Di Selarong, strategi perang berubah. Diponegoro memimpin pasukannya dengan taktik gerilya --- menyerang secara tiba-tiba dan menghilang secepat bayangan. Perlawanan ini tidak hanya melibatkan para bangsawan atau prajurit kerajaan, tetapi juga rakyat dari berbagai lapisan: petani, santri, dan tokoh-tokoh agama. Mereka menyatu dalam semangat "perang sabil", yaitu perang suci untuk menegakkan keadilan dan melawan penjajahan. Selarong menjadi simbol perlawanan rakyat yang berlandaskan iman dan keberanian, menandai dimulainya salah satu perjuangan terbesar dalam sejarah Indonesia melawan penindasan kolonial.
Strategi Gerilya dan Semangat Perjuangan
Strategi gerilya menjadi kunci utama dalam keberhasilan awal perjuangan Pangeran Diponegoro melawan penjajahan Belanda. Meskipun pasukan Diponegoro tidak besar, mereka memiliki keunggulan dalam mengenal medan pertempuran, terutama di wilayah perbukitan dan hutan Jawa. Dengan memanfaatkan kondisi alam yang sulit dijangkau, mereka mampu melancarkan serangan mendadak terhadap pos-pos Belanda. Serangan dilakukan secara cepat dan terarah, kemudian para pejuang segera menghilang sebelum pasukan lawan sempat melakukan pengejaran. Taktik ini membuat Belanda kesulitan menentukan posisi musuh dan menimbulkan rasa takut di kalangan tentaranya.
Selain strategi yang cerdik, semangat perjuangan para tokoh di balik perlawanan ini menjadi sumber kekuatan besar bagi rakyat. Kyai Mojo, sebagai penasihat spiritual dan tokoh agama, memberikan dorongan moral serta mengobarkan semangat jihad melawan penindasan. Sentot Alibasyah Prawirodirjo, seorang panglima perang muda yang tangguh, dikenal karena keberaniannya memimpin pasukan dalam pertempuran langsung. Sementara itu, Pangeran Mangkubumi dan Pangeran Serang turut memperkuat barisan perjuangan dengan dukungan politik dan kekuatan bangsawan, menunjukkan bahwa perlawanan ini melibatkan seluruh lapisan masyarakat.
Perang Diponegoro kemudian menyebar luas ke berbagai daerah di Jawa, seperti Kedu, Banyumas, Madiun, hingga Surakarta. Rakyat di banyak wilayah turut bangkit karena merasa senasib --- mereka telah lama menderita akibat pajak yang tinggi, kerja paksa, dan perlakuan tidak adil dari pemerintah kolonial. Perang ini tidak hanya menjadi konflik militer, tetapi juga simbol perlawanan rakyat terhadap penindasan dan ketidakadilan.
Bagi pihak Belanda, Perang Diponegoro merupakan mimpi buruk yang menguras tenaga dan harta. Selama lima tahun berlangsungnya perang, mereka menurunkan lebih dari 23.000 prajurit untuk menumpas perlawanan. Namun, biaya yang harus mereka keluarkan sangat besar, mencapai jutaan gulden --- jumlah yang luar biasa pada masa itu. Kerugian besar ini menunjukkan betapa gigih dan kuatnya semangat perjuangan Pangeran Diponegoro dan rakyat Jawa dalam mempertahankan harga diri serta kedaulatan bangsa.
Titik Balik: Pengkhianatan dan Penangkapan
Perjuangan panjang Pangeran Diponegoro melawan penjajahan Belanda tidak selalu berjalan gemilang. Setelah bertahun-tahun melakukan perlawanan dengan semangat pantang menyerah, pasukannya mulai mengalami kelelahan. Kondisi di lapangan semakin sulit --- logistik menipis, banyak desa dihancurkan, dan rakyat mulai kehilangan tenaga akibat peperangan yang berkepanjangan. Sementara itu, Belanda yang semula kewalahan mulai mengubah taktiknya. Mereka tidak hanya mengandalkan kekuatan militer, tetapi juga menggunakan strategi politik devide et impera atau adu domba untuk memecah persatuan di antara para pejuang Jawa.
Melihat penderitaan rakyat yang semakin besar, Pangeran Diponegoro mulai mencari jalan damai. Kesempatan itu datang ketika Jenderal De Kock, pemimpin pasukan Belanda, mengundangnya untuk berunding di Magelang pada tahun 1830. Dengan niat baik dan keyakinan bahwa perundingan ini bisa membawa kedamaian tanpa harus mengorbankan lebih banyak nyawa, Diponegoro menerima undangan tersebut. Ia datang dengan hati tulus, tanpa menyangka bahwa Belanda telah menyiapkan tipu muslihat di balik pertemuan itu.
Pada 28 Maret 1830, di rumah Residen Kedu, terjadilah peristiwa yang menjadi titik balik dalam sejarah perjuangan bangsa. Di tengah suasana yang tampak damai, Belanda melakukan pengkhianatan besar dengan menangkap Pangeran Diponegoro secara licik. Penangkapan itu menjadi akhir dari kepemimpinannya dalam medan perang. Belanda menuduhnya sebagai pemberontak, padahal ia hanya berjuang menegakkan keadilan dan kedaulatan di tanah Jawa.
Setelah penangkapannya, Pangeran Diponegoro dibawa ke Batavia (kini Jakarta), kemudian diasingkan ke Manado, dan akhirnya ke Makassar. Di kota terakhir itulah ia menghabiskan sisa hidupnya di Benteng Rotterdam. Meskipun hidup dalam pengasingan, semangat perjuangannya tidak pernah padam. Ia tetap dikenal sebagai pahlawan yang berpegang teguh pada prinsip dan kehormatan bangsanya. Pangeran Diponegoro wafat pada 8 Januari 1855, meninggalkan warisan perjuangan yang abadi bagi bangsa Indonesia.