Di tengah maraknya isu krisis lingkungan dan eksploitasi sumber daya alam, sastra muncul sebagai suara sunyi yang penuh makna. Cerpen "Hiu Berjalan di Teluk Ama" bukan hanya kisah tentang laut yang rusak dan tambang yang rakus, melainkan juga renungan spiritual yang dalam tentang hubungan manusia dengan alam. Melalui pendekatan hermeneutika, kita bisa memahami karya ini lebih dari sekadar cerita fiksi tetapi sebagai teks simbolik yang menuntut penafsiran makna.
Teori hermeneutika merupakan teori yang berfokus pada seni dan interpretasi, terutama dalam memahami teks dan makna terhadap simbol-simbol baik yang kebahasaan maupun yang non-kebahasaan. Hermeneutika berasal dari bahasa Yunani, yakni kata hermeneuo yang berarti menafsirkan, menerangkan, menjelaskan (Hermeneutika Dasar, 2023:27). Dalam karya sastra, hermeneutika membantu pembaca menggali lapisan makna simbolik dan emosional, yang tersembunyi di balik kata-kata.
Makna Simbolik Laut dalam Cerita
Cerpen ini dibuka dengan suasana magis:
"Malam itu, laut surut lebih jauh dari biasa. Langit pucat, keriput seperti kulit ikan dijemur tujuh hari..."
Laut dalam cerpen ini bukan hanya tempat, melainkan makhluk hidup yang punya ingatan dan pesan. Nene Loha, tokoh penjaga adat, berkata:
"Agar laut tetap ingat kita, dan kita tak lupa pada laut."
Dalam perspektif hermeneutika, laut adalah simbol relasi spiritual antara manusia dan alam. Ketika hubungan itu dilanggar---oleh tambang, oleh janji palsu pembangunan---laut menjadi saksi penderitaan dan amarah.
Ari Lamo: Anak Laut yang Membawa Luka dan Harapan
Ari Lamo adalah tokoh sentral yang hidup dalam dua dunia: antara warisan leluhurnya dan realitas industri yang menghancurkan. Ia tak berteriak, tak melawan dengan senjata, tapi:
"Ia memungut karang mati, menyusun rumput laut kering, dan menghitung ikan-ikan yang mati dalam sebuah buku kecil yang tidak pernah ia tunjukkan pada siapa pun."
Tindakan Ari adalah bentuk resistensi simbolik. Ia menyusun kembali cerita tentang kerusakan melalui benda-benda yang ditinggalkan alam.
Perlawanan Sunyi dan Ritual Pengorbanan
Puncak cerita hadir saat Ari Lamo naik ke bukit dan melakukan semacam ritual:
"Ia menanam dayung ayahnya dan sehelai kain warisan ibunya... Darah meresap ke tanah."
Dalam tradisi hermeneutik, tindakan seperti ini bisa dibaca sebagai ritual pemurnian mengikat ulang hubungan antara manusia, leluhur, dan bumi. Simbol darah bukan kekerasan semata, melainkan bentuk ikrar dan pengorbanan spiritual.
Hiu Berjalan sebagai Simbol Pemulihan
Pada akhir cerita, muncul makhluk yang disebut "hiu berjalan". Ini bukan sekadar hewan, melainkan penjelmaan nilai-nilai yang telah hilang.
"Di mana mereka lewat, lamun-lamun tumbuh. Di mana mereka berputar, karang-karang beranak pinak."
Dalam hermeneutika, simbol ini bisa dibaca sebagai harapan ekologis dan spiritual. Bahwa meski manusia merusak, alam tak sepenuhnya mati. Ia hanya menunggu manusia untuk kembali mendengar.
Cerpen "Hiu Berjalan di Teluk Ama" adalah panggilan untuk kembali mengingat. Bukan hanya tentang laut, tapi tentang diri kita yang tercerabut dari akar spiritual dan ekologis. Dengan membaca cerpen ini dengan menggunakan pendekatan hermeneutik, kita tak hanya memahami cerita, tapi juga diajak berdialog dengan nilai-nilai dalamnya.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI