Gerimis sore mewarnai  halte tempat Tini duduk melepas penat. Ia pandangi sepatu kesayangannya yang sedikit basah.  Jam tangannya menunjuk angka 16.42. Beberapa kali ia menoleh ke arah barat di jalan Panglima Sudirman ini. Ia menanti tumpangan  dari temanÂ
Biasanya Tini menyempatkan pandangi bunga- bunga di trotoar sambil sesekali tangannya memunguti daun dan bunga kering di sela- sela taman trotoar.Â
Ah, dasar Tini, ia suka usil meremas bunga kering itu dengan jari-jari lentiknya. Kemudian ia akan tersenyum senang karena dari remasan itu keluar bibit bunga. Hem, sudah pasti butiran bibit bunga kecil itu segera berpindah ke saku tas ransel di punggungnya.Â
Takberapa lama Mitsubishi moca sudah berhenti di depannya. Sepotong wajah tampan dengan senyum merekah membuka jendela,
"Hai cewek, maafin agak lama ya nunggunya?" Sapanya.
"Ah, nggak kok Mas seperti biasa." Jawab TiniÂ
"Benarkah, tahu gini aku akan ngopi dulu deh biar lebih lama," goda Mas Tirtasani
"Waduh, jangan dong Mas, apa nggak kasihan membiarkan bidadari kecil kehujanan?" Â timpal Tini
"Haha... bidadari ya,... Coba aku lihat," sambil membuka kaca mata, " Wah, bener bidadari manis yang temani aku nih, kenapa baru nyadar ya?" goda Tirtasani
"Weleh,malah ngledek lho Mas Tirta ini!"
jawab Tini agak malu.