Mohon tunggu...
fatma ariyanti
fatma ariyanti Mohon Tunggu... Citizen

Point of view orang ke-3

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Patriarki dan Polemik Perempuan Tidak Bisa Memasak

9 Januari 2022   13:08 Diperbarui: 9 Januari 2022   13:23 1799
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Perempuan kok gak bisa masak!
Perempuan kalau gak bisa masak, gak berguna!
Jangan menikahi perempuan yang gak bisa masak, bikin beban aja!
Bagi perempuan yang mendengar ini mungkin akan merasa sakit hati tapi mereka tak bisa membalas, jika kenyataan itu memang benar.
Sejak kapan polemik ini muncul ke permukaan. Saya tidak memiliki gagasan mengenai ini, hanya saja, saya menebak bahwa pembicaraan ini dibahas sejak era teknologi berkembang. Kita tahu, sejak zaman nenek moyang dan abad abad sebelumnya, terutama di Indonesia, perempuan selalu ditonjolkan dalam bentuk keanggunan, keindahan, serta kemahiran dalam urusan rumah. Ya memang benar, bahwa seyogyanya perempuan memang seperti itu. Namun sejak era teknologi masuk, perbedaan dan sekat antara laki laki dan perempuan perlahan berkurang. Perempuan yang dahulunya diatur hidupnya, dikendalikan keberadaannya, bahkan diberi perintah yang di embeli embeli 'tugas perempuan' salah satunya adalah memasak. Patriarki seolah dipaksa digusur oleh teknologi. Perempuan kini tak hanya berdiam di dalam rumah, bahkan istilah wanita karir makin marak. Kesempatan terbuka lebar mulai dari pekerjaan, menyuarakan pendapat dan pengakuan.
Feminisme, emansipasi wanita, kesetaraan gender dan berbagai macam hal yang berbau perempuan mulai bermunculan entah dalam bentuk negatif maupun positif. Kalau pada zaman dahulu patriarki di agungkan, maka zaman sekarang lebih kepada kesetaraan gender. Kesetaraan gender sendiri terkadang, terkadang ya memiliki sifat pro kontra, dimana sebagian orang pro perempuan dan dipahami sebagai sepenuhnya era baru bagi perempuan. Atau ada yang menganggap bahwa kesetaraan gender ini tidak mengubah banyak hal dalam beberapa bidang dan aspek penting lainnya. Ketika perempuan hanya digunakan dalam konteks kebutuhan laki laki memang seharusnya ada yang namanya kesetaraan gender, bukan menyandingkan derajat perempuan sama dengan laki laki, namun lebih ke pemahaman kemanusiaan. Laki laki dan perempuan sama-sama manusia yang memiliki kebebasan dalam menentukan langkah kehidupannya, pilihannya dan bahkan masa depannya. Entah dalam pekerjaan, cita-cita dan lainnya. Keduanya harusnya memiliki kesempatan yang sama, meskipun dalam islam derajat laki laki lebih tinggi, tapi bukan berarti perempuan tidak boleh mendapat kesempatan yang sama seperti laki laki
Menurut saya, mengapa kesetaraan gender memiliki kaitannya dengan topik kali ini, yaitu polemik perempuan yang tak bisa memasak. Sebenarnya untuk ini kita perlu melihat lebih dalam lagi, kalimat 'perempuan bisa memasak' ini dilihat dari kebutuhan manusia sendiri. Saya memiliki pengalaman dahulu saat masih sekolah menengah, ada teman saya yang pandai memasak, dan ada yang belum bisa memasak. Mereka yang bisa memasak, dibesarkan orang tua mereka yang memang sudah pandai memasak dan tentu saja mengajarinya atau anak tersebut belajar sendiri karena sering melihat ibunya memasak di dapur. Atau mungkin ya beberapa alasan kuat lainnya yang kuat, seperti merasa bahwa makanan enak memiliki definisi penting, dan bagi yang tidak memasak bukan berarti mereka tidak menganggapnya penting melainkan juga beberapa alasan yang membuatnya tidak bisa menguasainya (memasak) dengan mudah. Sama halnya ketika laki laki belajar sesuatu namun tidak mudah untuk menerapkannya. Ini wajar bagi saya, setiap orang toh memiliki step yang berbeda termasuk dalam hal memasak bagi perempuan.
Saya ingin membagi opini saya mengenai peran wanita yang bisa memasak dan tidak bisa memasak dalam hubungan yang lebih dalam, yakni keluarga dan rumah tangga.
Saya belajar dari mereka bahwa keberlangsungan rumah tangga yang harmonis kemungkinan besar, ini kemungkinan besar menurut pandangan saya ya, yaitu salah satunya karena kepuasan lidah dalam keluarga tersebut. Karena kita tahu sendiri, ada 3 materi terbesar dalam menciptakan sebuah keluarga selain ikatan emosional (cinta kasih sayang dsb) yaitu sandang, pangan, dan papan. Kebutuhan berpakaian, kebutuhan makanan dan kebutuhan tempat tinggal. 3 ini jika dipenuhi dengan baik, betapa luar biasanya kehidupan keluarga ditambah satu komponen yaitu ikatan emosional, saya jamin bahwa rumah tangga tersebut akan harmonis. Jadi mengapa perempuan tidak bisa memasak menjadi polemik? Karena setiap orang memiliki keyakinan bahwa kepuasan lidah yang masuk dalam kebutuhan tadi menjadi syarat bahwa keluarga tersebut akan menjadi harmonis. Bayangkan saja ada seorang ibu yang tak bisa memasak, dan memiliki 3 anak lelaki dan seorang ayah. Hanya ada 1  perempuan dalam keluarga tersebut. Namun ibu tersebut tidak tahu bagaimana cara memasak beras menjadi nasi, atau menggoreng ikan atau membuat sup. Jika anak-anak dan suaminya menerima apa adanya ibu dan istri yang tak bisa memasak maka itu tidak masalah. Hanya saja yang selanjutnya akan terjadi adalah, mungkin anggota keluarga akan sering makan di luar dan komunikasi menjadi berkurang, sehari makan 3 kali, awalnya hanya sarapan yang makan di luar, kemudian menjadi makan siang hingga makan mala. Alhasil seterusnya tidak akan ada waktu berkumpul ketika makan bersama dan komunikasi di dalam rumah tersebut berkurang. Padahal makan bersama dengan keluarga di tempat yang nyaman dan makanan yang layak dan enak, menjadi pengantar pada keberlangsungan komunikasi yang baik dan membuat keluarga semakin harmonis. Jadi mulai sekarang, jangan memaki perempuan yang tidak memasak, wahai laki-laki, tapi bimbing dia dan semangati dia untuk terus belajar. Bukannya mencibir. Toh jika itu pacar mu suatu saat kalian pasti akan menikah kan? Jadi jika pacarmu atau isterimu belajar memasak, pujilah dia, pujilah semangatnya dan berikan tanggapan mengenai masakannya kira kira yang kurang apa. Karena kalau bukan para laki laki yang memahami siapa lagi? Toh ibu sang laki laki aka mertua juga tidak mungkin menyemangatinya kan? Nah ini apalagi, masalah lagi kan. Sebenarnya juga bukan hanya perempuan yang terdapat banyak polemik semacam ini, entah di tempat kalian bagaimana namun di tempat saya polemik pria yang tak becus memasang lampu juga kadang dicibir, tak bisa memasang gas, tak bisa memperbaiki keran yang rusak juga digunjing. Saya ingin berbagi pengalaman, bahwa ayah maupun ibu saya dua-duanya bisa memasang lampu. Dan ibu saya tidak keberatan untuk memasang lampu jika tidak ada ayah saya di rumah. Ayah saya juga pernah beberapa kali mencuci piring, jika ibu saya sakit, dan itu benar benar tidak ada masalah. Jadi sebenarnya apa yang perlu dicibir. Selain belajar di sekolah dan lingkungan, menurut saya rumah tangga juga termasuk dalam pembelajaran dalam hidup. Sang ibu tidak akan menjadi ibu jika tak memiliki anak, jadi mungkin sang ibu jika memiliki bayi untuk pertama kalinya, mereka akan bingung, karena apa? Ya karena ini pengalaman pertama bagi mereka ntuk pertama kalinya dalam hidup. Begitu juga dengan ayah, menjadi imam, menjadi pemimpin dan mengayomi, para ayah juga berbuat salah, karena apa? Ya karena ini pertama kali buat mereka untuk menjadi seorang ayah. Bagaimana mereka menjadi orang tua baik versi mereka, mereka sedang berusaha, berusaha membuat masakan yang enak, berusaha memasang lampu dengan benar, memasang gas dengan benar, berusaha mencuci dengan benar dan berusaha berusaha yang lain agar keberlangsungan rumah tangga tetap berjalan seimbang.
Jadi jika kamu memang mencintai pasanganmu entah dia tidak bisa memasak, tidak bisa memasang lampu, maka yang harus kalian lakukan bukan lah mencibir, tapi menyemangati mereka untuk belajar, meminta mereka untuk belajar demi diri mereka sendiri. Namun jika belajar masih dicibir, bahkan dimaki dan dibenci, maka saran saya tinggalkan saja pasanganmu itu (jika belum menikah) buat apa kamu hidup dengan orang yang tidak bisa menerima kekuaranganmu, bukannya menyemangati di kala dibutuhkan malah semakin membuat mental break down. Memiliki pasangan tujuannya adalah agar lebih bahagia, bukannya lebih menderita.
Para lelaki yang menyemangati pasangan mereka untuk belajar memasak, dan para wanita yang menyemangati pasangan mereka agar belajar memasang lampu. Apa salahnya dengan belajar? Jika pun masakannya masih tak enak, toh kalian masih bisa makan. Ada jutaan gelandangan di luar sana tak bisa makan, tak bisa hidup dengan 3 kebutuhan yang layak tadi (sandang, pangan dan papan). para suami pulang kerja, ada yang masakin di rumah, menurut saya itu sudah lebih dari cukup. Jadi hai para laki-laki, cukup semangati isterimu dan pasangan kalian belajar memasak, sesungguhnya semangat kecil itu cukup membuat mereka diterima meskipun setidaknya hanya oleh suami mereka (belum lagi mertua).
Apalagi tipe orang yang selalu mengagungkan patriarki. Bahwa laki-laki nomor satu, dituruti, dilayani, tidak pernah salah dan lain lain. Budaya patriarki masih dipakai di berbagai wilayah Indonesia. Perempuan hanya menjadi pendamping, pelengkap dan tak memiliki hak yang seharusnya. Kamu mungkin juga pernah melihat atau mendengar atau mungkin mengalaminya sendiri kalimat semacam ini.
"Perempuan itu tugasnya masak, tugasnya di dapur. Ngapain bicara soal mimpi dan cita-cita segala?"
Saya benar-benar muak ketika mendengar ini meskipun hanya di film.
Di era sekarang, banyak perempuan yang bekerja, menghidupi diri mereka sendiri, membahagiakan diri sendiri, namun dicibir seolah olah melakukan dosa karena dianggap melawan kodratnya. Pekerjaan rumah tangga dianggap sebagai KODRAT. Apa ini masuk akal? Apa perempuan terlahir pandai memasak saat masih menjadi zigot? Sepertinya anda yang mengangungkan patriarki sedang melawak. Jika ini era kuno, mungkin dianggap aib. Tapi tidak dengan era teknologi sekarang. Bagi yang masih muda namun masih berpikir begitu saya tidak segan mengatainya orang kolot, jadul, cupu. Ya masa sudah zaman teknologi, era digital 4,0 masih terkurung dengan doktrin semacam itu? Sayang sekali.
Yang menjadi poin penting mengenai masalah patriarki dan polemik tidak bisa memasak ini adalah menerima kekurangan, menerima perbedaan dan menyeimbangkannya. Ibu saya pernah membuat dua sop dimana yang satu pedas dan satu tidak pedas. Karena saya dan ayah tak menyukai pedas sedang ibu dan kakak menyukai pedas sedang adik saya doyan semuanya, ya literally semuanya, mungkin batu dia makan (jokes). Ibu saya tak keberatan membuat dua sop dan menghargai selera masing masing. Ibu saya juga sering menggoreng ikan lele padahal beliau tak menyukainya, dan ibu saya lebih dulu bisa memasang gas dibanding ayah. Ayah saya bisa membuat nasi goreng yang sangat enak seenak ibu saya. Ibu saya bisa memasang lampu dengan baik sebaik ayah saya memasangnya. Jadi memang sudah seharusnya, suami istri bukannya membagi tugas namun belajar mengerjakan banyak tugas tak peduli itu dilabeli tugas perempuan atau tugas laki laki. Siapa yang sih yang dengan seenaknya melabeli pekerjaan pekerjaan itu. Ini itu sama hal nya dengan pekerjaan polisi dimana yang membutuhkan ketangkasan, tapi di dalamnya ada polemik prokontra tentang adanya polwan, atau semua halnya dengan memasak yang katanya tugas perempuan tapi banyak laki-laki yang jadi chef. Apa masalahnya. Masalah terbesarnya adalah kurangnya pemahaman mengenai definisi rumah tangga dan definisi berumah tangga.  Jika seseorang laki-laki ingin cerai atau putus karena pasangannya tak bisa masak, ya sudah ceraikan saja. PASANGANMU SAJA TAK MENDUKUNGMU APALAGI MERTUANYA. Apa sih tujuan kita, aku, kamu mencari pasangan? Jika mencari yang pintar masak ya sewa saja chef profesional, jika cari yang pintar pasang keran, ya sewa saja tukang leding. Begitu aja kok susah, ngapain nikah?
Hanya saja polemik perempuan ini memang sudah menjadi wacana umum. Zaman sekarang sudah banyak yang berpikiran lebih terbuka meskipun masih ada yang tidak bisa menerimanya. Tapi mengapa ya banyak perempuan yang tak bisa masak di zaman teknologi ini? Berbeda dengan zamannya ibu kita? Menurut kamu apa alasannya? Silakan share pemikiranmu di kolom komentar.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun