Dalam sebuah teori kesenian, dijelaskan oleh Horaitus dalam Teeuw (1984), substansi dari karya seni ataupun sastra mesti berlandas pada dua hal pokok yakni sebagai media penghibur (entertain), dan sebagai ajaran moral yang memberi nilai manfaat di kehidupan sosial (edukatif). Senada dengan teori kesenian di atas, dalam kerangka kesenian realisme sosialis-pun dikatakan jika karya seni mesti menjadi instrument yang bermutu estetis dan idologis (Toer, 2003). Kedua pokok ini mesti dikawinkan agar melahirkan karya yang sehat untuk kesadaran kritis rakyat.
Film, sebagai salah satu karya seni, sangatlah berpengaruh dalam pembentukan karakter masrayakat. Melalui film penonton dapat mengaktifkan imajinasi, terpengaruhi, bahkan meniru adegan dari tokoh yang difavoritkan. Tentu hal tersebut bisa berdampak negative bagi masyarakat jika Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) sebagai penanggung jawab penyiaran, terus saja menyajikan cerita percintaan segitiga, kekerasan anak sekolah dan hal mistik/horror yang tentu akan mendegradasi kesadaran kritis masyarakat. Itulah mengapa jika penyiaran film di Indonesia mesti berpijak pada kedua teori di atas agar dapat menarik simpatik dan memantik nalar dari penikmat karya.
Film Joker yang rilis baru ini (2/10/2019), dapat menjadi representasi dari teori horaitus di atas akan nilai entertain dan edukasinya yang dapat memuaskan penikmat cinema. Tak heran jika Film yang diperankan oleh Joaquin Phoenix ini menduduki pringkat teratas box office (versi CNN Indonesia, Senin 7/10/2019). Beberapa pengamat perfilm-an, mengkaji film ini dari sudut pandang Psikologi. Tentu kajian tersebut tidaklah salah,mengingat Psikologi sebagai suatu bidang ilmu pengetahuan mengkaji aspek psikis dan mental dari suatu tokoh.
Tulisan ini, ingin menyajikan perspektif berbeda dengan menarik suatu diskursus analisa klas dari suatu keadaan sosial yang membentuk karakter Joker. Namun, sebelum membahas lebih jauh tentang apa yang membentuk karakter Joker, penulis merasa perlu untuk mengelaborasi teori klas sosial sebagai hal fundamen pada tulisan ini.
Teori Klas Sosial
Berdasarkan kajian sosiologi, karakter manusia tidaklah ditentukan oleh keadaan internal (mental/psikis), namun ia dibentuk oleh suatu keadaan external (keadaan sosial) yang saling berkontradiksi (Prawironegoro, 2012). Setiap keadaan sosial, tentu, tak dapat dipisahkan oleh sebuah system ekonomi politik di suatu tataanan masrayakat. Jika system ekonomi pada tatanan masyarakat tersebut eksploitatif, maka bangunan politik/pemerintahan turut mewarnai atmosfir kehidupan yang eksplotatif. Sebaliknya, bila system ekonomi di suatu Negara kolektif/demokratis, maka bangunan pemerintahan pada Negara tersbeut akan demokratis.
Pada perkembangannya, kedua system di atas akan membentuk dua klas sosial saling berkontradisktif, satu sama lain yakni klas elit (minority) dan non-elit (majority). Masyarakat yang berada pada klas sosial pertama adalah mereka yang memilki power, baik secara ekonomi ataupun politik, dalam menentukan kebijakan publik.
Karena memiliki kekuasaan dalam suatu system, maka elit ini akan selalu melahirkan kebijakan yang tentu berpihak dan akan terus mempertahankan statusquo mereka. Berbeda dengan kluster di atas, masyarakat yang berada dalam ruang alam "non-elit" tidak memiliki power secara ekonomi maupun politik. Klas ini kerapkali menjadi objek system yang cendrung eksploitatif dan diskriminatif (Asrinialdi, dalam, Politik Masyarakat Miskin Kota, 2012).
Berdasarkan teori di atas, terang jika dikatakan bahwa masyarakat yang terintegrasi dalam kluster elit, maka karakternya akan eksploitatif, koruptif, dan individualis (lantaran fondasi dari system ekonominya eksploitatif). Secara politik, klas elit akan selalu menjadi subjek dalam merumuskan kebijakan publik, meski, berimbas pada  klas non-elit.
Realitas dalam Film Joker
Meski tak dijelaskan secara ekplisit terkait system ekonomi dan politik yang ada pada film Joker, namun penulis dapat menyimpulkan jika system yang terbangun pada film tersebut adalah Kapitalisme. Kesimpulan ini berangkat dari dua alasan, pertama film ini dirilis di negera adi kuasa, Amerika Serikat yang menurut pandangan Kristeva dalam bukunya Kapitalisme, Negara, dan Masyarakat (2015), Amerika Serikat menganut paham Kapilisme.
Alasan kedua, dalam film tersebut, Thomas Wayne selaku pengusaha kaya (terintegrasi dalam klas elit) berkeinginan untuk menjadi politisi dan Walikota Gotham City. Tentu sebagai pebisnis, Wayne memiliki capital (modal) yang besar untuk bertarung dalam merebut kursi Walikota. Diketahui, dalam sistem demokrasi yang bercorak kapitalistik maka hanya pemodal/kapitalislah yang dapat mewarnai kekuasaan politik (Lukman, Alternatif, 2013). Olehnya itu, kedua alasan inilah yang membuat penulis menyimpulkan jika system pada film joker tersebut, menganut system Kapitalisme.
Kembali pada film Joker, nyatanya pencalonan Wayne menimbulkan reaksi dan penolakan dari massa rakyat (terintegrasi dalam non-elit) yang begitu bergejolak. Dari sudut pandang penulis, penolakan rakyat Gotham terhadap pencalonan Wayne lantaran profesinya sebagai entrepreneur tidak mewakili kepentingan masyarakat Gotham yang ingin keluar dari cengkraman penindasan system kapitalisme. Pencalonan Wayne, menurut penulis, tidak menjadi jawaban bagi warga gotham dalam mengakses kebutuhan hidup seperti pekerjaan, kesehatan, dan tempat tinggal yang layak.
Profesi Joker sebagai badut dan komedian amatir adalah kenyataan pahit atas sulitnya mengakses pekerjaan yang layak. Dimata masyarakat umum profesi ini tidak mendapatkan kedudukan sosial yang terhormat, malah Joker kerap mendapatkan tindasan fisik (pemukulan) dan mental (hinaan). Selain itu, sulitnya mengakses pemenuhan hak atas kesehatan juga tampak di Film ini.
Saat joker melakukan konsultasi kesehatan mental dengan dinas sosial, Joker hendak meminta obat yang dulu  kerap ia konsumsi. Sayang, permintaan joker tersebut tidak dapat dipenuhi oleh dinas sosial lantaran obat tersebut telah dikenakan biaya. Kondisi inilah yang membuat penyakit mental Joker bertambah parah.  Â
Bagi penulis, substansi yang ingin disiarkan film Joker ini adalah ketidak hadiran Negara dalam pemenuhan kebutuhan ekonomi, sosial dan budaya (Ekosob) masyarakat Gotham. Diperah lagi karena Wayne, sebagai calon walikota hanya sibuk memainkan drama pencitraan tanpa mempertarungkan gagasan politik dalam menyejatrahakan rakyat Gotham.
Kesamaan Indonesia
Jika sebelumnya penulis menjelaskan system ekploitatif dalam film Joker, maka dalam kesempatan ini penulispun ingin mengeloborasi system ekonomi-politik Indonesia sebagai keadaan objektif yang menimpa rakyat. Sistem yang terbangun di negeri ini adalah semi Kolonial semi feodal. Â Kolonialisme, sebagai sistm, tampak terlihat lantaran kekayaan geografis Indonesia telah menjadi sasaran empuk bagi Korporasi international yang menanamkan modal di negeri ini.
Menurut Siregar dalam bukunya Menentukan nasib sendiri versus imprealisme (2000), penjajaham selalu bertujuan untuk merampas sumber daya alam di suatu negara, yang salah satunya, dengan cara agresi militer. Meski penjajahan saat ini tidak lagi fisik, namun tetap saja kekayaan geografis bangsa terus tergerus hingga membuat rakyat menjadi terhisap. Maka terang jika dikatakan Semi Kolonial (setengah jajahan).
Selain itu, dikatakan semi feodal, karena di negeri ini, masih bercokolnya penguasa-penguasa tanah/lahan produktif yang kini memegang pucuk kekuasaan baik pada level ekskutif maupun legislative. Feodalisme saat ini memilki corak produksi yang berbeda dengan feodalime dulu (agrarian). Kehadiran penguasa tanah ini, yang berada di lingkaran eksekutif maupun legislative, sebagai penyedia lahan bagi korporasi international dalam menanamkan saham.
Praktis, dampak dari system eksploitatif ini adalah mayoritas rakyat (dari kalangan non-elit) tidak dapat menikmati kekayaan negeri yang begitu melimpah karena seluruhnya dibawa ke negera luar. Hal inilah yang menybabkan anggaran pendapatan Negara tak pernah cukup dalam memenuhi kebutuhan hidup rakyat seperti hak atas pendidikan, pekerjaan dan kesehatan.
Untuk diketahui, serapan tenaga kerja di Sulawesi Selatan (Sulsel) mengalami penunuran. Padahal kran investasi telah dibuka lebar oleh pemerintah bagi investor yang ingin menanamkan modal dinegeri ini. Sayang, kran investasi itu tidak menjadi jawaban dalam penyediaan lapangan kerja. Alhasil di tahun 2019 ini, Pemerintah Provinsi Sulsel mengungkapkan jika pengangguran di Sulsel telah mencapai 225 ribu (Harian Fajar, 30/6/2019). Ketidakhadiran negera dalam menyediakan lapangan pekerjaan menyebabkan maraknya aksi demonstrasi oleh mahasiswa bahkan tindakan criminal (pencurian, pembegalan, dan penipuan) yang dilakukan oleh rakyat yang berfikir pendek.
Selain itu, dibidang kesehatan, iuran BPJS kini melonjak naik. Bahkan bila masyarakat telat membayar iuran BPJS, maka akan dikenakan sanksi admininstrasi yang irasional dimata masyarakat umum seperti tak mendapatkan layanan publik dalam kepegurusan Izin Membangun Bangunan (IMB), Surat Izin Mengemudi (SIM), Sertifikat Tanah, dll (Liputan 6.com Sanksi Buat Penunggak Iuran BPJS Kesehatan Tak Manusiawi, 11/10/2019). Tentu, kenaikan iuran BPJS dan sanksi adminintratif yang tak logis dapat menjadi penyebab sulitnya rakyat dalam mengakses kesehatan. Terang jika dikatan Rakyat Indonesia saat ini ibarat Joker yang kesulitan dalam mengakses kebutuhan hidup.
Sebagai kesimpulan dari tulisan ini, penulis berpendapat jika menyaksikan joker ibarat menyaksikan wajah rakyat Indonesia. Jika Joker sebagai tokoh fiktif adalah korban sistem eksploitatif kapitalisme, maka rakyat Indonesia, sebagai tokoh nyata adalah korban dari system semi colonial semi feudal.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI