Mohon tunggu...
Farih AbdulRauf
Farih AbdulRauf Mohon Tunggu... Mahasiswa - Semangat

Nama saya Farih Abdul Rauf mahasiswa Universitas Amikom Yogyakarta jurusan Ilmu Komunikasi, Izinkanlah saya menuangkan tulisan di kompasiana, salam hangan untuk semuanya

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Pendidikan Membuat Seseorang Hidup

20 April 2021   22:00 Diperbarui: 20 April 2021   22:51 226
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

            Pada dewasa ini, pendidikan sangatlah penting bagi kehidupan semua orang. Maka dari itu, Dea berusaha semaksimal mungkin untuk menunjukkan cerminan seseorang yang berpendidikan. Di lingkungan keluarganya, Dea dianggap sebagai anak yang rajin belajar. Kebanyakan waktunya ia habiskan untuk membaca tumpukan buku dan mengerjakan tugas sekolah. Apalagi Dea menempuh pendidikan di salah satu SMA bergengsi di kotanya. Persaingan yang begitu ketat membuatnya harus meminimalisir kekurangan dan mengoptimalkan kelebihannya.

            Ketika sedang fokus belajar untuk mempersiapkan ujian akhir semester, Mindya, ibunya, menghampiri anak semata wayangnya itu. Mindya pun mengelus puncak kepala Dea dengan penuh kasih sayang. “Dea, ayo makan dulu, setelah itu jangan lupa salat. Memang tidak salah kalau kamu belajar, tapi jangan sampai melewatkan waktu makan dan menunda-nunda ibadah,” ujarnya, menasihati.

            Dea yang baru menyadari hal itu langsung menepuk jidatnya. “Astaga! Dea lupa, Bu,” katanya, “tadi Dea sibuk belajar buat mengejar materi yang susah dipahami. Apalagi yang berhubungan dengan hitung-menghitung.”

            “Gak apa-apa. Lain kali jangan diulangi lagi, Dea,” ucap Mindya, mencoba memaklumi. “Ayo, sekarang kamu makan dulu, terus salat, ya.” Dea mengangguk sebagai balasannya.

            Setelah dinasihati begitu, Dea tak lagi mengulangi hal yang sama. Terkadang, ia malah mengingatkan Mindya jika ibunya tak sempat makan karena sibuk mengurus urusan rumah tangga. Sekarang, meja makan tak lagi terasa hampa. Kursi Dea yang sering kosong karena dirinya lebih memilih menghabiskan waktunya untuk belajar di kamar, kembali terisi. Keluarga kecil itu melakukan hal sederhana dengan makan bersama sembari berbincang ringan, diselingi candaan ayah Dea yang bernama Haidar.

            Meski demikian, Dea tak melupakan kewajibannya untuk belajar. Kalau boleh jujur, ia lebih menaruh kagum pada pelajaran bahasa Indonesia. Betapa menakjubkan ketika untaian kata bisa menjadi kalimat, bahkan paragraf yang indah dan enak dibaca. Dengan membaca dan mempelajarinya saja dapat menerbitkan senyuman gadis itu. Akan tetapi, pelajaran di sekolahnya tak melulu perihal bahasa Indonesia. Ada pula pelajaran lain yang harus Dea pelajari, walaupun ia tak begitu memahaminya.

            Waktu berjalan dengan begitu cepat. Tiba-tiba saja Dea sudah mendapatkan rapor untuk semester ini. Padahal, rasanya baru kemarin ia belajar mati-matian agar mendapatkan nilai yang bagus untuk ujian. Sesampainya di rumah, Dea didampingi kedua orang tuanya pun membuka rapor itu. Wajah Dea yang semula antusias berubah seratus delapan puluh derajat ketika menggulir daftar nilainya satu per satu.

            “Ayah, Ibu, ternyata nilainya gak sesuai ekspetasi Dea. Cuma nilai bahasa Indonesia yang bagus. Selain mapel itu, nilainya pas-pasan,” ucap Dea dengan nada bicara yang terdengar sedih. Hasil yang ia dapatkan pada semester ini membuatnya kecewa. Namun, berbeda dengan Dea, Mindya dan Haidar malah menunjukkan senyuman lebar. Keduanya memberikan semangat dan nasihat agar perasaan Dea lekas membaik.

            “Dea paling suka pelajaran bahasa Indonesia?” tanya Mindya, bermaksud memastikan.

            “Iya. Kok Ibu bisa tahu?”

            Mindya menghela napas lega ketika anaknya sudah menemukan pelajaran yang ia minati. “Dari semua mapel, nilai bahasa Indonesia kamu yang paling besar. Jadi, sudah sangat jelas kalau kamu suka mapel itu.”

            Giliran Haidar yang menepuk pundak Dea. “Cita-cita kamu harus besar, Dea. Jadikan kelemahan yang kamu punya sebagai pelajaran, dan jadikan kelebihan sebagai acuan untuk meraih kesuksesan.” Ucapan Haidar itu ternyata dapat menghilangkan raut sedih putrinya. “Kalau Ayah boleh tahu, apa cita-cita, Dea?”

            Haidar dan Mindya sangat menunggu jawaban Dea, penasaran. Akan tetapi, Dea malah pergi ke kamarnya untuk mengambil buku kecil berisi cerita pendek yang pernah ia buat. Setelah Dea menyerahkan buku itu, mereka membaca salah satu cerpen milik putrinya dengan antusias.

            Selesai membaca, Haidar pun menoleh ke arah anaknya. “Kalau lihat bakatmu seperti ini, kamu lebih cocok jadi penulis, atau kalau mau, kamu bisa mendirikan perusahaan penerbitan buku.”

            Dea tersenyum senang. “Ayah, Ibu, itu cita-cita Dea.”

            Tak mau terus terpuruk karena mayoritas nilainya menunjukkan angka yang pas-pasan, Dea pun berusaha meningkatkan semangat belajar di semester selanjutnya. Walaupun terkadang beberapa teman menyinggung Dea karena peringkatnya turun, gadis itu memilih untuk mengacuhkannya. Dea harus lebih fokus meningkatkan nilai agar bisa mencapai impiannya menjadi seorang penulis terkenal. Lebih-lebih jika dapat memberikan motivasi dan hal positif kepada orang banyak. Jika hal itu terjadi, sujud seratus kali pun tak mampu menggambarkan rasa syukurnya yang begitu besar.

            Dea memutuskan untuk bergabung di organisasi mading sekolah dan rajin berkonsultasi dengan guru bahasa Indonesia untuk meningkatkan kemampuan berbahasanya. Guru tersebut dengan telaten dan sabar menjawab berbagai pertanyaan yang Dea ajukan. Saat pelajaran berlangsung pun Dea menjadi murid yang paling aktif menjawab dan bertanya, sehingga terjadilah umpan balik di antara guru dan murid dalam kegiatan belajar mengajar. Gadis itu begitu bersemangat, berbeda dengan kebanyakan teman sekelasnya yang lebih memilih untuk tidur dengan berbantal tangan.

            Niat dan usaha yang keras membuat Dea ditunjuk sebagai perwakilan sekolah untuk mengikuti lomba menulis cerpen. Dea tak menganggapnya sebagai beban, melainkan sebagai sebuah kesempatan emas untuk menyalurkan bakat menulisnya. Apalagi Dea yang mendapatkan dukungan penuh dari orang tua dan guru bahasa Indonesia. Ia menjadi sangat yakin dan optimis dapat meraih penghargaan yang sesuai dengan minat dan bakatnya itu.

            Selama seminggu, setidaknya Dea berlatih membuat tiga sampai lima cerpen. Tak hanya itu, ketika menemukan kosakata baru, Dea dengan cepat membuka kamus di handphone miliknya untuk menuntaskan rasa ingin tahu mengenai arti dari kata tersebut. Semua yang berkaitan dengan kebahasaan, Dea pelajari, seolah sudah menjadi makanannya sehari-hari.

            Saat pengumuman pemenang lomba menulis cerpen, para juri menobatkan Dea sebagai juara satu. Mengetahui hal itu, Dea tak dapat membendung rasa senangnya. Gadis itu langsung memeluk guru bahasa Indonesia yang sudah mendampinginya selama lomba berlangsung. Tak lupa, ia pun mengucapkan banyak terima kasih kepada beliau.

            “Kalau gak ada Bu Guru, pasti Dea gak akan sampai di titik ini,” ujar Dea sambil membawa piala dan piagam penghargaan dari hasil kerja kerasnya.

            “Semua yang kamu dapatkan hari ini adalah buah dari doa dan usaha keras kamu Dea. Bu Guru hanya membantu mengasah kemampuan kamu. Selebihnya, kamu menang karena memang punya bakat dalam hal ini. Selamat ya, Dea. Bu Guru bangga sama kamu,” puji guru bahasa Indonesia itu.

              Setelah mendapatkan penghargaan dan dukungan dari orang sekitar, Dea menjadi semakin percaya diri. Buktinya, ketika masyarakat mengadakan kerja bakti, Dea dengan senang hati menawarkan diri untuk membuat mading yang akan dipajang di dekat pos ronda. Dibantu anak-anak seusianya, Dea menghias mading yang belum diganti selama berbulan-bulan. Mereka pun sesekali bercanda untuk mencairkan suasana.

            Ketika mading selesai dibuat, Dea dan teman-temannya yang lain memandangi mading tersebut dengan rasa puas dan bangga. Meski sedikit lelah, semua kerja keras mereka mengumpulkan alat, bahan, dan materi mading terbayar lunas saat beberapa warga yang baru selesai melakukan kerja bakti itu menghampiri mading karena penasaran. Hal itu tentunya menjadi pertanda bahwa warga tertarik dengan mading buatan mereka.

            Namun, mendadak seorang bapak-bapak menyeletuk, “Mading murahan kenapa dipajang di sini?”

            Mendengar itu, Dea sedikit merasa tersinggung. Orang tersebut seakan sudah meremehkan hasil karya mereka, termasuk artikel, cerpen, dan puisi yang Dea buat. Gadis itu tak mau melawan, sebab takut dianggap tak sopan. Dea lebih memilih memendam rasa sakit hatinya ketika bapak itu malah melengos pergi begitu saja, seakan menganggap mading tersebut sebagai sesuatu yang dapat merusak mata. Apakah begini cara yang benar untuk menghargai karya orang lain?

            Di tengah ketegangan itu, salah satu tokoh masyarakat di sana menghampiri Dea dan teman-temannya. Beliau berkata, “Jangan diambil hati ya? Mading yang kalian buat sudah bagus kok. Hanya saja, mungkin suasana hati Pak Romli sedang buruk, jadi beliau berkata demikian. Apapun yang terjadi, kalian harus terus berpikir positif.”

            Dea beserta teman-temannya pun menanggapinya dengan anggukan pelan. Meski begitu, Dea termasuk orang yang tak gampang melupakan ucapan buruk dari orang lain. Ia akan berpura-pura tak acuh. Namun, ucapan buruk itu akan terus mengendap di pikirannya, entah sampai kapan. Sesuatu yang bisa Dea lakukan untuk membalas ucapan tersebut adalah dengan menjadi anak yang berprestasi dan bisa mencapai kesuksesan di kemudian hari. Dea sangat yakin akan hal itu.

            Untuk membayar segala kegagalan dan ucapan buruk orang-orang di masa lalu, Dea melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi dengan memilih jurusan yang sesuai minat dan bakatnya, yaitu sastra Indonesia. Walaupun beberapa orang mencemoohnya dengan berkata, “Bakal jadi apa kamu kalau masuk jurusan sastra Indonesia?” Dea tetap yakin akan keputusannya. Apalagi ada kedua orang tua yang selalu mendukungnya. Jika saja Dea mengambil jurusan yang tak ia sukai, hal itu sama saja dengan bunuh diri. Dea akan terombang-ambing dalam gelombang kebingungan, dan merasa bahwa setiap hari adalah beban yang tak akan pernah berakhir. Maka dari itu, Dea tegaskan kepada  semua orang bahwa memilih jurusan yang sesuai minat dan bakat akan mengantarkannya kepada kesuksesan.

            Masa depan yang cerah telah bersambut. Dea sudah berhasil mencetak tiga buku karyanya sendiri selama mengenyam pendidikan di universitas. Setelah lulus, Dea sibuk melamar kerja di beberapa perusahaan yang sekiranya membutuhkan pekerja lulusan sastra Indonesia. Awalnya sulit memang. Namun, pada akhirnya, ia berlabuh di sebuah perusahaan penerbitan kecil di pojok kota. Sama sekali Dea tak merasa keberatan, karena niatnya bekerja hanya untuk mencari pengalaman dan belajar banyak hal dari sana. Rencananya, selepas Dea berhenti bekerja, ia akan membuka perusahaan penerbitan sendiri seperti yang ia impikan selama ini.

            Semuanya terasa begitu mudah ketika impian itu tak hanya bersarang di pikiran, melainkan disertai dengan niat dan usaha yang besar untuk mewujudkannya. Beberapa tahun setelah itu, Dea berhasil mendirikan perusahaan penerbitan dan sudah merekrut beberapa pegawai yang akan bekerja bersamanya. Dea bergerak sedikit demi sedikit, tetapi tujuannya sudah pasti. Oleh karena itu, rencana dan impiannya bisa terwujud satu per satu.

            Perusahaan yang didirikan Dea berkembang menjadi lebih besar dan sukses. Tak hanya menerbitkan karya milik orang lain, Dea juga aktif mencetak bukunya sendiri. Bukunya laris terjual hingga ke kota-kota kecil, berhasil memberikan pengaruh yang baik kepada masyarakat yang membacanya. Mulai dari novel romansa, novel genre lainnya, bahkan buku yang berisi motivasi pun sudah pernah Dea cicipi. Semua karya yang telah ia buat itu berhasil membuat namanya menjadi semakin besar.

            Terkadang Dea melamun, mengingat nilai-nilainya yang tak sesuai harapan, meski sudah diperjuangkan setengah mati. Begitu pula dengan ucapan buruk orang-orang yang bisa memacu Dea menjadi sebesar sekarang. Mengingat itu semua agaknya membuat Dea bersyukur bisa mendapatkan pendidikan di rumah yang bisa membentuk karakternya, pendidikan formal yang ia tempuh untuk menemukan bakat sekaligus mengasahnya, serta pendidikan di masyarakat yang mengajarkan norma-norma yang berkembang di dalamnya.

            Tiba-tiba sebuah ide berkelebat di pikirannya. “Bagaimana jika aku membuat buku yang dikhususkan untuk Ayah dan Ibu, guru bahasa Indonesia, serta orang-orang di sekitar yang berjasa untuk hidupku, ya?”

Dea sadar, bahwa dengan pendidikan, Dea bisa menjadi orang yang lebih berwawasan, berkarakter baik, tak mudah putus asa, dan semakin yakin bahwa semua impian dapat diwujudkan. Pendidikan formal maupun nonformal yang Dea terima selama ini bisa membuatnya terus hidup, dalam artian menjadi orang sukses yang dapat berguna bagi banyak orang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun