Mohon tunggu...
Fauza Ahsan Hanif
Fauza Ahsan Hanif Mohon Tunggu... Mahasiswa Universitas Darussalam Gontor Kampus Siman

Seoranag mahasiswa yang mempunyai semangat juang dan cita-cita tinggi.Memiliki honi membaca dan menulis, suka sama dunia per editoran

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Dipaksa Kembali Ke Rumah Nenek

25 September 2025   10:48 Diperbarui: 25 September 2025   10:48 20
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Liburan sekolah yang sangat ditunggu-tunggu akhirnya tiba. Zen masih dihantui oleh bel sekolah dari pagi seolah-olah itu adalah pengumuman resmi bahwa ia bebas dari tugas-tugasnya yang mengganggu serta kelas-kelas yang membuat otaknya lelah. Ia punya rencana: keluar dengan pacarnya, Karin. Menonton film, makan malam, mungkin juga menginap diam-diam selama dua hari.
Namun semua rencana itu hancur begitu ibunya berbicara saat makan malam.
“Zen, untuk liburan kamu akan kembali ke desa. Nenekmu menunggu. Kamu belum ke sana selama 10 tahun.”
Zen, yang masih memegang satu sendok, terdiam. “Desa? Bu, apa kamu serius? Aku punya rencana dengan Karin.”
Ibunya tetap menatap dengan tegas, terlihat cukup tenang. “Nana semakin tua. Dia benar-benar ingin melihatmu. Jika bukan sekarang, kapan lagi?”
Zen hanya menghela napas berat. “Tapi, Bu…”
“Kamu tetap akan pergi. Ini adalah keputusan yang sudah diambil.” Tidak ada cara untuk membantah itu.
Dan begitu, Zen tidak punya pilihan lain selain menyelesaikan pengepakan ranselnya dan mengucapkan selamat tinggal kepada Karin di depan rumahnya. Mereka saling berpelukan dengan canggung. Ada janji bersama untuk tidak mengalihkan perhatian kepada orang lain.
“Jaga diri, Sayang,” kata Karin dengan senyum “Jangan terlalu terpesona oleh gadis-gadis desa.”
“Gakbakalan terjadi.” Zen berkata, dengan kurang percaya diri daripada yang ia harapkan.
Perjalanan ke desa dimulai dengan semangat yang tinggi.Walupun masih ada rasa tak ikhlas dalam hati.
Perjalanan dengan mobil ke desa berjalan lancar. Jalanan berkelok, udara mulai dingin, pepohonan mengintip dari balik kabut tipis.Akhirnya mobil Zen sampai di pelataran rumah neneknya yang luas dan bernuansa kayu jati, setelah 2 jam perjalanan.Ia langsung mendapat sambutan hangat yang langsung menyergapnya.
“Zen! Ya ampun, kamu udah segede ini!” seru Bibi Maya sambil memeluknya.”Eee iya bi..” Jawab Zen singkat.
Pakde Fajar menyambut dengan senyum bangga, dan ketiga sepupunya—Baim, Arya, dan Ayu—berlarian menatapnya penuh antusias. Namun satu yang paling ia ingat adalah sosok kecil yang dulu sering bermain bersamanya—Fira.
“Kamu tidur di kamar ibumu dulu waktu kecil ya,” kata Nenek, menuntunnya ke dalam.
Kamar itu masih sama. Tirai biru pucat, lemari kayu lama, dan tempat tidur berkelambu. Zen membuka jendela, dan aroma tanah basah menyergapnya. Udara segar, sawah terbentang, suara jangkrik bersahutan—semua berbeda dari kota.Neneknya pun langsung meninggalkannya sendiri, menutup pintu dan beranjak ke dapur.
Handphone-nya bergetar.
Karin: “Sayang, udah sampai? Gimana desanya? VC bentar, dong.”
Mereka video call sebentar. Zen memutar kamera, memperlihatkan pemandangan luar.
“Wow, adem banget ya…” kata Karin kagum.
Tiba-tiba pintu terbuka.
“Kamu balik, Zen?” suara perempuan masuk. Fira.
Zen tersentak. Karin yang masih di layar menatap curiga.
“Itu... siapa?” tanya Karin.
“Sepupuku. Fira.” jawab Zen cepat.
Setelahnya mereka membahas perjalanan menyenangkan dengan janji-janji agar tidak saling mendua serta sering menelfon.Dan Zen pun terbaring di atas ranjang yang nampak tua namun masih nyaman untuk di tiduri.
 Sore datang pelan. Nenek mengajak Zen ke masjid. Meski malas, Zen mengangguk. Di pelataran masjid, ia melihat seorang perempuan—berjilbab biru langit, membawa Al-Qur’an kecil di tangannya.
Ada sesuatu yang familiar.
Setelah salat, mereka sempat mengobrol ringan. Perempuan itu menanyakan kabar ibunya, dan Zen pun menjawab sekadarnya. Wajah itu terasa akrab, tapi Zen belum bisa menebak siapa.
Malamnya, keluarga besar makan bersama. Suasana hangat, tawa mengisi meja.
“Sekolah gimana, Zen?” tanya Pakde.
“Iya, terus gimana kabar Mama Papa kamu?” tambah Bibi Maya.
Zen menjawab satu per satu, hingga Arya tiba-tiba nyeletuk.
“Eh, Kak Zen udah punya pacar belum?” Celetuk Arya.
Semua orang diam. Beberapa langsung bilang, “Sssttt!” dan Arya hanya nyengir malu.
“Belum.” jawab Zen cepat, meski setengah berbohong.
“Masa kak Zen belum punyya...” Sindir
Setelah makan, Fira yang memang paling dekat dengannya mengajak main ke belakang rumah. Mereka ngobrol ringan, tertawa, hingga tiba-tiba Fira dipanggil ayahnya. Ia pun pamit buru-buru.
Malam itu, Zen tidur di kasur tua ibunya, menatap langit-langit kamar sambil menggenggam ponselnya.
Tak ada pesan dari Karin.
 Udara pagi menyelinap lembut dari jendela terbuka. Suara ayam bersahut-sahutan, dan sinar mentari menembus tirai tipis kamar. Zen bangkit pelan, menyibak selimut, lalu berjalan ke jendela.
Sawah masih berkabut. Embun menempel di dedaunan. Damai.
Pagi ini ia diajak Pakde ke warung kopi dekat lapangan. Sekadar ngobrol dan menyapa warga.Sambil menikmati teh hangat, mata Zen tertumbuk pada seseorang—gadis berjilbab krem, wajah teduh, menunduk sopan sambil membawakan dagangan.
Zen memicingkan mata. Ada sesuatu yang akrab...
Salwa, sini bentar, bantuin angkatin ini,” suara pemilik warung memanggil.
Salwa. Nama itu seperti lonceng kenangan. Sahabat kecilnya dulu—tomboy, ceroboh, dan cerewet. Tapi gadis yang berdiri di depannya sekarang… sangat berbeda.
“Salwa?” suara Zen pelan.
Gadis itu menoleh, matanya membesar. “Zen?” senyumnya langsung merekah. “Ya Allah, kamu beneran Zen?”
Mereka tertawa. Salwa duduk sebentar, dan obrolan masa kecil pun mencairkan jarak sepuluh tahun berpisah.
“Kamu berubah banget, Wa. Aku sampe nggak ngenalin.”
“Kamu juga. Dulu kurus, rambut acak-acakan, sekarang... yaaa, masih.”
Zen tertawa, begitu juga Salwa.
 Hari-hari berikutnya, Zen kembali dekat dengan Salwa.Ia makin sering bertemu Salwa di masjid, warung, atau sekadar mengobrol saat lewat depan rumah nenek.Sedangkan hubungannya ?Karin dan Zen sesekali menghubungi, tapi tak sesering awal-awal.
Fira pun mulai sadar, Zen agak berubah. Lebih, sering melamun.
Sampai suatu sore, Salwa cerita sambil memetik bunga di taman kecil dekat sawah.
“Kamu tahu Zaki, kan?”
“Zaki? Yang dulu tukang ganggu anak-anak itu?” Zen mengingat samar.
“Dia sekarang rajin ikut kegiatan masjid, dan gak pernah ganggu lagi.Dia suka aku....” Salwa tersenyum kikuk.
Zen terdiam. Tak menyangka hatinya bergejolak. Kenapa ia merasa begitu?
“Kamu suka dia?” tanya Zen, berusaha terdengar santai.
“Nggak. Aku nggak suka .” jawab Salwa pelan. “Kalau kamu?”
“Aku?” Zen mengerutkan dahi.
“Sudah ada pacar? Tanya Salwa dengan kikuk.
“Eumm aku... udah punya pacar. Di kota.”
“Oh.” Salwa tersenyum kecil, namun rasa yang menyakitkan di balik senyum itu.
 Suatu malam, Zen menerima pesan panjang dari Karin.
“Kamu berubah ya, Zen? Aku ngerasa kamu mulai jauh. Jujur aja, di sana kamu deket sama siapa?”
Zen mengetik, menghapus, mengetik lagi. Tapi akhirnya hanya membalas:
“gak ada.pengen refresh aja”
Ia tahu, kalimat itu bukan sekadar penjelasan. Itu kode. Kode bahwa ia sendiri bingung dengan perasaannya.
Saat ia keluar kamar, ia melihat Fira duduk di teras rumah nenek, menatap langit malam. Ia duduk di sampingnya, diam.
“Fir, kamu... pernah suka sama seseorang ?”
“Pernah,” jawab Salwa pelan. “Dan aku nggak bilang.”
“Kenapa nggak bilang?”
“Karena kadang kita tahu... nggak semua rasa harus kita sampein.”
Malam itu, Zen tahu hatinya mulai goyah.
 Hari-hari terakhir di desa terasa cepat. Pakde mulai membahas kepulangan Zen ke kota.
“Senin kamu pulang, ya. Sekolah mulai lagi.”
Nenek menangis pelan. Fira cemberut. Bahkan Arya diam.
Salwa tak muncul malam itu.
Saat pagi keberangkatan tiba, Zen pamit pada semua keluarga. Ia sudah di mobil ketika melihat Salwa berdiri di pinggir jalan kecil, menunduk.
Zen turun, berjalan mendekat.
“Aku nggak bisa ngalarang kamu buat pergi, Zen.Hati-hati di jalan.” ucap Salwa.
“Kamu sahabat terbaik yang pernah aku punya, Salwa. Mungkin lebih dari itu...”
“Tapi kamu udah punya orang lain.” jawab Salwa, kali ini dengan senyum tulus.
 Mobil melaju meninggalkan desa. Zen menoleh dari balik jendela, melihat Salwa makin menjauh, makin kecil... lalu hilang di balik kabut.
Di kota, Karin menunggu.
Tapi di dalam hati Zen, desa itu telah meninggalkan jejak. Jejak yang tak akan hilang hanya karena jarak.
Cinta tak selalu harus dimiliki, batin Zen. Tapi kenangan... kadang bisa jauh lebih abadi.
Dan musim liburan itu yang awalnya ia benci karena tak bisa berdua bersama karin, ternyata jadi liburan yang mengubah arah hatinya.
 ----------
Sudah tiga hari Zen kembali ke rumah. Kota tetap ramai, padat, dan sibuk. Tapi, anehnya, semuanya terasa... sepi.
Karin kembali menyapanya seperti biasa, tapi Zen tidak lagi semangat membalas. Bukan karena ia tak peduli. Tapi karena hatinya tahu, ada bagian dari dirinya yang tertinggal di desa.Salwa.Matanya dengan senyumnya yang tenang.
“Kamu kenapa, Zen?” tanya Karin di kafe tempat mereka biasa nongkrong.
Zen menatap gadis itu—cantik, stylish, modern. Tapi… bukan Salwa.
“nggak papa kok,aku cuma... capek,” jawab Zen pendek.
Karin menatapnya lama. “Atau kamu lagi jatuh cinta sama seseorang di desa itu.”
“Kamu nggak usah sok tahu deeh, inget yaa cintaku Cuma satu. Karin, kamu. I love you.” Sembari memegang dan mengusap pundak tangannya.Karin pun membalas dengan senyum yang begitu manis dan menambah cantikkannya.
 Malam itu, ponselnya berdering. Pesan dari Fira:
“Zen, kak Salwa katanya mau pindah ke kota,mau bantu kerjaan ustadzah di sana.”
Jantung Zen berdebar. Salwa? Ke kota?
Tak lama, ia menerima pesan whatsapp langsung dari Salwa.
“Aku dapat tawaran bantu pengajaran ngaji anak-anak di kota. Kayaknya aku bakal tinggal di rumah sepupuku di daerah Rawamangun. Dekat nggak sama kamu?”
Zen langsung membalas.
“Dekat banget. Nanti aku jemput ya?”
 Hari itu, hujan gerimis. Zen berdiri di halte bus dekat jalan masuk Rawamangun. Ketika Salwa turun dari angkot, hati Zen serasa berhenti.
Jilbab abu-abu lembut, wajah sederhana, dan senyum yang selalu hangat.
“Hai,Zen” sapa Salwa dengan senyumanmya yang manis.
“Hai,Kamu beneran ke sini,” ucap Zen,yang nyaris tak percaya.
”yaa.. Kan aku dah bilang ke kamu, aku mau bantuin ustadzah"
"oh iyaa…. Yaudah yok aku anter" ajak Zen antusias.
“ee nggak usah”.
“Hujan lo ini, masuk mobil sini”
Tak ingin memperlama dan karena hujan makin deras Salwa pun langsung masuk ke mobil.
 Beberapa minggu berlalu. Zen dan Salwa sering bertemu—bukan karena cinta, melainkan dengan beralasan ‘silaturahmi’ dan ingin berlibur sebentar ke kota. Tapi hati tak bisa berbohong.
Namun, masalah datang saat Zaki tiba-tiba muncul di masjid tempat Salwa mengajar anak-anak.
Salwa berpapasan dengan Zaki.
“Aku ikut pindah  ke sini juga, Wa.Aku  nggak bisa jauh dari kamu.” kata Zaki suatu sore, dengan tatapan dalam.
Salwa tersenyum canggung. Zen yang melihat dari kejauhan mengepalkan tangan. Tapi ia tahu... ini bukan waktunya emosi.
Malam itu, Zen mengajak Salwa berjalan di taman dekat masjid. Angin sejuk berhembus.
“Wa... kalau seseorang pernah kehilangan arah, lalu ketemu seseorang yang bikin dia tenang... apakah itu cinta?” tanya Zen pelan.
Salwa menatap langit. “Kalau perasaan itu bikin kamu jadi lebih baik... mungkin itu bukan sekadar cinta.”
“Dan kalau cinta itu ada lagi?” Zen berhenti berjalan. Menatapnya.
Salwa tersenyum.
“Maka jangan abaikan. Karena mungkin kali ini... kamu diminta memilih dengan hati, bukan keinginan.”
 Beberapa bulan kemudian...
Zaki perlahan menjauh setelah tahu perasaan Salwa tak pernah tumbuh untuknya. Karin juga sudah mulai dengan kehidupan barunya.
Zen kini rajin ke masjid, ikut membantu mengajar, bahkan memulai project kecil: kelas tahfidz Qur’an untuk anak-anak.
Salwa ada di sana.Bukan sebagai bayangan masa lalu, tapi sebagai cahaya yang datang di waktu yang tepat.
“Kamu yakin bikin kelas tahfidz?” tanya Salwa suatu hari.
“Bukan sekadar yakin,” jawab Zen, menggenggam tas Al-Qur’an kecilnya.
“Ini yang di cita-citakan aku sama ortuku dan nggak akan aku sia-siakan.”
Sejak Salwa pindah ke kota, Zen merasa harinya lebih hidup. Mereka sering main bareng — bukan yang aneh-aneh, hanya hal sederhana: bantu ngajar TPA, ngobrol di warung roti bakar, kadang duduk bareng di taman sambil bahas masa kecil mereka atau tentang mengajar di TPA.
Tapi semua berubah ketika Zaki mulai muncul lebih sering. Ia tahu Salwa di kota — dan dia tak tinggal diam.
“Kamu makin sering sama Zen ya?” tanya Zaki dengan nada datar suatu malam usai ngajar.
Salwa hanya tersenyum sopan. “Kita sahabat kecil, Zak.”
“Cuma sahabat?” Tatapan Zaki tajam.
“Iya” jawab Salwa singkat.
Dan malam itu, api cemburu mulai tumbuh di hati Zaki.
 Suatu sore, Zen dan Salwa mengajak anak-anak TPA main di taman belakang masjid setelah belajar. Mereka tertawa, bahkan Zen sempat jahilin Salwa pakai daun kering yang dijatuhin dari atas pohon.
“Kamu belum berubah ya,” kata Salwa sambil melempar tawa dan senyum.
“Tapi kamu udah berubah banget,” balas Zen. “Dan aku... seneng kamu di sini.”
Mereka tertawa. Tanpa sadar, tangan Zen menyentuh tangan Salwa saat mengambil gelas minum yang sama.
Dan di kejauhan… Zaki melihat semuanya.
 Malam itu, setelah shalat Isya, Zaki mendekati Zen di pelataran masjid. Udara dingin, tapi suasana panas.
“Gue nggak suka lo deket-deketin Salwa.!” Bentak Zaki.
Zen menatapnya tenang. “Kita cuma temenan.”
“Lo pikir gue bego? Gue liat lo pegang tangannya!”
“Itu nggak sengaja, Zak.” Zen mulai naik nada suaranya.
“Nggak ada yang kebetulan kalau lo emang niat!”
Orang-orang mulai menoleh.Salwa juga mendekat dengan cepat.
“Zaki, cukup!” Salwa berseru. “Kamu ngomong apa sih tadi.kalau kamu sayang aku, ya sudah, kamu nggak boleh maksa aku sayang kamu.”
Zaki terdiam. Matanya basah dan kessal.Ia menatap Salwa… lalu Zen. Lalu pergi begitu saja.
Malam itu, Zen duduk sendiri di taman kecil belakang rumah. Matanya menatap kosong. Salwa datang pelan, duduk di sampingnya.
“Maaf soal tadi,” kata Salwa.
“Harusnya aku jaga jarak. Biar nggak nyakitin siapa pun,” ucap Zen.
“Jangan salahin diri kamu.”
“Tapi aku juga bingung, Wa. Aku belum sepenuhnya selesai dengan masa lalu. Tapi... kamu datang, dan semua berubah.”
Salwa menarik napas dalam.
“Zen... aku juga nggak tahu ini apa. Tapi aku tahu satu hal: kamu bikin aku merasa nyaman. Dan aku butuh waktu.”
Zen menatapnya. Lama. Lalu mengangguk.
“Aku akan tunggu. Tapi bukan untuk memaksamu memilih. Aku tunggu... sampai hatimu yakin.”
Beberapa minggu berlalu.
Zaki pergi ke pesantren. Ia minta waktu untuk menyembuhkan dirinya sendiri. Salwa tetap mengajar. Zen juga ikut kegiatan masjid dan perlahan memperbaiki hubungannya dengan orang tua.
Hubungan mereka tidak diumumkan. Tidak diumbar. Tapi ada yang berubah.
Saat pulang dari masjid suatu malam, Zen dan Salwa jalan berdua menyusuri jalan kecil. Tak banyak kata, hanya langkah yang selaras.
“Zen,” kata Salwa pelan. “Aku udah tau jawabannya.”
Zen menoleh. “Jawaban dari apa?”
Salwa menatapnya dalam.
“Soal perasaan itu. Dan... iya.”
Zen diam. Hanya tersenyum. Perlahan, ia menggenggam tangan Salwa — kali ini tidak kebetulan, tidak ragu.
 
Tak semua cinta dimulai dengan kata "aku cinta kamu".
Ada yang dimulai dengan "aku doain kamu selalu dalam kebaikan."
Zen dan Salwa bukan kisah sempurna. Tapi mereka saling tumbuh, saling mendewasakan, dan saling tahu: cinta yang dewasa, kadang datang dari luka yang sabar ditenangkan.
Dan mereka berdua tahu, cinta itu akhirnya... pulang ke tempat yang benar.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun