Mohon tunggu...
Fatimah Purwoko
Fatimah Purwoko Mohon Tunggu... Freelancer - Perempuan biasa

jika memang ingin sedikit saja merasakan bagaimana menjadi Tuhan, berkaryalah.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Menyusur Budaya dan Sejarah Keraton Yogyakarta

8 Agustus 2022   01:18 Diperbarui: 8 Agustus 2022   01:27 930
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Abdi dalem duduk di pelataran halaman Keraton Yogyakarta. 

Keraton Yogyakarta merupakan salah satu bangunan cagar budaya yang wajib dikunjungi saat bertandang ke Kota Gudeg. Lantaran lokasi ini menyimpan banyak kisah sejarah. Memiliki luas sekitar 13 hektare, keraton yang berdiri pada 1755 ini juga merupakan pusat kebudayaan di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY).

Kekayaan yang tersimpan di Keraton Yogyakarta tidak akan kunjung habis untuk diceritakan. Kunjungan sudah yang kesekian kali pun, tetap memberi kejutan. Lantaran tiap sudut keraton yang menyimpan pengkisahan. Mulai dari sesaji berbentuk gunung-gunung kecil yang selalu diganti setiap hari, sampai beberapa narasi sejarah yang belum umum diketahui oleh masyarakat luas.

Sesaji di dekat patung penjaga Regol Donopratopo
Sesaji di dekat patung penjaga Regol Donopratopo

Masuk dari muka pintu utama, Batara Kala siap menyambut pengunjung. Sebuah perlambang tentang ikatan waktu. Tinggal menunggu seseorang akan mendapat balas atas perbuatan yang telah dilakukannya sebagai karma.

Batara Kala
Batara Kala

Menyusur area dalam, bangunan pertama yang dijumpa adalah Bangsal Sri Manganti. Lokasi ini jadi tempat gelar pertunjukkan seni budaya gaya Yogyakarta. Semisal tari, wayang kulit, wayang wong, macapat, atau lainnya.

Melalui Regol Donopratopo, pengunjung diajak masuk ke dalam kompleks kedaton. Sejak memasuki pelataran, pengunjung tidak diperkenankan menggunakan topi. Lantaran tempat ini merupakan rumah tinggal Raja Keraton Yogyakarta Sri Sultan Hamengku Buwono X.

Regol Pratopo
Regol Pratopo

Pengunjung tidak diperkenankan mendekati bangunan dengan warna dominan putih dan emas pada sisi barat. Bangunan itu disebut Gedhong Jene atau Gedung Kuning. Umumnya, hanya tamu kenegaraan yang diterima di Gedhong Jene. Contohnya menteri, delegasi suatu negara, atau petinggi kerajaan dari berbagai penjuru dunia.

Tepat di hadapan Gedhong Jene, ada Bangsal Mandalasana. Lokasi ini merupakan tempat pertunjukkan musik. Hiasan kaca patrinya pun berlukis ragam instrumen musik. Khusus untuk menyambut tamu agung, keraton akan menyuguhkan Gamelan Kyai Guntur Laut yang sudah berusia 700 tahun. Konon, gamelan itu sudah ada sejak zaman Majapahit.

Bangsal Mandalasana 
Bangsal Mandalasana 

Sampai pada halaman tengah, ada pelataran yang disekat oleh pembatas. Lokasi itu ternyata merupakan tempat berlangsungnya sebuah peristiwa mencekam yang disebut Geger Sepehi. Berlangsung pada 19-20 Juni 1812, tentara Inggris masuk kompleks untuk menguasai Keraton Yogyakarta. Setelah raja yang saat itu bertahta, Hamengku Buwono II, menolak kerja sama. Penyerbuan ini melibatkan 1.200 prajurit Inggris dan Spoy yang dibantu oleh 800 prajurit Mangkunegaran.

Tentara Inggris kemudian mengumpulkan para abdi dalem di halaman tengah. Lantas terjadilah peristiwa pembantaian. Diceritakan Bu Nur, salah seorang tour guide Museum Keraton, masih banyak yang mendengar raungan pedih dari peristiwa Geger Sepehi. Bahkan yang memiliki kemampuan khusus sebagai indigo, juga dapat melihat ratapan para abdi dalem. Guna menghormati itu, Keraton Yogyakarta kini memberikan sekat pada lokasi.

dok. Fatimah Purwoko 
dok. Fatimah Purwoko 
 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun