Di era digital, godaan bukan lagi sekadar tatapan mata di jalan, tapi satu sentuhan layar. Konten pornografi kini hanya sejauh genggaman, dan banyak orang terjerat tanpa sadar. Statista mencatat, lebih dari 30% trafik internet global diisi oleh situs dewasa---angka yang mencengangkan, bukan?
Lalu muncul pertanyaan yang sering menggoda logika: "Kalau onani lebih ringan daripada zina, kenapa tetap dilarang dan dibenci Allah?" Pertanyaan ini wajar, bahkan penting, karena menyentuh inti pemahaman agama dan psikologi manusia modern.
Larangan ini bukan sekadar formalitas. Ada hikmah mendalam yang, jika disingkap, akan membuat kita paham bahwa ini bukan tentang "siapa paling suci," tapi tentang bagaimana menjaga diri agar tidak menjadi budak syahwat. Di satu sisi, syariat menegaskan batas halal-haram. Di sisi lain, psikologi dan neurosains mengungkap bagaimana perilaku ini merusak otak, mematikan fokus, dan menghancurkan hubungan. Tasawuf menambahkan lapisan makna: tumpahnya energi syahwat yang mestinya bisa jadi bahan bakar menuju cahaya.
Artikel ini mengajak kita menelusuri tiga perspektif: agama, psikologi-neurosains, dan spiritual tasawuf. Bukan untuk menghakimi, tapi untuk memahami: mengapa kenikmatan sesaat bisa menjebak, dan bagaimana cara merdeka darinya.
"Jangan menjadi budak syahwat, karena ia tidak akan pernah puas."
--- Imam Al-Ghazali
Perspektif Agama -- Kenapa Tetap Dilarang?
Dalam Al-Qur'an, Allah menegaskan batas syahwat yang halal dengan tegas:
"Dan orang-orang yang memelihara kemaluannya, kecuali terhadap istri-istri mereka atau hamba sahaya yang mereka miliki; maka sesungguhnya mereka tidak tercela. Tetapi barangsiapa mencari di balik itu, maka mereka itulah orang-orang yang melampaui batas."
(QS. Al-Mu'minun: 5--7)
Ayat ini menjadi fondasi: pelampiasan syahwat hanya sah di dalam pernikahan. Di luar itu, meskipun tidak melibatkan orang lain (seperti onani), tetap digolongkan melampaui batas ('aduun).
Kenapa dilarang? Hikmahnya mendalam: