Sejak 25 Agustus 2025, Indonesia diguncang gelombang protes yang tak kunjung reda. Dari Jakarta hingga berbagai kota di daerah, rakyat turun ke jalan menuntut keadilan. Gawai kita dipenuhi gambar massa yang berteriak di depan gedung dewan, aparat berjaga dengan tameng, hingga api yang melahap gedung DPRD di sejumlah provinsi. Wajah-wajah muda yang penuh amarah berpadu dengan rasa frustrasi rakyat yang sudah lama terpendam. Namun di balik itu, nyawa pun melayang.
Affan Kurniawan, seorang pemuda pengemudi ojek online, tewas tertabrak kendaraan aparat saat sedang menjalankan tugas mengantar pesanan makanan---bukan sebagai peserta demonstrasi. Di Makassar, tiga orang kehilangan hidupnya karena terjebak dalam kobaran api ketika gedung DPRD dibakar massa. Dua tragedi ini menambah luka kolektif bangsa: harga sebuah ketidakadilan ternyata dibayar dengan darah dan air mata rakyat kecil.
Ketimpangan sosial bukanlah cerita baru di negeri ini. Ada yang berjuang mati-matian hanya untuk memperoleh tiga hingga empat juta rupiah sebulan, sementara di sisi lain ada yang dengan mudahnya menghabiskan jumlah serupa hanya untuk sekali makan malam. Dunia terasa timpang---dan Indonesia hari ini adalah potret nyatanya.
Namun, mungkin justru di balik luka inilah tersembunyi kesempatan. Sebuah momentum untuk menyalakan kesadaran baru: bukan sekadar teriakan protes, melainkan kebangkitan jiwa yang berdaya---jiwa yang sadar dirinya khalifah Tuhan di bumi Nusantara.
Ketidakadilan yang Nyata di Sekitar Kita
Sejak 25 Agustus 2025, gelombang protes rakyat meluas ke berbagai daerah di Indonesia. Dari Jakarta hingga Makassar, dari Pekalongan hingga Nusa Tenggara, suara ketidakpuasan menggema di depan gedung-gedung DPRD. Isu kenaikan tunjangan fantastis bagi anggota dewan menjadi percikan awal, tetapi yang sesungguhnya membakar amarah rakyat adalah luka lama: ketidakadilan sosial yang tak kunjung terselesaikan.
Di jalanan, rakyat membawa poster, meneriakkan yel-yel, hingga sebagian massa membakar gedung-gedung DPRD. Gambar kobaran api itu menjadi simbol amarah yang sudah melampaui batas. Namun yang paling menyayat adalah ketika protes ini harus dibayar dengan nyawa. Affan Kurniawan, seorang pemuda pengemudi ojek online, tewas tertabrak kendaraan aparat saat demonstrasi di Jakarta. Di Makassar, tiga orang meninggal tragis karena terjebak di dalam gedung DPRD yang terbakar. Nyawa-nyawa yang hilang ini adalah pengingat pahit: ketidakadilan bukan sekadar statistik, melainkan ancaman nyata terhadap kehidupan rakyat.
Ironisnya, semua ini terjadi di saat DPR---lembaga yang seharusnya menjadi simbol kedaulatan rakyat---malah menjadi simbol keterputusan dengan realitas rakyat. Bagaimana mungkin wakil rakyat memperjuangkan tambahan tunjangan ratusan juta, sementara rakyat yang mereka wakili menjerit karena harga sembako melonjak dan biaya pendidikan tak terbeli? Ketika kursi empuk di Senayan lebih diprioritaskan daripada kursi sekolah anak bangsa, pantaslah bila kepercayaan publik runtuh.
Kontras sosial ini semakin jelas dalam kehidupan sehari-hari. Ada jutaan rakyat yang berjuang mati-matian demi tiga hingga empat juta rupiah per bulan---itu pun kerap habis sebelum pertengahan bulan. Di sisi lain, jumlah yang sama bisa habis hanya untuk sekali makan malam bagi segelintir orang berpunya. Ada kepala keluarga yang menangis karena tak mampu membayar sekolah anaknya, sementara di waktu bersamaan ada pesta ulang tahun hewan peliharaan bernilai jutaan rupiah.
Potret inilah yang membuat rakyat merasa amarah mereka sah. Karena ketidakadilan bukan lagi sekadar teori, melainkan kenyataan yang membunuh harapan dan, lebih buruk lagi, merenggut nyawa.
Sistem Besar yang Membentuk Ketimpangan
Ketimpangan bukanlah kebetulan, melainkan hasil dari sebuah sistem besar yang telah terbentuk jauh sebelum kita lahir. Sistem ini seperti arus sungai kehidupan: ada segelintir orang yang lahir di hulu, dekat dengan sumber mata air yang jernih, bersih, dan melimpah. Mereka terlahir dengan akses pendidikan terbaik, jaringan keluarga yang kuat, serta modal ekonomi dan sosial yang nyaris tak terbatas. Sementara itu, mayoritas rakyat lahir di hilir---jauh dari sumber mata air---yang hanya bisa menikmati sisa aliran keruh, harus berebut dengan banyak orang lain, dan sering kali tercebur dalam lumpur.