Mohon tunggu...
Fatmi Sunarya
Fatmi Sunarya Mohon Tunggu... Penulis - Bukan Pujangga

Penulis Sederhana - Best in Fiction Kompasiana Award 2022- Kompasianer Teraktif 2020/2021/2022 - ^Puisi adalah suara sekaligus kaki bagi hati^

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Almira dan Cintanya yang Hilang

7 Januari 2021   15:11 Diperbarui: 7 Januari 2021   17:49 361
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi https://i.pinimg.com/originals/e0/d8/bd/e0d8bd83dc844cda388ef2941fd0ea87.jpg

Maret 1995,
Almira duduk manis, rambutnya dikepang dua. Ayah, ibu, kakak dan adiknya duduk mendampinginya. Almira, sedang menunggu sang kekasih yang akan tiba dari negeri seberang. Wajah polosnya berbunga-bunga, sekali-kali pipi berubah menjadi rona merah jambu kala digoda.

Iya, kekasihnya berjanji akan datang hari ini. Cinta pertama baginya. Setahun ini mereka hanya saling berkirim surat. Belum pernah sekalipun bersua. Setumpuk surat sepertinya sudah cukup mengenali satu sama lainnya. Mereka hanya sesekali saling menelepon, alat komunikasi saat itu masih sulit.

Almira menutup semua jendela, pun pintu hati pada para pria yang jatuh hati padanya. "Aku sudah punya kekasih," Almira berkata sumringah. Siapa sebenarnya kekasih Almira? Seorang abdi negara, bertugas di pelosok negeri. "Abang hanya bergaji kecil,"Dia berkata pada Almira. Almira adalah gadis sederhana, tak mempermasalahkan hal-hal yang bernama materi. Selembar mukena hadiah ulang tahun dari sang kekasih sudah sangat berarti.


Kekasih Almira akhirnya datang. Lelaki baik hati nan sederhana. Bapak sangat menyukainya dan langsung menanyakan kapan bisa menikahi Almira. Sang kekasih menyanggupi tahun depan. Almira, berseri penuh cinta.

Sang kekasih sudah pulang dan surat-surat mulai menumpuk rindu. Hingga tiba-tiba surat-surat itu tak berbalas lagi. Almira resah, namun tetap berkirim surat. Satu tahun, dua tahun sampai tahun ketiga, surat tetap tak dibalas. Rindu mungkin bergunung-gunung, tetes air matanya mengalir deras pada saat sebuah nama terkenang.

Maret 1999
Almira patah hati. Disimpannya patahan itu dalam malam senyap. Berbincang dalam sunyi pada dinding-dinding kerinduan, pada harapan yang terbang entah kemana. Gaun pengantin warna putihnya berubah warna, kusam berdebu. "Cukup sudah dirimu menanti," ultimatum Bapak. 

Menikahkah Almira? Ternyata Almira tetap teguh pada kata setia walau banyak pria sudah disodorkan padanya. Almira menolak. Semua kewalahan dengan sikap keras kepalanya dan pasrah menerima Almira tetap sendiri.

Maret 2014
Almira menerima permintaan pertemanan dari seorang yang namanya tak pernah dilupakannya. Engkaukah itu? Dia, yang bernama kekasih itu begitu girang dan meneleponnya seharian. Almira hanya berbicara datar, tanpa ada rasa cinta, tanpa nada rindu. Kau hanya kekasihku yang hilang. Jika pun kau kembali, kau bukan kekasihku lagi. Aku memaafkanmu.

Almira tetap sendiri. membenamkan diri dengan kekasih-kekasih kecilnya di sebuah panti. "Tak ada cinta yang hebat selain mencintai mereka," ujarnya. Cinta bukan hanya kepada lawan jenis, cinta bisa untuk sesama. Kekasihku yang hilang tak akan kembali, kecuali takdir dari Tuhan, tapi bukan aku yang menginginkannya. Almira memaafkan, menurutnya kekasihnya tidak diberikan Tuhan padanya.

Kadang-kadang di saat malam, Almira bermimpi dan turun dari tempat tidurnya. Mengenakan gaun pengantinnya yang kusam bergandengan dengan kekasihnya yang hilang. Hanya mimpi, benar-benar hanya mimpi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun