Mohon tunggu...
Pekik Aulia Rochman
Pekik Aulia Rochman Mohon Tunggu... Petualang Kehidupan Dimensi Manusia yang diabadikan dalam https://theopenlearner333.blogspot.com/

I can't do anything, I don't know anything, and I am nobody. But, I am An Enthusiast in learning of anything.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Greta Thunberg dan Seni Menyindir dengan Elegan: Dari Twitter ke Laut Gaza

9 Oktober 2025   06:03 Diperbarui: 9 Oktober 2025   08:29 98
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Greta vs Trump. Sumber: ndtv.com

"A teenager working on her anger management problem. Currently chilling and watching a good old-fashioned movie with a friend."

Tindakan kecil itu --- seolah remeh --- ternyata mengguncang budaya internet.
Media seperti BBC dan The Guardian menyebut langkah Greta sebagai "kelas dunia dalam pengendalian diri." Ia membalas ejekan bukan dengan caci maki, melainkan dengan cermin --- membuat lawan tampak konyol tanpa sepatah pun kata kasar.

Setahun kemudian, November 2020, ketika Trump kalah Pilpres dari Joe Biden dan marah-marah di Twitter menolak hasil pemilu, Greta membalikkan ejekan lama itu dengan sempurna. Ia menulis:

"Donald must work on his anger management problem, then go to a good old-fashioned movie with a friend. Chill Donald, chill!"

Tweet itu viral dalam hitungan menit. CNN mencatat, postingan Greta mendapatkan jutaan like dalam waktu 24 jam --- menjadikannya simbol comeback paling elegan di dunia maya.
Publik bersorak, bukan karena Greta "menang debat," tetapi karena ia menunjukkan bahwa kecerdasan emosional bisa lebih mematikan daripada kemarahan.

Banyak analis kemudian menyebut, sejak momen itu Greta membentuk persona publik yang unik: seorang remaja dengan keberanian moral, kecerdasan linguistik, dan disiplin emosional tinggi.
Ia bukan hanya aktivis, tapi juga ahli strategi komunikasi moral.
Dan kini, lima tahun kemudian, ketika Greta berdiri di dek kapal Global Sumud Flotilla sambil berkata bahwa ia "marah kepada ketidakadilan, bukan manusia," dunia tahu --- ini bukan versi baru Greta.
Ini hanya Greta yang sama, kini berbicara di panggung yang lebih luas.

Seni Menyindir dengan Elegan

Kita hidup di era di mana marah dianggap gagah, dan teriak dianggap tegas.
Media sosial telah menjadikan ruang publik seperti arena gladiator: siapa paling cepat membalas komentar, siapa paling lantang menuding, siapa paling viral --- dialah pemenang.
Namun, di tengah budaya digital yang menuhankan reaksi, muncul sosok seperti Greta Thunberg yang menunjukkan bahwa keanggunan bisa lebih memukul daripada kemarahan.

Menurut The Guardian, gaya komunikasi Greta menandai "lahirnya retorika baru di era digital: bukan siapa yang paling keras, tapi siapa yang paling cerdas."
Dan memang, Greta jarang membalas serangan dengan nada tinggi. Ia memilih bahasa ironi --- lapisan humor yang menohok tanpa kehilangan etika.
Sindiran, di tangannya, berubah dari senjata penghinaan menjadi alat refleksi.

Ketika Trump mengejeknya, Greta tidak berbalik menuduh. Ia hanya memantulkan kalimat itu kembali, tapi dengan konteks baru.
Itu bukan sekadar balasan --- itu pembalikan makna.
Dalam teori komunikasi, ini disebut "mirror rhetoric" --- teknik meniru kata lawan untuk menunjukkan absurditas argumennya.
Sama seperti seorang cermin, ia tidak memukul, hanya memantulkan. Tapi pantulan itu sering lebih menyakitkan daripada seribu serangan frontal.

Greta juga memahami satu hal yang jarang dimiliki banyak orang di media sosial: bahwa kemenangan moral bukan didapat dari menjatuhkan, tapi dari tidak ikut terjatuh.
Ia bisa saja menghina balik Trump dan disambut sorak-sorai netizen, tapi yang ia cari bukan tepuk tangan, melainkan kesadaran.
Seperti yang ditulis Psychology Today, "Greta memiliki kendali atas emosinya sendiri, dan itu membuat lawan kehilangan kendali atas dirinya."

Inilah seni menyindir dengan elegan:
mengetahui kapan harus berbicara, kapan harus diam, dan kapan kata-kata justru bekerja lebih tajam dari amarah.
Dalam dunia yang terbakar oleh kebencian, ironi bisa menjadi air.
Dalam perdebatan yang kehilangan empati, humor bisa menjadi jembatan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun