Mohon tunggu...
Fasih Radiana
Fasih Radiana Mohon Tunggu... -

Kalimatku sederhana, hanya ingin berbagi cinta lewat sederet kata.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Gagal Lolos SNMPTN? Gagal Lagi di SBMPTN? Masih Juga Belum Berhasil? Ini Tipsnya!

29 Juli 2013   02:32 Diperbarui: 8 Februari 2016   17:20 390
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Tiba saat pengumuman. Saya betul-betul berharap kali ini Allah mengijabah doa saya. Saya masih ingat, saya membuka pengumuman saat sedang reuni dengan teman-teman SMP saya. Lalu hasilnya, "Anda tidak diterima." Ah, saya lupa bagaimana tulisannya. Yang jelas intinya saya ditolak kembali. Lalu giliran teman saya yang membukanya. Yaps! Teman saya diterima. Lalu apa katanya? "Yah, kok di pilihan kedua? Tapi kok bisa keterima ya? Padahal aku sama sekali nggak belajar, hehehe." Betapa sakitnya hati saya. Saya kembali bertanya-tanya pada Allah. Ada apa ini? Mengapa bisa begitu? Lalu banyak SMS masuk ke ponsel saya menanyakan hasil ujian itu. Saya hanya bisa minta maaf dalam hati pada orang tua saya. Bahwa saya belum berhasil. Orang tua saya hanya memberi semangat dan memotivasi saya, mungkin jalan saya bukan lewat SBMPTN. Iya, saya begitu hafal teorinya. Bahkan saya masih bisa tersenyum saat kegagalan kedua ada dalam genggaman saya.

Saya menangis....

Sesampainya di rumah, saya merebahkan tubuh. Masih dengan pertanyaan yang sama, apa penyebab saya gagal? Tiga hari saya merenung, mengasingkan diri. Saya bahkan menangis tersedu-sedu. Bukan karena kegagalan itu sendiri, tapi apa penyebab dari kegagalan itu. Lalu Ayah saya menelepon, "Sudah mengaji, Nak?" Belum, jawab saya. "Loh, sudah hari kedua puasa, masak belum tadarus sama sekali?" Tiba-tiba seperti ada yang menelusup dalam rongga dada saya, apa mungkin saya lupa hakikat kehidupan? Apa mungkin saya terlalu ke-duniawi-an?

Tuhan memberi jawaban....

Setelah saya runut kembali ... iya, saya memang kecewa. Bagaimana tidak? Saya bahkan menyiapkan amunisi lebih dulu dibanding yang lain. Saya ikhtiar lebih dulu dari mereka. Saya berdoa lebih sering dari mereka. Lalu di mana letak keadilannya? Saya tidak marah. Saya hanya bertanya pada diri saya, di mana letak kesalahannya. Ternyata ada yang bergeser. Niat saya beribadah pada Allah ... yang semula niat itu baik menjadi suatu yang salah karena saya menghentikan beberapa di antaranya hanya karena takut diuji. Betapa bodohnya saya. Tapi Allah membuka jalan, membersihkan pikiran, dan menjernihkan hati saya. Saya mulai bangkit dalam segala hal. Termasuk menaikkan kembali iman saya yang sudah berada di ujung tanduk. Seketika Allah seperti membuka lebar-lebar mata saya. Masih ada pintu lain, masih ada jalan lain. Saat itu masih ada Ujian Mandiri UGM, Seleksi Mandiri UNY, dan seleksi lainnya di universitas lain. Saya juga mulia memikirkan untuk mengambil cadangan universitas swasta yang tadinya saya enggan meliriknya sedikit pun karena biaya yang terbilang mahal.

Tuhan memberi saya ketenangan, lalu jalan terbuka begitu lebar di hadapan saya....

Entah mengapa, saya melewatkan UM UGM, saya tidak lagi menginginkan universitas itu. Saya melirik universitas sebelah. Universitas Negeri Yogyakarta. Saya berencana mengikuti seleksi mandiri yang diadakan pada tanggal 21 Juli 2013. Waktu itu, saya sudah mendiskusikan juga soal universitas swasta. Saya memilih Universitas Islam Indonesia prodi manajemen. Atau Universitas Muhammadiyah Yogyakarta dengan prodi yang sama. Tapi saya juga mencari celah lain, ada Universitas Brawijaya, dan universitas Padjajaran. Semua kandas karena Ibu tidak mengizinkan saya kuliah di luar kota. Itu artinya saya hanya punya satu jalan untuk universitas negeri kan? Tapi lagi-lagi, tiba-tiba Allah memberi saya jalan. Universitas Islam Negeri adalah salah satu universitas yang (tidak akan) saya lirik, sedikit pun. Tapi ada yang menggugah perasaan saya. Saya seperti hilang ingatan. Bukankah saya pernah bercita-cita menjadi guru agama? Lalu kalau bukan di UIN, di mana lagi tempatnya? Saya mulai mencari informasi. Ternyata masih dibuka jalur reguler. Tapi Allah belum selesai sampai di situ. Allah menyadarkan saya banyak hal. Salah satunya soal tujuan saya. Mengapa setiap universitas berbeda program studi yang saya pilih?

Tuhan memberi ketetapan hati....

Saya sudah membayar Seleksi Mandiri UNY dengan prodi Pendidikan Bahasa Indonesia dan Sastra Indonesia. Saya juga sudah menetapkan pilihan untuk mengambil program studi Pendidikan Agama Islam di UIN. Bukan hanya itu, saya mendapat solusi lebih hebat. Saya mengambil cadangan swasta Pendidikan Agama Islam juga. Apanya yang hebat? Saya sadar betul, bahwa pilihan prodi yang sebelumnya yaitu manajemen adalah pilihan yang bukan dari hati saya. Itu hanya pilihan buangan agar saya tidak jadi pengangguran (yang penting kuliah). Selain pendidikan agama islam adalah salah satu passion saya, biayanya pun lebih murah, dan peminat lebih sedikit. Saya begitu tenang. Saya masih punya kesempatan. Sekarang, saya punya tiga jalan yang entah yang mana jalan terbaik untuk saya. UNY, UIN, atau UII.

Lagi-lagi, Saya dilema!

Belum selesai sampai di situ. Ayah saya tiba-tiba mengajak saya berdiskusi soal banyak hal. Dan menemui konklusi yang belum bisa menjadi kesimpulan. Saya malah dibuat bingung. Saya sudah mendaftar UNY sastra dan bahasa indonesia kan? Tapi ayah mengingatkan saya prodi yang satu ini. Teknik Kecantikan dan Tata Rias. Saya memang sempat ingin (banget sih) masuk di dunia seni, khususnya tata rias. Tapi saya tidak memprioritaskan prodi itu karena di UNY, prodi tata rias hanya sebatas Diploma 3. Tapi satu pernyataan ayah saya yang membuat saya memikirkannya kembali, "Yang penting skill-mu, keahlianmu. Kalau kamu udah ahli, banyak orang mencari kamu. Banyak di luar sana sarjana pengangguran." Saya tidak menelan pernyataan itu mentah-mentah. Walaupun ayah saya tidak memaksa saya untuk memilih prodi yang mana, saya tentu saja tetap dilanda dilema luar biasa. Sastra dan kecantikan adalah dua hal yang seimbang. Seandainya saya bisa memilih keduanya. Tapi ternyata hidup hanya mengizinkan saya memilih salah satunya. Karena ujian S1 bersamaan dengan D3. Otomatis saya harus memilih. S1 - sastra indonesia atau D3 - tata rias. Saya mencoba solat istikhoroh. Tidak hanya itu, saya mencari pendapat kesana-kemari. Tapi hasil yang saya dapatkan semua orang memilih satu prodi yang sama. S1 - Sastra Indonesia. Pertama, karena saya memang sudah berkecimpung dalam dunia tulis-menulis. Kedua, Sastra Indonesia adalah S1.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun