Â
Menjaga Nafas Tradisi di Kampung Budaya Polowijen
Oleh: Ersya Dwi Rahmawati, Farisma Eka Avaria, Karina Ais Sitoresmi, Maulidia Tri Kusuma
Di tengah deru modernisasi dan derasnya arus globalisasi, keberadaan Kampung Budaya Polowijen di Kota Malang menjadi oase budaya yang menenangkan. Di sinilah tradisi tak hanya dilestarikan, tetapi juga dihidupi. Kampung ini bukan sekadar ruang ekspresi seni, melainkan penjaga nafas warisan leluhur yang nyaris dilupakan.
Gagasan ini lahir dari sosok Ki Demang, tokoh penggagas yang melihat bahwa Polowijen memiliki akar sejarah yang kuat. Prasasti Wurandungan dari Kerajaan Kanjuruhan menyebut nama Panawijyan, yang kini kita kenal sebagai Polowijen. Jejak budaya seperti petilasan Ken Dedes dan makam Empu Topeng Mbah Reni bukan hanya situs sejarah, tetapi juga titik awal peradaban budaya yang terus dikembangkan sejak tahun 2017.
Beragam kegiatan adat seperti megengan, lebaran kupatan, suroan, dan maulidan menjadi denyut nadi kampung ini. Ritual nyekar dan arak-arakan topeng menjadi bentuk penghormatan kepada leluhur yang hidup dalam narasi seni. Kegiatan rutin seperti latihan tari topeng, membuat topeng dan batik, hingga membaca puisi Jawa (mocopatan) terus mengalir setiap pekan, menjaga tradisi agar tetap bernyawa.
Lebih dari sekadar pertunjukan budaya, Polowijen juga memiliki struktur sosial yang kuat. Tiga kelompok besar menopang kampung ini: kelompok seni budaya, kelompok sadar wisata, serta kelompok kriya topeng dan batik. Mereka bekerja terorganisir, membagi tugas, dan saling mendukung dalam mewujudkan ekosistem budaya yang hidup. Tak hanya itu, komunitas luar seperti Komunitas Kebaya Indonesia, Jawa Line Dance, hingga para seniman se-Malang Raya turut menjadi bagian dari denyut kampung ini.
Namun, menjaga tradisi tidaklah mudah. Polowijen menghadapi tantangan besar: infrastruktur yang rusak, regenerasi generasi muda yang belum konsisten, keterbatasan SDM, dan minimnya promosi. Meski begitu, semangat belajar bersama masyarakat menjadi kekuatan utama. Mereka mungkin tak lahir dari dunia seni, tetapi mereka tumbuh bersama budaya yang mereka bangun sendiri.
Dalam semua keterbatasan itu, pesan Ki Demang tetap lantang: "Warisi tradisi, lestarikan budaya." Pesan sederhana yang penuh makna. Tradisi bukan sekadar upacara atau pertunjukan, tetapi sarana membangun karakter, menanamkan nilai toleransi, dan menghormati sejarah. Budaya seperti topeng Malangan, batik, hingga wayang telah diakui dunia, tetapi tanpa dukungan masyarakat, mereka akan tinggal cerita.
Kampung Budaya Polowijen telah membuktikan bahwa pelestarian budaya bisa tumbuh dari bawah. Sekarang, saatnya pemerintah, perguruan tinggi, dan masyarakat luas ikut serta menjaga api ini tetap menyala. Karena ketika budaya mati, bukan hanya seni yang hilang, tapi juga jati diri bangsa.