Selama ini cancel culture selalu diucapkan dalam konotasi negatif. Bagi saya pribadi, istilah tersebut mengandung konotasi netral. Konotasi melekat pada konteksnya. Seseorang di-cancel karena dia pindah agama misalnya, adalah contoh cancel culture yang buruk. Seseorang di-cancel karena melakukan kekerasan seksual adalah hal yang baik. Cancel culture seperti halnya pedang bermata dua. Dia bisa melukai orang tak bersalah, bisa juga menjadi hukuman sosial bagi mereka yang jahat.
Langkah paling bijaksana bagi kita sebagai warganet yang baik hati dan tidak sombong, adalah dengan berusaha semaksimal mungkin untuk tidak di-cancel maupun meng-cancel. Sekalipun kita merasa berhak untuk meng-cancel seseorang, ingatlah bahwa kita hidup di zaman post-truth. Kebenaran seringkali datang belakangan namun komentar-komentar negatif kita akan selamanya menjadi jejak digital. Saat kita mengetik di medsos, selalu ingat bahwa yang akan membaca tulisan kita adalah juga seorang manusia. Maka bersikaplah seolah mereka ada di hadapan kita dan sedang berinteraksi langsung dengan kita. Dengan begitu kita bisa menjadi manusia seutuhnya, bahkan di dunia maya.
Referensi:
https://www.ranker.com/list/historical-exiles/setareh-janda
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI