Mohon tunggu...
Fariastuti Djafar
Fariastuti Djafar Mohon Tunggu... Dosen - Pembelajar

Pembelajar sepanjang hayat, Email:tutidjafar@yahoo.co.id

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Pendidikan Gratis yang Mahal: Potret Pendidikan di Kota Singkawang

4 Juli 2015   01:41 Diperbarui: 4 Juli 2015   01:41 5504
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sumbangan hadiah juara

Rupanya sekolah ini mengandalkan pungutan kepada siswa baru untuk memberi hadiah kepada juara. Juara tidak selalu dalam bentuk uang atau barang. Jika tidak mempunyai anggaran untuk hadiah, berikan saja sertifikat sehingga tidak perlu membebani orangtua siswa. Sekolah di negara-negara maju biasa memberikan sertifikat sebagi penghargaan kepada siswa. Ketika pejabat bidang pendidikan studi banding ke negara maju, tidak melihat hal inikah yang patut dicontoh, jadi bukan hanya sekedar jalan-jalan saja.  

Baju seragam

Sekolah harusnya mengajar hidup hemat dan sederhana tetapi ternyata tidak selalu demikian. Baju seragam baru harus dibeli siswa baru tak peduli siswa tersebut punya kakak yang baju seragamnya sudah kekecilan sehingga bisa untuk si adik. Baju seragam ini juga sebenarnya cara pandang bagaimana supaya tidak terlihat jurang antara kaya dan miskin dengan pengorbanan orang miskin. Bukankah yang berat membeli baju seragam adalah orang miskin ? Mengapa bukan siswa kaya saja diwajibkan menggunakan pakaian sederhana supaya tidak jauh berbeda dengan siswi miskin?

Tabungan pelajar

Mengajar anak menabung adalah bagus. Kalau baju seragam wajib beli walau baju punya si kakak masih layak pakai sehingga membuang uang yang tidak perlu, di sisi lain sekolah mewajibkan hidup hemat dengan mewajibkan menabung. Tampaknya sekolah lebih mementingkan uang masuk ke sekolah dengan mengatasnamakan tabungan daripada menanamkan budaya hidup hemat. Masalahnya adalah ketika menabung diwajibkan pihak sekolah tanpa memandang kemampuan orangtua siswa.


Iuran Qurban

Jika ada berita tentang sekolah menyumbang hewan untuk perayaan kurban, jangan cepat memuji sebagai sekolah yang peduli kepada orang miskin. Bahkan yang terjadi bisa sebaliknya karena iuran qurban ini diperoleh dengan cara “pemaksaan secara halus” melalui proses pendaftaran siswa baru. Pungutan tersebut justru bertentangan dengan nilai-nilai Islam. Ibadah qurban adalah untuk Muslim, bagaimana dengan siswa non Muslim?. Selain itu, anak SMP Muslim tidak wajib untuk berqurban karena mereka belum mempunyai penghasilan dan orangtuanya belum tentu mampu. Qurban adalah ibadah individu, bukan lembaga seperti sekolah. Jadi, pihak sekolah tidak layak merasa berbangga telah melaksanakan qurban dengan menarik iuran qurban dari siswa baru. Apakah sekolah ini betul akan menggunakan uangnya untuk ibadah qurban ? Ini juga masih perlu dibuktikan karena sudah menjadi rahasia umum sekolah setiap tahun menarik iuran untuk “uang pagar” tetapi pagar sekolah tidak juga dibangun atau dibangun dengan menggunakan anggaran pemerintah.

Masih banyak jenis pungutan lain yang bisa ditambahkan pada daftar di atas. Sekarang, apakah menteri pendidikan Anis Baswedan akan mengulang “gertak sambal” model pejabat sebelumnya yang ternyata tidak mampu menghentikan pungutan pihak sekolah ? Sampai hari ini belum terdengar sikap pak Menteri terhadap pungutan sekolah tersebut. Berbagai pungutan dalam situasi ekonomi yang lesu akhir-akhir ini akan menambah berat beban orangtua yang bahkan bisa menyebabkan mereka meminjam uang dari rentenir untuk pendidikan anak-anak mereka. Pemerintah kita tampaknya lebih heboh dengan “kartu pintar” dan “revolusi mental” yang anggarannya luar biasa besarnya daripada menindak tegas praktek yang telah berlangsung lama di sekolah negeri.

Sudah saatnya pemerintah memberi sanksi tegas kepada pihak sekolah agar menghentikan segala macam pungutan yang tidak jelas dan bahkan jika perlu dengan melibatkan Komite Pemberantasan Korupsi (KPK). Komite Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) juga harus turun tangan bergerilya mencari informasi dari para ketua kelas SMP dan SMA agar mereka tidak dieksploitasi pihak sekolah untuk meminta sumbangan teman-temannya untuk keperluan sekolah yang jelas-jelas ada anggarannya dari Pemerintah. Ini perlu dilakukan hati-hati. Jangan sampai si anak ditekan pihak sekolah karena telah melaporkan hal tersebut.

Pada saat ini jangan terlalu banyak berharap kepada penilik sekolah yang di antaranya adalah mantan kepala sekolah yang dulunya sebagian dari mereka mungkin melakukan praktek yang sama di samping mereka adalah kolega yang “tahu sama tahu”. Mereka justru perlu ditegur dan ditindak tegas oleh pejabat terkait jika sekolah yang diawasinya melakukan pungutan-pungutan yang tidak semestinya, kecuali mereka sudah membuat laporan tapi tidak digubris oleh atasannya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun