Jika anda adalah seorang pegawai negeri daerah, sumber pendapatan anda hanya gaji tok. Karena tunjangan kinerja anda tidak ada sebab Pemda tidak mampu membayar (pendapatan asli daerah rendah). Apa yang anda lakukan?
Tentu anda akan mencari jalan keluar. Korupsi tak mungkin, ambil side job apalagi. Namun, tiba-tiba anda mendapatkan pesan dari teman sekelas kuliah yang bekerja di sebuah Kementerian di Jakarta:
"Bro, mau pindah kesini? Disini lagi butuh pegawai!"
Nah, inilah yang terjadi padaku.Â
Tentu saja, aku menyambut baik informasi itu. Setengah memaksa keluarga kecilku. Seakan iming-iming kesejahteraan versiku -gaji tinggi, bisa sekolahkan anak-anak di institusi terbaik, enggak nombok akhir bulan karena gaji tak cukup- sudah ada di depan mata.Â
Singkat cerita, Ayah (rahimahullah)-Ibuku setuju. Istriku pun demikian.Â
Aku pun mulai mengurus kepindahanku. Aku rasa, cerita proses pindahku ini ingin sekali diketahui oleh sebagian teman-teman pegawai negeri sipil yang mungkin berniat untuk mengikuti jejakku. Berkelana, mengadu nasib namun masih dalam status abdi negara, bersaing dengan pegawai-pegawai pusat yang handal dan terlatih.Â
Mereka pasti penasaran, bagaimana aku bisa diterima di kementerian.Â
Baiklah, aku akan berbagi tentang caraku mewujudkan impian dan target menjadi pegawai pusat. Tapi, disclaimer dulu, maklumi beberapa privilege-ku ya. Dan ingat! Masing-masing kita punya keistimewaan dan selalu ada jalan jika kita berupaya semaksimal mungkin kemudian setelah ikhtiar menyerahkan semua urusan kepada Yang Maha Esa.
1. Mengurus Rekomendasi dari Pusat
Aku dapat rekomendasi berupa Surat Permohonan Pindah dari Pejabat Eselon I Kementerian yang menjadi tujuan-ku. Caraku, karena punya rekan sekelas yang bekerja disana, kebetulan ia pun berprestasi, Â ia berani mempertaruhkan reputasinya untuk merekomendasikanku kepada pimpinannya (setara eselon II). Pimpinannya ini yang kemudian meyakinkan Pejabat Eselon I untuk mengeluarkan surat rekomendasi tersebut. Kebetulan, pada unit organisasi eselon II sedang membutuhkan staf (yang saat itu setara eselon IV).
Rekomendasi itu pun keluar dan tujuannya adalah kepada Kepala Daerah tempatku bekerja.Â
Jujur saja, aku belum ada penyampaian sebelumnya kepada atasan langsungku soal proses yang aku jalani untuk mendapatkan rekomendasi itu. Ya kalau jadi. Kalau enggak? Malu lah aku.Â
Isi rekomendasi itu kira-kira begini: Yth Bupati XXX. Bersama ini, kami meminta kesediaan Saudara untuk dapat memindahtugaskan pegawai di bawah ini: nama dan CV-ku.Â
2. Memperoleh Izin dari Instansi Asal
Terus terang ga mudah. Karena sebagai birokrat yang sangat menjunjung tinggi nilai hierarki. Izin bukan hanya kepada Kepala Daerah. Mulai dari atasan langsung, atasannya atasan langsung, sampai ke Sekretaris Daerah. Barulah berhadapan dengan Kepala Daerah.Â
Nah, disinilah yang tadi aku katakan privilege-ku. Aku menduduki jabatan struktural yang mengurus keprotokolan Kepala Daerah saat itu. Jadi, komunikasiku bisa langsung ke Kepala Daerah. Kusampaikanlah keinginanku dengan persiapan narasi yang lumayan lama sebelum menghadap ke ruangannya.Â
Aku pahami, ada uang ada barang. Tapi yang dimaksudkan disini uang adalah, take and give berupa janjiku yang meyakinkannya bahwa apabila aku diizinkan pindah tugas ke pusat. Maka aku berkomitmen untuk membantu urusan daerah yang berkaitan dengan pusat. Mencari informasi terkait dengan program pembangunan daerah dan siap untuk melayani daerah dalam konteks kedinasan. Aku pun menyanggupinya.Â
Sempat juga terjadi drama, dimana kepala instansi yang menangani kepegawaian mengusulkan kepada Kepala Daerah untuk tidak mengizinkanku karena aku adalah aset penting daerah. Aset penting? Emang barang? Haha.Â
Saat itu, kami bertiga di ruangan, yaitu: Kepala instansi itu, Kepala Daerah, dan Aku. Aku hanya diam, dan kepala instansi kepegawaian itu terus mempengaruhi Kepala Daerah untuk tidak mengizinkan permohonan pindahku. Untungnya, jawaban Kepala Daerah itu singkat dan sedikit membuat kepala instansi itu mungkin malu:
"Ngapain juga kita tahan-tahan orang yang mau maju. Udah jangan dipersulit, proses aja!".
Proses administrasi pun berlanjut.
3. Drama harga tanda tangan
Aku menyadari, jangankan untuk pindah ke pusat, untuk pindah ke daerah tetangga saja tidak gratis. Kesadaranku itu berangkat dari cerita para pegawai yang katanya sudah menjadi rahasia umum itu nominalnya sampe 2 digit. Aku gak punya simpanan banyak saat itu. Meski demikian, prinsipku tegas, pun kalau ada uang, tak akan aku gunakan untuk bayar mereka yang meminta uang sabun agar proses administrasiku lancar.
Sekali lagi, karena privilage sebagai pejabat struktural eselon 4, aku sendiri yang menyatakan berulang kali kepada Kepala Daerah bahwa proses administrasi surat menyurat ini akan aku urus sendiri, minta tanda tangan kepada kepala satuan kerja/instansi seperti inspektorat, sekretaris daerah, asisten kepala daerah, dan pejabat terkait lainnya. Bapak yang baik hati itu pun meyakinkanku, jika ada yang minta minta duit untuk kelancaran proses ini, beliau akan tegur keras.Â
Ada sih, yang melakukan pendekatan-pendekatan ke arah sana. Tapi, karena tadi, ya privilage. Semua dapat kuatasi dengan baik, alhamdulillah. Dan surat melepas pun terbit.Â
Tidak sampai 3 bulan, semua dokumen lengkap dan dikirim ke Badan Kepegawaian Negara. Tak sampai 2 minggu, Peraturan Teknis (Pertek) dari BKN pun terbit yang menjadi dasar aku bekerja di tempat yang baru.
Pindahlah kami ke Jakarta.Â
High risk, high income. Berangkat pagi, pulang malam, itulah risiko. Benefitnya, lumayan sebanding.Â
Drama dalam bekerja? Sudah pasti ada. Tak bisa dibanding-bandingkan. Karena setiap level orang pasti berbeda. Ya, nikmati saja dan syukuri apa yang telah diberi oleh-Nya.
Hingga saat ini, dengan suka dan duka disini. Banyak hal yang disyukuri, dan banyak pula hal yang tak perlu disesali. Karena dimanapun hidup, di lingkungan apapun bekerja, selama kita masih mengenal makna rasa 'cukup' maka semua akan terasa ringan.Â
Selamat berjuang para pejuang pindah instansi!
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI