dan identitas politik yang bersumberkan pada prinsip dan hukum Islam (Syariah), eliminasi nilai-nilai jahiliyah (barat), dan Pan Islamisme. 

Dalam Islamisme kedudukan dan peran negara di anggap sebagai syarat yang harus dipenuhi (sine non quo) dalam pencapaian kehidupan muslim yang paripurna. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun