[SIKAP BEM REMA UPI TERHADAP RANCANGAN PERATURAN KEMENRISTEKDIKTI TENTANG ORGANISASI KEMAHASISWAAN]
Kampus sebagai laboratorium pemimpin negeri ini dan dengan nalar kritis Mahasiswa nya kerap kali menjadi pengontrol pemerintah untuk tetap berada dalam jalurnya. Namun dewasa ini, keberadaan kampus dianggap "ancaman" oleh pemerintah. Sehingga dengan otoriter dan kekuasaanya pemerintah  mempersempit ruang gerak mahasiswa .
Kepanikam rezim hari ini akan sikap mahasiswa yang konsisten menjaga Marwah Bangsa dan Negara ini agar sesuai cita cita kemerdekaan mulai di pertontonkan di permukaan. Â Kepanikan itu di ekpresikan Dengan pemerintah mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang sangat tidak masuk akal dan cenderung memaksakan. Mulai dari kebijakan tentang UKT, kemudian wacana pemilihan Rektor Perguruan Tinggi yang dipilih oleh Presiden, penangkapan aktivis mahasiswa, Â sampai pada puncaknya dengan keluarnya Rancangan Permenristekdikti tentang Oganisasi Kemahasiswaan yang menggantikan Kepmendikbud No 155 No 1998 tentang pedoman Organisasi Kemahasiswaan di Perguruan Tinggi.
Beberapa catatan kritis dari draf Rancangan Permenrisetdikti tersebut diantaranya:
1. Tidak adanya landasan dan urgensi yang kuat untuk dibentuknya peraturan menteri.
Dengan dalih bahwa adanya kekosongan hukum yang mengatur tentang ormawa di PT, kontradiktif dengan apa yang disebutkan oleh UU No. 12 tahun 2012 dalam pasal 77 ayat (5) bahwa, ketentuan lain mengenai organisasi kemahasiswaan diatur dalam statuta perguruan tinggi. (amanah UU menjelaskan bahwa ketentuan lain mengenai ormawa di atur dalam statuta PT, Â bukan oleh Peraturan Menteri, dan secara garis hierarki hukum, Â UU lebih tinggi dari peraturan Menteri, Â dan logika hukum nya peraturan menteri itu mengacu dari UU yang berkaitan atau delegasi dari UU di atasnya).
Kemudian Peraturan Pemerintah No. 14 tahun 2014 Pasal 23 tentang Otonomi pengelolan PTN bidang nonakademik yang salah satunya menyebutkan Orgnisasi Kemahasiswaan merupakan bagian dari otonomi PTN. Dari hal tersebut menjelaskan bahwa artinya tidak ada kekosongan hukum yang mengatur tentang ormawa, karena aturan tersebut diatur lebih lanjut dalam Statuta PT. Dan itu artinya setiap PT harus memiliki statuta sendiri yang mengatur lebih lanjut tentang ormawa yang ada di perguruan tingginya masing masing.
Dan Jika menteri ingin menuangkan kebijakan dalam suatu Peraturan Menteri, maka yang perlu diperhatikan adalah prinsip pemberian delegasian pengaturan dari peraturan perundang-undangan di atasnya. Yang harus diperhatikan adalah lingkup pengaturan yang diperintahkah agar pengaturannya tidak melebar melampaui kewenangan yang diberikan.
Prinsip tersebut di atas dapat dijadikan asas atau patokan dalam menyusun Peraturan Menteri, di samping juga asas-asas lain yang secara umum telah dianut oleh beberapa negara, termasuk Indonesia, misalnya (diambil sebagian dari buku Van der Vlies):
- Asas tujuan yang jelas.
- Asas organ atau lembaga yang tepat;
- Asas perlunya peraturan;
- Asas dapat dilaksanakan;
- Asas perlakuan yang sama dalam hukum;
- Asas kepastian hukum; dan
- Asas tentang terminologi dan sistematika yang benar.
Point-point asas dalam pembuatan peraturan menteri juga masih belum jelas dan tidak bisa di pertanggung jawabakan .
2. Adanya pembatasan ruang gerak mahasiswa.