Mohon tunggu...
KOMENTAR
Humaniora

Gagal Lolos SNMPTN? Gagal Lagi di SBMPTN? Masih Juga Belum Berhasil? Ini Tipsnya!

29 Juli 2013   02:32 Diperbarui: 8 Februari 2016   17:20 390 3
From @fasihrdn

Attention! Jangan merasa lelah untuk membaca postingan saya ini. Sebab terkadang, jalan kita memang butuh dengan proses yang begitu panjang.

Sebelumnya saya memang sudah sejak beberapa minggu lalu ingin menulis tentang ini, mungkin lebih tepatnya berbagi cerita soal ini. Bagi yang baru saja lulus jenjang Sekolah Menengah Akhir dan yang sederajat, pastilah pernah merasakan betapa perjuangan sekali untuk melanjutkan pendidikan di perguruan tinggi.

Saya mulai dari diri saya sendiri. Sejak duduk di bangku kelas XI, saya sudah mencuri start untuk mencari informasi kesana-kemari soal perguruan tinggi. Kalau pada tahun 2012 disebut dengan SNMPTN Undangan, kalau tahun 2013 namanya berubah menjadi SNMPTN. Apa itu SNMPTN? Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri adalah salah satu cara untuk mendapatkan pendidikan lanjut di perguruan tinggi. Caranya? Melalui seleksi rapor dari semester satu sampai lima. Kalau pada tahun 2012, yang boleh mengikuti SNMPTN hanya mereka yang minimal ranking 10 besar, berbeda dengan tahun 2013 yang semua berhak memasukkan rapor mereka untuk diseleksi. Pada waktu itu, saya sudah giat mencari tahu lewat kakak angkatan. Sebelum murid-murid lain sempat memikirkan itu, saya sudah cari tahu caranya. Itu sebab mengapa saya menargetkan rapor saya dengan rata-rata setiap semester naik dan minimal ranking lima besar.

Ketika Tuhan berkehendak lain....

Target terpenuhi. Saya bisa mencapai rata-rata yang selalu meningkat dengan ranking yang stabil. Tapi ternyata di tahun 2013 semua bisa mengikuti SNMPTN ... saya tidak begitu mempersoalkan itu. Karena saya merasa nilai-nilai di rapor saya lebih baik. Otomatis saya lebih berpeluang besar untuk lolos seleksi. Ditambah lagi, saya memilih program studi yang memiliki passing grade tidak terlalu tinggi. Saya semakin yakin. Tapi pada saat pengumuman, saya mendapati tulisan "Anda tidak lolos." Betapa terkejutnya saya ... apalagi saya mendengar kabar bahwa teman-teman saya lolos. Dan yang lebih menyedihkan adalah mereka yang lolos ternyata tidak memiliki rapor lebih baik dari milik saya. Tentu saja saya bertanya-tanya mengapa bisa begitu? Saya memang jatuh, tapi saya mencari tahu penyebabnya. Saya siswi Sekolah Menengah Teknik dengan jurusan Teknik Komputer dan Jaringan. Tapi saya memilih program studi Ilmu Komunikasi dan Sastra Indonesia. Saya tidak terlalu menginginkan program studi pilihan pertama, tapi saya begitu yakin dengna pilihan kedua. Dengan alasan; tidak banyak yang tertarik pada dunia kesusastraan. Tapi setelah saya telurusi ternyata untuk siswa SMK akan langsung gugur ketika memilih untuk lintas jurusan. Jadi, seharusnya saya memilih Teknik Informatika atau Teknik Elektro. Kasusnya hampir sama dengan siswa SMA jurusan IPS yang mendaftar jurusan IPA. Kemungkinan diterima hanya sekian persen.

Di balik kegagalan saya....

Ada rasa kecewa. Wajar, tentu saja. Tapi seketika iman saya turun di tingkat paling rendah. Saya mencoba peruntungan lewat SBMPTN (Seleksi Bersama Masuk Perguruan Tinggi Negeri) dengan pilihan program studi yang sama dengan sebelumnya. Saya hanya punya waktu kurang lebih 15 hari untuk mempelajari bahan ujian. Apalagi saya yang dari sekolah teknik tidak diberi pelajaran IPS. Tapi semaksimal mungkin saya berusaha untuk bangkit dari keterpurukan. Mungkin jalan saya emang bukan dari pintu pertama. Sebelumnya, saya rajin solat duha, tahajud, tadarus, bahkan puasa sunnah. Bukan karena saya mempunyai keinginan untuk lulus Ujian Nasional apalagi lolos SNMPTN ... itu murni karena saya ingin melakukannya. Tapi ketika niat awal saya benar, saya merasa terintimidasi dengan kegagalan saya di SNMPTN. Saya melihat mereka yang lolos bukanlah dari kalangan yang dekat dengan Allah. Tiba-tiba saya berpikir apa mungkin Allah menguji saya karena menganggap iman saya lebih baik dari mereka? Allah menganggap saya pasti bisa menerima takdir-Nya jauh lebih baik dari mereka yang lolos terlebih dahulu? Mengingat daya tampung jalur SNMPTN adalah 50%, saya semakin tidak percaya diri. Karena otomatis daya tampung melalui jalur-jalur selanjutnya lebih sedikit. Selama 15 hari itu pula saya ibadah sekenanya, bukan karena saya marah pada Allah. Bukan juga karena saya malas melakukannya. Tapi karena saya takut digagalkan kembali di pintu kedua. Saya takut Allah menganggap iman saya jauh lebih baik lalu menguji saya dengan ujian yang lebih berat. Sungguh, saya pun bingung apa yang merasuki otak saya sehingga berpikiran seperti itu.

Usaha lagi dan lagi....

Saya mengikuti ujian dengan yakin. Walaupun saya merasa belum siap, tapi saya tetap yakin akan rencana Allah yang begitu sempurna. Saya serahkan segalanya pada Penguasa Takdir. Pada mata ujian Kemampuan Dasar, yang saya andalkan adalah kemampuan bahasa, terutama bahasa indonesia. Tapi pada saat itu juga pikiran saya blank! Bagaimana mungkin saya bahkan hanya menyelesaikan 18 soal dari 60 soal. Tapi entah mengapa saya tetap yakin dengan keajaiban Allah. Saya begitu percaya dengan kehendak-Nya. Siang-malam saya selalu berdoa, "Ya Allah, jadikan UGM adalah yang terbaik untuk hamba." Iya. Pilihan pertama saya adalah kampus impian semua orang. Universitas Gajah Mada. Saya menyerahkan apa yang baik bagi saya pada Allah, tapi bisakah anda lihat doa saya?

Kegagalan yang kedua....

Tiba saat pengumuman. Saya betul-betul berharap kali ini Allah mengijabah doa saya. Saya masih ingat, saya membuka pengumuman saat sedang reuni dengan teman-teman SMP saya. Lalu hasilnya, "Anda tidak diterima." Ah, saya lupa bagaimana tulisannya. Yang jelas intinya saya ditolak kembali. Lalu giliran teman saya yang membukanya. Yaps! Teman saya diterima. Lalu apa katanya? "Yah, kok di pilihan kedua? Tapi kok bisa keterima ya? Padahal aku sama sekali nggak belajar, hehehe." Betapa sakitnya hati saya. Saya kembali bertanya-tanya pada Allah. Ada apa ini? Mengapa bisa begitu? Lalu banyak SMS masuk ke ponsel saya menanyakan hasil ujian itu. Saya hanya bisa minta maaf dalam hati pada orang tua saya. Bahwa saya belum berhasil. Orang tua saya hanya memberi semangat dan memotivasi saya, mungkin jalan saya bukan lewat SBMPTN. Iya, saya begitu hafal teorinya. Bahkan saya masih bisa tersenyum saat kegagalan kedua ada dalam genggaman saya.

Saya menangis....

Sesampainya di rumah, saya merebahkan tubuh. Masih dengan pertanyaan yang sama, apa penyebab saya gagal? Tiga hari saya merenung, mengasingkan diri. Saya bahkan menangis tersedu-sedu. Bukan karena kegagalan itu sendiri, tapi apa penyebab dari kegagalan itu. Lalu Ayah saya menelepon, "Sudah mengaji, Nak?" Belum, jawab saya. "Loh, sudah hari kedua puasa, masak belum tadarus sama sekali?" Tiba-tiba seperti ada yang menelusup dalam rongga dada saya, apa mungkin saya lupa hakikat kehidupan? Apa mungkin saya terlalu ke-duniawi-an?

Tuhan memberi jawaban....

Setelah saya runut kembali ... iya, saya memang kecewa. Bagaimana tidak? Saya bahkan menyiapkan amunisi lebih dulu dibanding yang lain. Saya ikhtiar lebih dulu dari mereka. Saya berdoa lebih sering dari mereka. Lalu di mana letak keadilannya? Saya tidak marah. Saya hanya bertanya pada diri saya, di mana letak kesalahannya. Ternyata ada yang bergeser. Niat saya beribadah pada Allah ... yang semula niat itu baik menjadi suatu yang salah karena saya menghentikan beberapa di antaranya hanya karena takut diuji. Betapa bodohnya saya. Tapi Allah membuka jalan, membersihkan pikiran, dan menjernihkan hati saya. Saya mulai bangkit dalam segala hal. Termasuk menaikkan kembali iman saya yang sudah berada di ujung tanduk. Seketika Allah seperti membuka lebar-lebar mata saya. Masih ada pintu lain, masih ada jalan lain. Saat itu masih ada Ujian Mandiri UGM, Seleksi Mandiri UNY, dan seleksi lainnya di universitas lain. Saya juga mulia memikirkan untuk mengambil cadangan universitas swasta yang tadinya saya enggan meliriknya sedikit pun karena biaya yang terbilang mahal.

Tuhan memberi saya ketenangan, lalu jalan terbuka begitu lebar di hadapan saya....

Entah mengapa, saya melewatkan UM UGM, saya tidak lagi menginginkan universitas itu. Saya melirik universitas sebelah. Universitas Negeri Yogyakarta. Saya berencana mengikuti seleksi mandiri yang diadakan pada tanggal 21 Juli 2013. Waktu itu, saya sudah mendiskusikan juga soal universitas swasta. Saya memilih Universitas Islam Indonesia prodi manajemen. Atau Universitas Muhammadiyah Yogyakarta dengan prodi yang sama. Tapi saya juga mencari celah lain, ada Universitas Brawijaya, dan universitas Padjajaran. Semua kandas karena Ibu tidak mengizinkan saya kuliah di luar kota. Itu artinya saya hanya punya satu jalan untuk universitas negeri kan? Tapi lagi-lagi, tiba-tiba Allah memberi saya jalan. Universitas Islam Negeri adalah salah satu universitas yang (tidak akan) saya lirik, sedikit pun. Tapi ada yang menggugah perasaan saya. Saya seperti hilang ingatan. Bukankah saya pernah bercita-cita menjadi guru agama? Lalu kalau bukan di UIN, di mana lagi tempatnya? Saya mulai mencari informasi. Ternyata masih dibuka jalur reguler. Tapi Allah belum selesai sampai di situ. Allah menyadarkan saya banyak hal. Salah satunya soal tujuan saya. Mengapa setiap universitas berbeda program studi yang saya pilih?

Tuhan memberi ketetapan hati....

Saya sudah membayar Seleksi Mandiri UNY dengan prodi Pendidikan Bahasa Indonesia dan Sastra Indonesia. Saya juga sudah menetapkan pilihan untuk mengambil program studi Pendidikan Agama Islam di UIN. Bukan hanya itu, saya mendapat solusi lebih hebat. Saya mengambil cadangan swasta Pendidikan Agama Islam juga. Apanya yang hebat? Saya sadar betul, bahwa pilihan prodi yang sebelumnya yaitu manajemen adalah pilihan yang bukan dari hati saya. Itu hanya pilihan buangan agar saya tidak jadi pengangguran (yang penting kuliah). Selain pendidikan agama islam adalah salah satu passion saya, biayanya pun lebih murah, dan peminat lebih sedikit. Saya begitu tenang. Saya masih punya kesempatan. Sekarang, saya punya tiga jalan yang entah yang mana jalan terbaik untuk saya. UNY, UIN, atau UII.

Lagi-lagi, Saya dilema!

Belum selesai sampai di situ. Ayah saya tiba-tiba mengajak saya berdiskusi soal banyak hal. Dan menemui konklusi yang belum bisa menjadi kesimpulan. Saya malah dibuat bingung. Saya sudah mendaftar UNY sastra dan bahasa indonesia kan? Tapi ayah mengingatkan saya prodi yang satu ini. Teknik Kecantikan dan Tata Rias. Saya memang sempat ingin (banget sih) masuk di dunia seni, khususnya tata rias. Tapi saya tidak memprioritaskan prodi itu karena di UNY, prodi tata rias hanya sebatas Diploma 3. Tapi satu pernyataan ayah saya yang membuat saya memikirkannya kembali, "Yang penting skill-mu, keahlianmu. Kalau kamu udah ahli, banyak orang mencari kamu. Banyak di luar sana sarjana pengangguran." Saya tidak menelan pernyataan itu mentah-mentah. Walaupun ayah saya tidak memaksa saya untuk memilih prodi yang mana, saya tentu saja tetap dilanda dilema luar biasa. Sastra dan kecantikan adalah dua hal yang seimbang. Seandainya saya bisa memilih keduanya. Tapi ternyata hidup hanya mengizinkan saya memilih salah satunya. Karena ujian S1 bersamaan dengan D3. Otomatis saya harus memilih. S1 - sastra indonesia atau D3 - tata rias. Saya mencoba solat istikhoroh. Tidak hanya itu, saya mencari pendapat kesana-kemari. Tapi hasil yang saya dapatkan semua orang memilih satu prodi yang sama. S1 - Sastra Indonesia. Pertama, karena saya memang sudah berkecimpung dalam dunia tulis-menulis. Kedua, Sastra Indonesia adalah S1.

Pengambilan Keputusan....

Setelah istikhoroh, saya belum juga menemui jawabannya. Saya melakukan solat istikhoroh untuk kedua kalinya. Saya pun tidak berhenti mencari pandangan dan pendapat dari kerabat, teman, guru, dan orang-orang di sekitar saya. Saya menemui satu orang, hanya satu orang ini saja yang memilih prodi tata rias. Tapi saya tidak menerima itu begitu saja, saya terus mencecarnya dengan berbagai macam pertanyaan. "Kenapa tata rias?" "Karena itu passion-mu." "Ah, sastra juga passion-ku." "Ya karena kalau cuma mau nulis aja kamu nggak perlu kuliah kan?" "Kalau mau kecantikan, saya juga bisa kursus. Kenapa mesti kuliah?" "Yaudah, kamu ambil sastra aja kalo gitu." "Kok jadi berubah pikiran?" "Ya kamu dikasih pendapat malah tanya terus...." Tahukah? Sebenarnya saya berhenti di titik ini. Setelah saya bertanya pada satu orang ini, saya tidak mau bertanya lagi pada yang lain. Iya, sebenarnya saya sudah tahu pilihan hati saya. Saya hanya mencari dan terus mencari pendapat mana yang menyetujui saya untuk prodi tata rias. Lalu mengapa saya terus bertanya seolah saya tidak percaya pada pendapatnya? Itu hanya untuk memastikan bahwa saya benar-benar memilih prodi tata rias sebagai jalan saya. Tapi saya belum selesai sampai di situ. Saya solat istikhoroh untuk ketiga kalinya. Sebenarnya ada hal-hal yang membuat saya dilema berat.

Begini ... kalau saya mengambil S1 bahasa dan sastra, maka peluang lolos lebih besar karena saya punya dua pilihan prodi. Selain itu memang benar gelarnya adalah sarjana. Saya juga suka dengan bidang itu. Kalau saya mengambil D3 teknik kecantikan dan tata rias tentu saja hanya ada satu pilihan, dan lagi selama ini saya hanya begitu tertarik dan mempelajari secara autodidak, itu pun saya pelajari tidak seberapa banyak. Sedikit sekali. Dan selain itu ... hanya Diploma! Ah. Tapi tahukah? Saya bahkan tahu betul hati saya condong pada prodi yang lebih banyak saya temui kekurangannya ini....

Saya temukan kuncinya!

Ikhtiar. Kata seorang sahabat, kita ini hanya bisa membuka jalan. Berencana. Iya, lalu kehendak tetap ada pada Allah. Pasrah. Bukan pasrah yang sebatas di bibir. Tapi betul-betul menyerahkan dan mengembalikan segala urusan pada Allah semata. Tahukah? Saya begitu takut dan gemetar pada saat SNMPTN dan SBMPTN. Dalam doa selalu saja pasrah yang memaksa. Pasrah meminta terbaik tapi dalam hati paling dalam ... ada kecondongan untuk memilih yang mana. Ikhlas. Berlapang dada dengan segala keputusan Allah nantinya. Saya benar-benar menerapkan itu semua, bukan hanya sebatas teori. Lalu apa hasilnya? Saya begitu diberi ketenangan. Saya betul-betul berada pada posisi paling nyaman. Bahwa selama ini kita kurang pasrah, kita kurang ikhlas. Kita kurang percaya pada kehendak Allah.

Hikmah yang mengubah segala sudut pandang dan pola pikir saya....

Bahwa selama ini saya hanya tertipu oleh kilaunya dunia. Bahkan saya sama sekali tidak tahu, sama sekali tidak pernah terbesit dalam benak untuk prodi pilihan pertama yaitu Ilmu Komunikasi UGM. Ternyata semua hanya ilusi. Hanya karena faktor-faktor seperti ... gengsi, hasrat dunia, kebanggaan sementara, dan hal-hal sejenis itu. Saya hanya sibuk dengan pikiran saya yang terdoktrin bahwa saya akan sangat kehilangan harga diri kalau gagal masuk universitas nomor satu di Indonesia itu. Siapa yang tidak bangga bisa menuntut ilmu di UGM? Ah, saya bahkan sempat berpikir betapa malunya saya dan orang tua jika tidak berhasil menjadi mahasiswi UGM. padahal si A, B, C saja bisa! Ternyata ada hal-hal yang bisa menghalangi jalan terbaik menurut Allah ketika kita bersikukuh untuk berada di tempat yang kita inginkan. Apalagi saya tahu banyak dari mereka yang berhasil lolos UGM dengan kapasitas otak yang saya rasa saya lebih mumpuni dari mereka. Dan saya yakin tidak sedikit dari kalian merasakan hal yang sama. Apalagi ini hanya karena faktor alamamater saya yang berlatar belakang SMK. Betapa tidak adilnya ... Tapi Allah mengembalikan saya. Allah menampar-nampar wajah saya. Itu mengapa saya begitu beryukur tidak pernah luput berdoa, "Ingatkan saya ketika saya mulai salah arah, peringatkan saya dengan keras ketika saya mulai salah arah." Lalu, kalau saya betul-betul menginginkannya mengapa saya melepas Ujian Mandiri UGM? Justru memilih Universitas Negeri Yogyakarta? Bahwa Allah selalu memberi petunjuk bagi orang-orang yang ingin petunjuk dari-Nya.

Banyak orang-orang mendoakan saya begini sebelum saya melaksanakan ujian UNY, "Semoga lolos UNY ya!" Betapa terkejutnya mereka ketika saya menjawab, "Semoga saya diberi hasil terbaik oleh Allah. Kalau memang jalannya, inshaAllah bisa." Dalam benak saya, bukan saya sok alim, bukan sama sekali. Saya betul-betul takut salah langkah. Saya betul-betul takut. Pada waktu itu saya sama sekali tidak condong dengan pilihan UNY, UIN, atau UII. Di mana pun saya nanti, itulah jalan terbaik untuk saya bagi Allah. Bahwa Allah mengetahui apa yang tidak saya ketahui. Dan boleh percaya atau tidak, betapa bersyukurnya saya dengan kejadian-kejadian beberapa bulan terakhir. Kalau kalian mau mendapatkan ketenangan dan ketentraman hati, sungguh, dunia akan datang padamu ketika kamu dekat dengan Tuhanmu.

Satu lagi! Mungkin benar kata Mario Teguh. Jadikan dirimu penasihat bagi sesamamu, maka Tuhan akan mengujimu dengan nasihatmu sendiri. Percayalah, itu nyata. Saya memang sempat berpikir, apa Allah memberi saya jalan seperti ini agar akhirnya bisa saya jadikan motivasi yang mungkin berguna bagi orang lain. Dan ... jadilah tulisan sepanjang ini; sepanjang jalan saya yang begitu berliku ;)

Salam,

Fasih Radiana

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun