Mohon tunggu...
Farly Mochamad
Farly Mochamad Mohon Tunggu... Sebagai lulusan baru teknologi informasi, saya adalah alumni Kebangsaan Lemhannas 2023 dan peserta Muhibah Budaya Jalur Rempah Indonesia-Malaysia bersama KRI Dewaruci 2024

.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Perang Diponogoro (1825-1830): Api Perlawanan dari Tanah Jawa

11 Oktober 2025   18:12 Diperbarui: 11 Oktober 2025   18:12 10
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Penyerahan Pangeran Dipo Negoro kepada Jenderal De Kock. Foto: Lukisan Nicolaas Pieneman. 

Di awal abad ke-19, suasana di tanah Jawa jauh dari kedamaian. Di bawah kekuasaan kolonial Belanda, rakyat hidup dalam penderitaan yang berkepanjangan. Pajak yang tinggi, kerja paksa, serta perampasan tanah membuat kehidupan masyarakat semakin terpuruk. Desa-desa yang dulu makmur berubah menjadi tempat penuh kelaparan dan kesengsaraan. Para bangsawan Jawa pun banyak yang kehilangan kekuasaan dan kehormatannya karena campur tangan pemerintah kolonial yang semakin dalam dalam urusan istana.

Di tengah ketidakadilan itulah muncul sosok Pangeran Diponegoro, putra dari Sultan Hamengkubuwono III dari Kesultanan Yogyakarta. Sejak muda, Diponegoro dikenal sebagai pribadi yang sederhana, religius, dan dekat dengan rakyat kecil. Ia tidak tertarik pada kemewahan istana, melainkan lebih memilih hidup di luar keraton, berbaur dengan masyarakat, dan memperdalam ilmu agama. Melihat penderitaan rakyat dan keserakahan Belanda, hatinya bergolak. Ia menyadari bahwa penjajahan tidak hanya merampas tanah, tetapi juga merusak nilai-nilai moral dan spiritual bangsanya.

Ketegangan mencapai puncaknya ketika Belanda membangun jalan melewati tanah milik Diponegoro tanpa izin. Peristiwa itu menjadi percikan api yang memicu kemarahan besar dan menandai dimulainya Perang Jawa (1825--1830) atau yang lebih dikenal sebagai Perang Diponegoro. Dari kegelisahan dan rasa keadilan yang terlukai, lahirlah sebuah perlawanan besar yang mengguncang kekuasaan kolonial Belanda. Pangeran Diponegoro pun tampil bukan hanya sebagai seorang pemimpin militer, tetapi juga sebagai simbol kebangkitan semangat bangsa untuk menentang penindasan.

Latar Belakang: Ketidakadilan yang Menyulut Amarah

Perang Diponegoro merupakan salah satu peristiwa besar dalam sejarah perlawanan rakyat Indonesia terhadap penjajahan Belanda. Akar konflik ini berawal dari ketidakpuasan yang mendalam di kalangan rakyat Jawa terhadap kebijakan kolonial yang menindas. Setelah kekuasaan Belanda semakin kuat di tanah Jawa, terutama pasca-campur tangan mereka dalam urusan internal Keraton Yogyakarta, kehidupan masyarakat menjadi semakin sulit. Beban pajak yang tinggi, penindasan ekonomi, serta campur tangan dalam adat dan agama menyebabkan penderitaan rakyat semakin mendalam. Nilai-nilai budaya Jawa yang selama ini dijunjung tinggi mulai tergerus oleh keserakahan dan kesombongan penjajah.

Pangeran Diponegoro, yang lahir pada 11 November 1785 dengan nama Bendara Raden Mas Antawirya, merupakan putra dari Sultan Hamengkubuwono III. Meski berasal dari keluarga kerajaan, Diponegoro menolak kehidupan istana yang penuh kemewahan dan intrik politik. Ia memilih hidup sederhana di Tegalrejo, lebih dekat dengan rakyat kecil dan mendalami ajaran agama Islam. Dari sinilah pandangan spiritual dan rasa nasionalismenya tumbuh kuat, membentuk pribadi yang tegas, bijaksana, serta sangat peka terhadap penderitaan rakyat dan kehormatan tanah leluhurnya.

Puncak ketegangan terjadi ketika pemerintah kolonial Belanda secara sepihak membangun jalan yang melintasi wilayah Tegalrejo, tepat di area makam keluarga Diponegoro. Tindakan itu dilakukan tanpa izin dan tanpa menghormati nilai-nilai kesakralan adat setempat. Bagi Diponegoro, pembangunan jalan tersebut bukan hanya persoalan fisik, melainkan simbol penghinaan terhadap kehormatan leluhur dan martabat bangsa Jawa. Peristiwa itu menjadi pemicu utama pecahnya perlawanan besar-besaran. Dari tanah Tegalrejo, bara perlawanan pun menyala --- melahirkan Perang Diponegoro (1825--1830), salah satu perang paling besar dan berpengaruh dalam sejarah perjuangan bangsa Indonesia melawan penjajahan.

Awal Perlawanan: Dari Tegalrejo ke Gerilya Besar

Tahun 1825 menjadi titik balik yang membakar semangat perlawanan rakyat Jawa. Pangeran Diponegoro, yang selama ini menahan amarah atas berbagai tindakan sewenang-wenang Belanda, akhirnya meledak emosinya ketika kesakralan tanah leluhur di Tegalrejo dilanggar. Dalam momen yang sarat makna, ia mencabut tongkatnya dan menancapkannya ke tanah sambil berseru lantang, "Inilah tanda perang melawan ketidakadilan!" Seruan itu menjadi simbol awal dari perjuangan besar yang kelak mengguncang kekuasaan kolonial di tanah Jawa.

Benteng pertahanan pertama dibangun di Tegalrejo, tempat Diponegoro bersama para pengikut setianya mempersiapkan diri menghadapi serangan Belanda. Namun, kekuatan musuh yang besar dan persenjataan yang lengkap membuat Tegalrejo jatuh. Desa itu dibumihanguskan, rumah-rumah rakyat dibakar, dan banyak pejuang gugur. Meski demikian, kehancuran Tegalrejo tidak berarti kekalahan. Justru dari puing-puing itulah semangat perlawanan semakin membara. Diponegoro bersama para pengikutnya berhasil meloloskan diri menuju Selarong, sebuah daerah berbukit di selatan Yogyakarta yang kemudian menjadi markas utama perjuangan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun