Oleh : Farkhan Syahrul Mubarok
Tragedi ambruknya bangunan Pondok Pesantren Al Khoziny Buduran, Sidoarjo, Jawa Timur, menyisakan duka mendalam bagi dunia pendidikan dan masyarakat Indonesia. Peristiwa yang merenggut puluhan korban jiwa itu bukan sekadar berita duka, tetapi juga menjadi refleksi tentang makna ketabahan, keimanan, dan kemanusiaan di tengah ujian hidup. Di balik puing-puing bangunan yang runtuh, tersimpan kisah-kisah tentang doa, air mata, dan kekuatan spiritual yang luar biasa dari para santri, keluarga korban, serta masyarakat yang turut merasakan luka yang sama.
Musibah ini menyentuh banyak hati karena terjadi di lembaga pendidikan agama tempat di mana nilai-nilai ketuhanan dan moralitas ditanamkan setiap hari. Runtuhnya bangunan pesantren bukan hanya mengguncang struktur fisik, tetapi juga mengguncang batin dan keyakinan banyak orang. Namun, sebagaimana pesan-pesan yang diajarkan dalam Islam, setiap peristiwa yang tampak sebagai bencana selalu mengandung hikmah dan pelajaran berharga bagi umat manusia.
Aspek Agama: Iman dan Takdir di Tengah Duka
Dalam ajaran Islam, ujian dan musibah merupakan bagian dari takdir Allah yang tidak dapat dihindari. Al-Qur’an secara tegas menyebutkan bahwa manusia akan diuji dengan rasa takut, kelaparan, kehilangan harta, jiwa, dan buah hati. Namun, Allah menjanjikan kabar gembira bagi mereka yang sabar. (QS. Al-Baqarah: 155–156). Tragedi di Ponpes Al Khoziny adalah salah satu bentuk nyata dari ujian tersebut.
Para santri, ustaz, dan keluarga korban dihadapkan pada kenyataan pahit: kehilangan orang-orang terkasih, teman belajar, dan guru yang selama ini menjadi bagian penting dalam kehidupan mereka. Meski demikian, dari reruntuhan bangunan itu juga tampak betapa kuatnya keimanan mereka. Doa terus dipanjatkan, tahlil dan dzikir menggema di antara tangis duka, dan kalimat inna lillahi wa inna ilaihi raji’un menjadi pengingat bahwa semua yang terjadi berada dalam kehendak Allah.
Dalam konteks ini, agama berperan penting sebagai sumber penguat batin. Nilai sabar, tawakal, dan husnudzan kepada takdir Allah menjadi penopang bagi mereka yang tertimpa musibah. Keimanan memberikan makna di tengah ketidakpastian, menjadikan duka tidak sekadar penderitaan, tetapi juga jalan menuju penerimaan dan keikhlasan. Bagi umat Islam, tragedi ini bukan akhir dari segalanya, melainkan ujian untuk meningkatkan derajat iman dan keteguhan hati.
Aspek Psikologi: Trauma, Duka, dan Ketahanan Mental
Dari sisi psikologi, dampak tragedi semacam ini tidak bisa dianggap ringan. Para santri yang selamat mungkin mengalami trauma mendalam: perasaan takut ketika mendengar suara keras, bayangan kejadian yang menghantui, atau kesulitan tidur dan konsentrasi. Dalam psikologi, kondisi ini dikenal sebagai post-traumatic stress disorder (PTSD), dan tanpa penanganan yang tepat, bisa berlarut-larut.
Namun, lingkungan pesantren memiliki keunikan tersendiri dalam membangun ketahanan mental. Aktivitas spiritual seperti doa bersama, dzikir, dan tahlilan berfungsi sebagai terapi kolektif yang menenangkan batin. Rasa kebersamaan dalam ibadah menciptakan suasana aman dan penuh harapan. Para ustaz dan kiai biasanya berperan ganda, bukan hanya sebagai pengajar agama, tetapi juga sebagai pendamping psikologis yang memberikan nasihat, penguatan iman, dan ketenangan spiritual kepada para santri.
Dari perspektif psikologi positif, tragedi ini bisa menjadi momentum untuk menumbuhkan resilience kemampuan seseorang untuk bangkit dari kesulitan. Ketabahan para santri dan keluarga korban menunjukkan bahwa di tengah duka yang mendalam, manusia memiliki potensi besar untuk menemukan makna baru dalam penderitaan. Iman berperan sebagai “penopang psikologis” yang membantu seseorang bertahan, karena kepercayaan bahwa setiap cobaan mengandung hikmah membuat beban batin terasa lebih ringan.
Aspek Sosial: Solidaritas dan Kepedulian Umat
Tragedi di Ponpes Al Khoziny juga menjadi cermin nyata tentang kekuatan solidaritas sosial di Indonesia. Tidak butuh waktu lama bagi masyarakat untuk bergerak memberikan bantuan. Relawan, tenaga medis, organisasi masyarakat, dan warga sekitar bahu-membahu mengevakuasi korban serta membantu keluarga yang ditinggalkan. Di media sosial, doa dan dukungan moral mengalir deras dari berbagai daerah.
Fenomena ini menunjukkan bahwa nilai gotong royong dan empati masih tertanam kuat dalam masyarakat kita. Musibah besar sering kali menjadi momen yang menyatukan, meluruhkan sekat-sekat sosial, dan menumbuhkan rasa kemanusiaan yang tulus. Dalam pandangan sosiologi agama, solidaritas semacam ini merupakan wujud dari ukhuwah islamiyah dan ukhuwah insaniyah persaudaraan sesama umat Islam sekaligus sesama manusia.
Selain itu, tragedi ini mengingatkan kita akan pentingnya aspek keselamatan dalam pembangunan lembaga pendidikan. Kepedulian sosial tidak cukup berhenti pada doa dan bantuan sementara. Harus ada refleksi bersama untuk memastikan bahwa setiap pesantren dan sekolah di Indonesia memiliki standar keamanan yang memadai, agar duka serupa tidak terulang di masa depan. Di sinilah fungsi sosial agama bekerja: bukan hanya mengajarkan sabar, tetapi juga menumbuhkan tanggung jawab sosial untuk mencegah terulangnya penderitaan.
Dari Duka Menjadi Doa: Hikmah di Balik Tragedi
Musibah yang menimpa Pondok Pesantren Al Khoziny Buduran adalah peristiwa yang memilukan, tetapi juga sarat makna. Ia mengajarkan bahwa hidup tidak selalu berjalan sesuai harapan, dan bahwa iman yang sejati diuji bukan saat segala sesuatu baik-baik saja, melainkan ketika kita kehilangan sesuatu yang paling berharga.
Para santri dan keluarga korban telah menunjukkan keteladanan luar biasa dalam menghadapi duka dengan kesabaran dan doa. Mereka bukan hanya korban, tetapi juga saksi keteguhan iman di tengah cobaan. Masyarakat yang turut membantu memperlihatkan bahwa nilai kemanusiaan masih menjadi fondasi utama bangsa ini. Dari segi psikologis, mereka mengajarkan bahwa dukungan sosial dan spiritualitas bisa menjadi jalan penyembuhan yang efektif.
Kini, saat debu reruntuhan mulai mengendap, doa dan harapan terus menggema. Semoga para korban diterima di sisi Allah sebagai syuhada, dan para penyintas diberi kekuatan untuk melanjutkan kehidupan dengan hati yang tegar. Tragedi ini hendaknya menjadi pengingat bagi semua pihak bahwa pendidikan, spiritualitas, dan keselamatan harus berjalan beriringan.
Karena pada akhirnya, reruntuhan fisik dapat dibangun kembali, tetapi reruntuhan hati hanya bisa disembuhkan dengan kasih, empati, dan doa. Dari tragedi inilah kita belajar, bahwa duka bisa menjadi doa, dan doa bisa menjadi jalan menuju kekuatan baru bagi seluruh umat.
🕊️ Artikel ini ditulis sebagai refleksi atas tragedi ambruknya Pondok Pesantren Al Khoziny Buduran, dengan harapan agar seluruh elemen masyarakat dapat mengambil pelajaran dari sisi keagamaan, psikologis, dan sosial untuk membangun bangsa yang lebih berempati dan beriman.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI