Mohon tunggu...
Ade Candra
Ade Candra Mohon Tunggu... Insinyur - pegawai Negeri Sipil (PNS) di Dinas Pertanian Kabupaten Pasaman

Saya orang yang berjiwa sosial, suka bermasyarakat dan dengan menulis ingin berbagi informasi bermanfaat dengan Khalayak Ramai

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Kisah Petani Gurem dan Citra Perberasan Indonesia di Mata Dunia

17 Januari 2023   20:13 Diperbarui: 17 Januari 2023   20:35 318
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber Foto: Dokumentasi Pribadi

Jawabnya sungguh mengejutkan seperti di kemukakan asman seorang petani di Daerah Irigasi (Di) Batang petok, dengan lantang ia menjawab bertani padi sawah itu suatu keharusan, karena sebagai makanan pokok padi harus tersedia terus menerus sepanjang tahun. Ia lalu melanjutkan dengan adanya padi atau gabah dirumah, pikirannya bisa tenang, tidak perlu lagi mikir makan untuk anak istri. Jika ada nasi, lauknya mie instan pun cukup.

Menilik jawaban petani ini, sangat sederhana memang alasannya namun tentulah tidak sesederhana menyelesaikan persoalan seputar padi sawah. Mulai dari persoalan permodalan yang minim, tata niaga gabah yang carut marut, anjoknya harga, kelangkaan pupuk dan kenaikan harga saprodi lainnya, merupakan persoalan rumit yang sangat sulit untuk diselesaikan

Terlepas dari itu semua, prestasi swasembada beras  dan baiknya citra perberasa nasional dimata dunia juga meninggalkan setitik noda, seperti di ungkapkan Kementrian Pertanian dalam sebuah laporan, Kementrian Pertanian mencatat terjadi penurunan nilai tukar petani (NTP ) sub sector tanaman pangan selama tiga tahun terakhir. Untuk diketahui NTP merupakan nilai rujukan untuk kesejahteraan petani. 

Jika angkanya diatas 100 ( dari tahun dasar ) maka kenaikan pendapatan petani lebih besar dari pengeluarannya, sebaliknya jika angkanya dibawah 100 maka kenaikan pendapatan petani lebih kecil dari pengeluarannya. 

Sebagai gambaran pada 2020, NTP petani subsector tanaman pangan mencapai 101,43. Tapi kemudian turun 98,21 pada 2021 dan sampai juli 2022 angkanya kembali merosot menjadi 97,98. Bahkan nilai tukar petani padi selalu lebih rendah dibandingkan NTP petani secara umum, artinya memang petani padi masih menjadi kelompok yang paling rendah kesejahteraannya.

Kembali pada pokok bahasan diatas pemberian penghargaan atau sertifikat swasembada beras dari IRRI hendaknya jadi satu momentum pemerintah untuk melihat bahwa keberhasilan itu alat ukurnya jangan produksi saja tetapi seberapa mampu program dan kebijakan itu mendorong perubahan kehidupan di subjeknya (petani) kecil alias gurem dan yang terpenting lagi konsep swasembada tidak mengulangi kesalahan masa lampau, dimana di era presiden Soeharto pada tahun 1984-1986 Indonesia juga mencapai swasembada pangan namun dengan embel- embel swasembada dicapai dengan "menghalalka " segala cara sehingga 3-4 tahun kemudian agroekosistem rusak, tidak seimbang dan jauh dari kata berjkelanjutan. Intinya  gelar swasembada beras yang dianugerahi IRRI ternyata belum mampu meningkatkan kesejahteraan petani Gurem di Indonesia.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun