Mohon tunggu...
Pekik Aulia Rochman
Pekik Aulia Rochman Mohon Tunggu... Petualang Kehidupan Dimensi Manusia yang diabadikan dalam https://theopenlearner333.blogspot.com/

I can't do anything, I don't know anything, and I am nobody. But, I am An Enthusiast in learning of anything.

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop Pilihan

Palestina Merdeka di PBB: De Facto, Tapi Genosida Israel Masih Membelenggu

23 September 2025   18:50 Diperbarui: 23 September 2025   19:16 272
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bendera Palestina berkibar di samping bendera PBB di Markas Besar PBB, New York.(Reuters/Andrew Kelly). Sumber: antaranews.com

Pada 29 November 2012, Majelis Umum PBB mengesahkan Resolusi 67/19. Palestina diberi status non-member observer state---sama seperti Vatikan. Dengan dukungan 138 negara, hanya 9 yang menolak (termasuk AS dan Israel), dan 41 abstain, Palestina resmi diakui sebagai negara meski belum penuh secara hukum internasional. Bagi bangsa yang sudah puluhan tahun "dihapus" dari peta, ini bukan sekadar status, melainkan pengakuan atas identitas dan legitimasi.

Momentum itu tak berhenti di 2012. Lebih dari satu dekade kemudian, dukungan terus bertambah. Tahun 2025 menjadi babak baru. Sejumlah negara Barat yang dulu cenderung berhati-hati kini angkat suara lantang. Inggris, Prancis, Kanada, Portugal, hingga Australia menyatakan pengakuan terhadap Palestina sebagai negara. Ini bukan sekadar gestur politik, tapi simbol pergeseran: isu Palestina kini bukan hanya urusan Timur Tengah, melainkan isu kemanusiaan global.

Indonesia pun mengambil peran. Presiden Prabowo Subianto, dalam pidatonya di KTT Palestina di PBB, menyerukan dengan tegas: "Akui Palestina sekarang!" Ia juga menegaskan bahwa Indonesia siap mengirim pasukan perdamaian jika diperlukan. Pernyataan ini menempatkan Indonesia bukan sekadar penonton, tapi bagian aktif dari solidaritas global.

Di balik semua euforia, ada pemandangan yang tak kalah simbolis: kursi kosong Amerika Serikat dan Israel dalam sidang. Absennya dua negara itu seperti stempel keras penolakan, sekaligus menegaskan bahwa perjuangan Palestina masih panjang. Sebab, selama ada veto di Dewan Keamanan, status de jure Palestina akan tetap terbentur tembok tebal politik global.

Namun, momen di PBB ini jelas meninggalkan pesan penting: Palestina tidak sendirian. Dunia sudah memberi pengakuan de facto. Sejarah sudah berpihak, tinggal menunggu kapan realitas politik dan kemanusiaan benar-benar menyusul.

Presiden Prabowo Subianto berpidato soal Palestina dalam KTT PBB di New York, Senin (22/9/2025).(AFP/LUDOVIC MARIN) Sumber: Kompas.id 
Presiden Prabowo Subianto berpidato soal Palestina dalam KTT PBB di New York, Senin (22/9/2025).(AFP/LUDOVIC MARIN) Sumber: Kompas.id 

Respon Dunia

Pengakuan Palestina sebagai negara di PBB bukan hanya peristiwa diplomatik, tapi juga barometer arah politik dunia. Dari 2012 hingga 2025, sikap negara-negara terhadap Palestina memperlihatkan peta kekuatan global yang sedang bergeser.

Mayoritas negara berkembang dan anggota Gerakan Non-Blok konsisten mendukung Palestina. Dukungan mereka bukan sekadar diplomasi formal, melainkan cermin solidaritas antarkorban kolonialisme. Palestina dianggap simbol perjuangan universal: bangsa yang dirampas haknya tapi terus berjuang untuk merdeka.

Yang menarik, dukungan semakin merambah ke negara-negara Barat. Inggris, Prancis, Kanada, Portugal, dan Australia---yang dulunya berhati-hati---pada 2025 menegaskan pengakuan resmi terhadap Palestina. Langkah ini dianggap sebagai lompatan besar, sebab selama puluhan tahun, Barat selalu tersandera oleh tekanan geopolitik Amerika Serikat dan Israel. Media internasional seperti The Guardian dan Al Jazeera menilai pengakuan ini bukan hanya gestur moral, tetapi juga indikasi perubahan peta kekuasaan global, di mana opini publik Barat mulai lebih peduli pada isu kemanusiaan dibanding kalkulasi politik semata.

Di sisi lain, sikap Amerika Serikat dan Israel tetap kaku. Kedua negara bahkan absen dalam sidang PBB terbaru, seolah menegaskan bahwa mereka menutup pintu dialog. Kursi kosong itu berbicara lebih keras daripada kata-kata: menolak memberi legitimasi bagi Palestina. Padahal, AS selama ini selalu mengklaim sebagai "penjaga demokrasi dunia." Ironisnya, demokrasi yang mereka serukan tidak berlaku ketika menyangkut hak bangsa Palestina.

Indonesia, lewat Presiden Prabowo, menegaskan diri sebagai salah satu suara paling lantang di Asia. Dalam pidatonya, ia menyerukan agar dunia "mengakui Palestina sekarang" dan bahkan siap mengirim pasukan perdamaian. Sikap ini mendapat apresiasi luas, karena menempatkan Indonesia sebagai negara Muslim terbesar yang tidak hanya bersuara, tetapi juga siap bertindak.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun