Mohon tunggu...
Pekik Aulia Rochman
Pekik Aulia Rochman Mohon Tunggu... Petualang Kehidupan Dimensi Manusia yang diabadikan dalam https://theopenlearner333.blogspot.com/

I can't do anything, I don't know anything, and I am nobody. But, I am An Enthusiast in learning of anything.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Membangun Ketahanan Diri dari Dalam Ke Luar (1): Fondasi Kuat di Tengah Dunia yang Tak Pasti

10 Agustus 2025   16:23 Diperbarui: 10 Agustus 2025   17:51 141
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Image by Brian Jones from Pixabay 

Pernahkah kita merasa dunia bergerak terlalu cepat, sampai-sampai nafas saja serasa tak cukup? Hari ini kita bicara tentang pandemi, besok harga bahan pokok melonjak, lusa berita perang membanjiri linimasa. Semua serba tak pasti. Dalam istilah para analis strategi, kita hidup di era VUCA---Volatile, Uncertain, Complex, Ambiguous---di mana perubahan terjadi mendadak, ketidakpastian jadi norma, dan kompleksitas masalah seperti tumpukan benang kusut yang sulit diurai.

Sebuah laporan World Economic Forum (2024) bahkan menempatkan "krisis kesehatan mental" dan "disrupsi sosial akibat teknologi" sebagai dua dari sepuluh risiko global paling besar dalam dekade ini. Artinya, bukan hanya bumi yang panas, tapi juga hati dan pikiran manusia.

Namun, di tengah semua guncangan itu, selalu ada orang-orang yang justru tampak tenang, fokus, dan tetap produktif. Mereka tidak kebal masalah, tapi punya kemampuan untuk bangkit lebih cepat dari keterpurukan. Inilah yang disebut ketahanan diri---fondasi tak terlihat yang menentukan apakah kita sekadar bertahan... atau tumbuh di tengah badai.

Apa Itu Ketahanan Diri?

Ketahanan diri (personal resilience) adalah kemampuan seseorang untuk menghadapi, beradaptasi, dan bangkit dari tekanan, kesulitan, atau perubahan besar dalam hidup---tanpa kehilangan arah dan nilai yang diyakini. Psikolog terkemuka Ann Masten menyebutnya sebagai "ordinary magic"---keajaiban sehari-hari yang dimiliki setiap orang, yang muncul ketika kita berhadapan dengan tantangan.

Bedanya dengan sekadar "bertahan" adalah pada unsur transformasi. Orang yang tangguh tidak hanya mampu melewati badai, tapi juga keluar dari badai itu dengan pelajaran dan kekuatan baru. Konsep ini selaras dengan pandangan Viktor Frankl, psikiater dan penyintas kamp konsentrasi Nazi, yang menulis dalam Man's Search for Meaning bahwa "ketahanan terbesar lahir dari kemampuan menemukan makna dalam penderitaan."

Dalam perspektif akademik, ketahanan diri tidak berdiri sendiri. Ia terbentuk dari perpaduan lima dimensi utama:

  1. Mental -- kemampuan fokus, mindfulness, dan pola pikir berkembang (growth mindset).

  2. Emosional -- stabilitas dan pengelolaan emosi.

  3. Sosial -- jaringan relasi positif dan empati.

  4. Problem-solving -- kemampuan mencari solusi kreatif di tengah keterbatasan.

  5. Spiritual -- tujuan hidup dan koneksi transendental.

Bila kelima dimensi ini terintegrasi, seseorang bukan hanya siap menghadapi krisis, tapi juga mampu menjadi pilar kekuatan bagi keluarga dan komunitasnya. Di sinilah ketahanan diri menjadi fondasi bagi ketahanan pada level yang lebih besar.

Mengapa Ketahanan Diri Penting di Era Sekarang?

Kita hidup di zaman yang sering digambarkan para pakar strategi sebagai VUCA---Volatile, Uncertain, Complex, Ambiguous. Volatilitas membuat peristiwa bisa berubah drastis dalam hitungan jam; ketidakpastian membuat rencana sekuat apa pun bisa buyar; kompleksitas menghadirkan masalah berlapis-lapis; dan ambiguitas membuat fakta dan opini kerap bercampur hingga sulit dibedakan.

Laporan WHO (2023) mencatat bahwa lebih dari 970 juta orang di dunia hidup dengan gangguan mental atau perilaku, sebagian besar dipicu tekanan ekonomi, krisis kesehatan, dan ketidakpastian sosial. Di Indonesia, Survei Kesehatan Jiwa Nasional (2022) menemukan bahwa 1 dari 3 orang dewasa mengalami gejala stres berat hingga depresi. Data ini bukan sekadar angka---ia mencerminkan rapuhnya fondasi psikologis masyarakat kita.

Di sisi lain, kecepatan teknologi memperbesar tekanan. Media sosial bukan hanya menjadi tempat berbagi kabar, tapi juga arena perbandingan tanpa akhir. Kita melihat orang lain selalu "lebih sukses, lebih bahagia, lebih mapan", yang kadang membuat kita merasa tertinggal, meski realitasnya belum tentu demikian.

Di tengah pusaran ini, ketahanan diri berfungsi seperti vaksin psikologis. Ia tidak menghilangkan tantangan, tetapi memperkuat daya tahan mental, emosional, dan spiritual untuk menghadapi tantangan tersebut tanpa runtuh. Individu yang tangguh bukan berarti tidak pernah jatuh, melainkan mampu bangkit kembali lebih cepat, dengan bekal pembelajaran baru.

Lebih dari itu, ketahanan diri punya efek berganda (ripple effect). Orang yang stabil secara emosional dan mental akan menularkan ketenangan pada keluarganya, memperkuat komunitas, dan pada akhirnya berkontribusi pada ketahanan bangsa. 

Inilah sebabnya mengapa Prodi Ketahanan Nasional memandang penguatan ketahanan diri sebagai investasi strategis. Sebagai mahasiswa yang baru saja menyelesaikan sidang S2 di Universitas Indonesia pada prodi ini, saya merasakan langsung bagaimana konsep yang awalnya teoritis ini menjadi lensa yang membentuk cara pandang saya terhadap dunia. Ketangguhan sebuah bangsa, saya yakini, dimulai dari ketangguhan warganya---dimulai dari diri kita sendiri.

Kaitan Ketahanan Diri dengan Level Lain Ketahanan

Ketahanan diri adalah batu pertama yang menentukan kokoh atau rapuhnya bangunan ketahanan yang lebih besar. Dalam kajian strategis, para pakar menyebutnya sebagai nested resilience---lapisan ketahanan yang saling bertaut mulai dari individu, keluarga, komunitas, hingga bangsa. Prinsipnya sederhana: kekuatan pada level terendah akan mengalir ke atas, dan kelemahan di dasar akan mengguncang seluruh struktur.

Di tingkat paling dasar, individu yang tenang, sehat, dan adaptif akan membawa energi positif ke dalam keluarga. Mereka mampu mengambil keputusan dengan kepala dingin, menjadi teladan dalam menghadapi masalah, dan mengurangi potensi konflik internal. Seperti yang kerap dibahas dalam forum akademik, orang tua yang mampu mengelola stres akan menciptakan lingkungan rumah yang stabil---suatu prasyarat bagi tumbuhnya anak-anak yang percaya diri dan resilien.

Keluarga yang solid, pada gilirannya, memperkuat komunitas. Dalam situasi krisis, komunitas yang terdiri dari keluarga-keluarga tangguh akan pulih lebih cepat karena memiliki modal sosial berupa kepercayaan, gotong royong, dan solidaritas. Modal sosial inilah yang menjadi penyangga pertama ketika sumber daya eksternal terbatas.

Komunitas yang kuat menjadi benteng pertama bangsa. Dalam perspektif Ketahanan Nasional, masyarakat yang mampu menjaga stabilitas sosial dan kohesi internal akan meringankan beban negara dalam menghadapi bencana alam, ancaman keamanan, maupun disrupsi ekonomi.

Analogi sederhananya: ketahanan nasional adalah rumah besar. Individu adalah pondasinya, keluarga adalah tiangnya, komunitas adalah dindingnya, dan negara adalah atapnya. Jika pondasinya rapuh, sekuat apa pun tiang dan atapnya, rumah itu tetap goyah.

Sebagai mahasiswa yang baru menyelesaikan sidang S2 di Universitas Indonesia, Prodi Ketahanan Nasional, saya merasakan langsung bahwa teori ini bukan sekadar wacana di ruang kuliah. Ia menjadi lensa baru yang membuat saya menyadari: ketangguhan sebuah bangsa dimulai dari ketangguhan warganya---dan semua itu bermula dari kemampuan kita membangun ketahanan diri.

Dimensi Tasawuf dalam Ketahanan Diri

Ketahanan diri sering dibahas dalam psikologi modern, namun nilai-nilainya sejatinya telah lama hidup dalam khazanah tasawuf. Dalam tradisi ini, kekuatan batin tidak hanya lahir dari latihan mental, tetapi juga dari penyucian hati dan penguatan hubungan dengan Allah. Setidaknya ada tiga jembatan yang menghubungkan pilar ketahanan diri dengan ajaran tasawuf.

1. Kesadaran Penuh (Mindfulness) ↔ Muraqabah
Dalam pilar ketahanan mental, kita mengenal mindfulness—fokus pada momen saat ini tanpa terjebak masa lalu atau cemas masa depan. Dalam tasawuf, ini sejajar dengan muraqabah, yaitu kesadaran penuh bahwa Allah senantiasa mengawasi. Seorang salik yang ber-muraqabah menjalani hari dengan hati yang waspada namun tenang, karena tahu segala sesuatu berada dalam genggaman-Nya.

2. Stabilitas Emosi ↔ Tazkiyatun Nafs
Pilar ketahanan emosional menekankan pengendalian emosi di tengah tekanan. Tasawuf mengajarkan tazkiyatun nafs, penyucian jiwa dari sifat-sifat destruktif seperti amarah, dengki, dan sombong. Pembersihan ini bagaikan memperkuat “imunitas batin”, membuat seseorang tidak mudah runtuh atau kehilangan kendali meski situasi sekitar kacau.

3. Tujuan Hidup ↔ Ma’rifatullah
Pilar ketahanan spiritual berbicara tentang purpose, arah hidup yang memberi makna. Dalam tasawuf, tujuan tertinggi ini adalah ma’rifatullah—mengenal Allah dengan hati yang sebenar-benarnya. Kesadaran ini mengubah cara memandang ujian hidup: bukan sekadar penderitaan, tetapi undangan untuk mendekat pada-Nya.

Dengan memadukan prinsip ketahanan diri dan nilai-nilai tasawuf, kita tidak hanya membangun daya tahan psikologis, tetapi juga membentuk kekuatan batin yang berakar pada kesadaran Ilahi. Inilah kombinasi yang membuat seseorang bukan hanya tangguh di hadapan badai, tetapi juga damai di dalamnya.

Akhir yang Jadi Awal

Ketahanan diri bukanlah kemampuan bawaan yang dimiliki segelintir orang terpilih, melainkan keterampilan yang dapat dipelajari, dilatih, dan diperkuat setiap hari. Di tengah dunia yang tak pasti, ia menjadi semacam "modal dasar" yang menentukan bagaimana kita menghadapi badai---bukan sekadar bertahan, tetapi juga tumbuh lebih kuat karenanya.

Wawasan ini semakin terasa ketika saya menempuh pendidikan magister di bidang Ketahanan Nasional di Universitas Indonesia. Proses akademik dan diskusi strategis di sana membuka mata saya bahwa ketahanan diri tidak hanya menyangkut cara kita menghadapi masalah pribadi, tetapi juga menjadi pondasi yang menopang kekuatan kolektif sebuah bangsa.

Artikel ini adalah pembuka dari seri "Membangun Ketahanan Diri dari Dalam ke Luar". Di bagian berikutnya, kita akan mengupas Pilar Pertama: Ketahanan Mental---bagaimana kesadaran penuh (mindfulness) dan pola pikir berkembang (growth mindset) bisa menjadi tameng pertama dalam menghadapi tekanan hidup.

Pertanyaannya sekarang, sudahkah kita benar-benar mengenal tingkat ketahanan diri kita sendiri?

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun