Fenomena fantasi sedarah atau incest fantasy, selama ini kerap menjadi topik yang tabu dibicarakan, baik di ruang publik maupun diskusi profesional. Namun, dalam sebuah webinar yang diselenggarakan oleh Asosiasi Psikologi Forensik (Apsifor) Perwakilan Jawa Barat pada 31 Mei 2025, pembicara Margaretha, S.Psi., P.G.Dip.Psych., M.Sc. dengan berani membongkar lapisan psikologis, sosial dan budaya di balik fenomena yang selama ini diselimuti diam dan stigma.
Inses: Bukan Sekadar Penyimpangan Seksual
Webinar ini membuka mata banyak peserta bahwa inses bukan sekadar penyimpangan seksual, melainkan fenomena kompleks yang berkaitan erat dengan dinamika keluarga, trauma masa kecil, serta aspek biologis dan psikososial.
Salah satu sorotan utama adalah bagaimana fantasi sedarah bisa berkembang menjadi obsesi dan bahkan perilaku nyata. Margaretha menjelaskan bahwa individu yang terjebak dalam siklus ini seringkali mengalami obsesif-kompulsif seksual. Dimulai dari fantasi yang berulang, menjadi obsesi yang mengganggu, hingga dorongan kuat (kompulsi) untuk mewujudkannya.
"Fantasi yang berulang-ulang bisa menjadi obsesi. Jika tidak terkontrol, obsesi ini berubah menjadi perilaku menyimpang," ungkapnya.
Peran Pornografi dan Disfungsi Keluarga
Era digital memperburuk kondisi ini. Dengan akses pornografi yang semakin luas dan konten yang semakin menyimpang, banyak remaja dan dewasa muda mulai mengeksplorasi fantasi seksual yang tak biasa, termasuk inses. Margaretha menekankan bahwa Indonesia saat ini merupakan salah satu konsumen terbesar konten pornografi di dunia. Kondisi ini menjadi pemicu signifikan munculnya minat terhadap tema-tema seksual yang ekstrem.
Lebih dalam, ia juga mengangkat bagaimana keluarga yang disfungsional berkontribusi besar terhadap terjadinya perilaku inses. Dalam kasus nyata yang dibagikan, seorang staf muda mengaku tidur dengan ayah kandungnya. Ironisnya, sang ibu diduga mengetahui hal tersebut namun memilih diam. Situasi ini menggambarkan pengkhianatan emosional, dimana seseorang (orang tua) yang seharusnya melindungi, justru menjadi pelaku atau membiarkan pelanggaran terjadi.
Aspek Psikoanalisis dan Evolusi
Menariknya, Margaretha meninjau fenomena ini melalui perspektif psikoanalitik klasik. Ia merujuk pada teori Freud tentang Oedipus Complex, yang menyatakan bahwa pada masa tertentu anak memiliki ketertarikan seksual terhadap orang tua lawan jenis. Ketika ketertarikan ini tidak diintegrasikan dengan baik dalam kepribadian, bisa muncul fantasi seksual yang menyimpang di masa dewasa.
Dari sisi evolusi, ia juga mengangkat fenomena Genetic Sexual Attraction (GSA) yakni ketertarikan seksual yang muncul antara kerabat biologis yang tidak dibesarkan bersama. Hal ini menjelaskan mengapa pasangan sedarah yang lama berpisah dan bertemu kembali bisa merasakan daya tarik yang salah arah.
Minim Data, Minim Penanganan
Salah satu kendala terbesar dalam menangani isu ini adalah minimnya data dan riset. Margaretha menyebut bahwa kasus-kasus inses sangat jarang dilaporkan karena dianggap memalukan dan aib keluarga. Akibatnya, kasus ini jarang masuk dalam agenda riset psikologi, padahal dampaknya sangat besar.
"Keluarga sering menutup-nutupi. Ini tabu besar, sehingga intervensi pun menjadi sangat sulit dilakukan," katanya.
Strategi Intervensi dan Peran Psikolog
Lalu, bagaimana kita harus menyikapi fenomena ini? Webinar ini menegaskan bahwa intervensi psikologi harus melibatkan pendekatan multidisipliner dari konselor, pekerja sosial, hingga aparat hukum. Pendekatan seperti Cognitive Behavioral Therapy (CBT) disarankan untuk menangani pola pikir keliru yang melatarbelakangi perilaku menyimpang ini.
Selain itu, edukasi seksual sejak dini, pembentukan lingkungan keluarga yang aman dan suportif, serta pembatasan akses pada konten pornografi berperan penting sebagai langkah preventif.
Saatnya Berani Bicara
Webinar ini bukan hanya menyajikan informasi, tapi juga menjadi ajakan moral. Sudah saatnya kita berhenti membungkam isu-isu sensitif yang justru merusak dari dalam. Fantasi sedarah bukan sekadar urusan individu, tapi juga soal kesehatan mental, perlindungan anak dan integritas keluarga.
Sebagaimana pesan Margaretha di akhir sesi: "Bukan soal siapa yang melakukan, tapi bagaimana kita bisa menghentikan dan menyembuhkan."
Referensi :
Artikel ini merupakan hasil dari liputan pribadi, diakses dari webinar Apsifor Jabar, 31/06/2025
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI