Mohon tunggu...
Mohammad Farhan Kholil
Mohammad Farhan Kholil Mohon Tunggu... Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati Bandung

makhluk hidup sementara

Selanjutnya

Tutup

Politik

Dibalik pelukan dan ancaman

3 September 2025   14:30 Diperbarui: 3 September 2025   14:30 22
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pidato Presiden semalam seperti hujan di musim kemarau; katanya ingin menyejukkan, tapi kenapa banyak hati justru jadi gerah? Di tengah riuh demo dan tangis keluarga Affan Kurniawan, Presiden tampil di layar kaca, meluncurkan deretan kalimat yang kalau dipilah-pilah, tidak sekadar mengucapkan "turut berduka". Ada makna dan jurus tersembunyi di balik kata yang terucap.

Mari kita pakai kacamata Teori Tindak Tutur---sebuah jurus pamungkas dari ahli bahasa Austin dan Searle yang bilang, kata-kata itu bukan cuma bunyi. Kata bisa jadi janji, ancaman, rayuan, sampai tipuan. Dalam pidato semalam, Presiden memberi janji: "Keluarga korban akan dijamin pemerintah." Eh, beberapa detik kemudian, Presiden tegas: "Petugas yang salah akan dihukum sekeras-kerasnya." Tapi, di tengah janji itu, tiba-tiba muncul kalimat: "Harus waspada, jangan sampai ada yang bikin huru-hara." Mendadak demo berubah jadi potensi chaos. Bahasa ini, kata para ahli, adalah illokusi---senjata yang bisa bikin rakyat tenang, tapi juga curiga dan takut sekaligus.

Di ujung pidato, Presiden mengajak percaya, suruh tenang, dan tawarkan perbaikan. Apakah itu janji manis atau sekadar pengalihan isu? Dengan gaya bahasa implikatur ala Grice, pesan "aspirasi sah silakan disampaikan" jadi terdengar seperti, "Tapi jangan macam-macam, nanti dikira biang kerusuhan." Begitulah, kata-kata memang punya sayap: bisa terbang ke mana saja, bahkan ke ruang-ruang hati yang paling cemas.

Kadang, bahasa pemimpin memang lihai. Di satu sisi, tangan kanannya memeluk korban, tangan kirinya mengacung peringatan. Rakyat yang mendengar cuma bisa bertanya dalam hati: pidato ini betul-betul untuk kami, atau untuk menata citra di depan kamera? Bukankah sebaiknya kata-kata pemimpin jadi penenang, bukan membuat rakyat makin takut dan sunyi?

Begitu, sahabat. Pidato tak akan berubah nasib Affan, tapi kritik dengan teori pragmatik bisa menjadi jangkar: biar rakyat tak sekadar termakan retorika, tetap berhak menagih janji, dan punya hak bersuara---tanpa perlu dicap biang kerusuhan.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun