Mohon tunggu...
Farly Mochamad
Farly Mochamad Mohon Tunggu... Sebagai lulusan baru teknologi informasi, saya adalah alumni Kebangsaan Lemhannas 2023 dan peserta Muhibah Budaya Jalur Rempah Indonesia-Malaysia bersama KRI Dewaruci 2024

.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Henricus Christianus Verbraak: Imam di Tengah Badai Perang

11 Oktober 2025   14:35 Diperbarui: 11 Oktober 2025   14:35 25
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Patung Pastor Henricus Christianus Verbraak S.J di Taman Maluku, Bandung, 1923. Sumber: KITLV.

Di antara riuhnya sejarah Nusantara yang dipenuhi dengan kisah peperangan, penjelajahan, dan perjuangan kemerdekaan, ada satu sosok yang jarang disebut dalam buku sejarah resmi, namun jejaknya masih terasa hingga kini. Ia bukan seorang panglima perang, bukan pula penguasa kolonial yang mencatatkan namanya dalam arsip-arsip besar. Sosok ini hadir dalam diam, bekerja di antara luka-luka manusia, dan meninggalkan warisan yang jauh lebih halus: kemanusiaan.

Namanya Henricus Christianus Verbraak, seorang imam Katolik asal Belanda yang hidup di masa penjajahan Hindia Belanda. Berbeda dengan banyak tokoh sezamannya yang menonjol dalam kekuasaan dan konflik, Verbraak memilih jalan yang sunyi --- melayani sesama di tengah situasi penuh kekerasan. Ia hidup di masa di mana perang dan penjajahan merampas banyak hal dari manusia: tanah, kebebasan, bahkan kasih. Namun, di tengah kerasnya zaman itu, Verbraak menunjukkan bahwa iman dan kepedulian dapat menjadi bentuk perlawanan yang paling manusiawi.

Kehadirannya di berbagai daerah, terutama di Aceh dan Bandung, menyisakan jejak spiritual dan kultural yang bertahan hingga kini. Nama Verbraak masih teringat melalui Gereja Hati Kudus Yesus di Banda Aceh, tempat di mana nilai kasih dan pengabdian diwujudkan, serta melalui patungnya di Taman Maluku Bandung, yang sering dianggap sebagai simbol misteri dan legenda. Namun di balik semua simbol itu tersembunyi kisah seorang manusia biasa --- seorang yang bergulat dengan keyakinan, moral, dan empati di tengah kegelapan perang.

Dalam kesunyian dan pengabdian tanpa pamrih, Henricus Christianus Verbraak menunjukkan bahwa sejarah tidak hanya ditulis oleh mereka yang berkuasa atau berperang, tetapi juga oleh mereka yang memilih untuk tetap berbuat baik, meski dunia di sekelilingnya dipenuhi kebencian. Ia adalah sosok yang sunyi, tapi tak pernah hilang.

Awal Kehidupan dan Panggilan Iman

Henricus Christianus Verbraak lahir pada 24 Maret 1835 di Rotterdam, Belanda, sebuah kota pelabuhan yang ramai dan terbuka terhadap berbagai pengaruh budaya serta gagasan baru pada masa itu. Ia tumbuh di tengah Eropa abad ke-19, ketika Gereja Katolik sedang berada dalam masa kebangkitan semangat misi. Gereja kala itu mengirim banyak imam dan biarawan ke daerah-daerah jauh --- dari Afrika hingga Asia Tenggara --- untuk menyebarkan ajaran kasih dan membantu masyarakat yang dilanda kemiskinan serta konflik kolonial.

Sejak usia muda, Verbraak sudah menunjukkan keteguhan iman dan kerendahan hati yang luar biasa. Ia dikenal sebagai sosok yang tekun belajar dan memiliki kepekaan terhadap penderitaan sesama. Dorongan spiritual inilah yang membuatnya memilih jalan hidup yang tidak mudah --- menjadi seorang imam Yesuit, sebuah ordo yang terkenal dengan kedisiplinan keras, kecintaan pada ilmu pengetahuan, dan dedikasi penuh terhadap pelayanan. Setelah melewati masa pendidikan teologi dan formasi panjang, ia akhirnya ditahbiskan menjadi imam, siap menjalankan misi suci yang akan membentuk seluruh perjalanan hidupnya.

Namun, panggilan imannya tidak berhenti di tanah kelahiran. Dunia justru membawanya ke arah yang jauh --- ke timur, ke tanah-tanah yang asing baginya. Ia berangkat menuju Hindia Belanda, wilayah yang kala itu penuh gejolak antara kolonialisme dan perlawanan lokal. Di tempat inilah, Verbraak menemukan makna baru dari imannya: bukan sekadar berkhotbah di altar, tetapi menghadirkan kasih di tengah penderitaan, di antara panas terik tropis, wabah penyakit, dan dentuman perang.

Bagi Verbraak, meninggalkan Rotterdam bukanlah bentuk ambisi atau pencarian diri, melainkan tindakan penyerahan total kepada panggilan Tuhan. Ia ingin menjadi cahaya kecil di tempat yang gelap, mendekap mereka yang tersisih, dan membawa nilai kemanusiaan di tengah kekacauan dunia kolonial. Dari sinilah kisah panjang pengabdian seorang imam yang sunyi tapi berpengaruh itu dimulai.

Langkah Awal di Sumatra

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun