Semakin sedih rasanya diriku,
tak terasa mulai berkaca mataku.
Menitik sudah, bak titikan air dari keran.
Aku bergumam,
"Ke manakah hidupku ini ingin kubawa?"
Perlakuan yang kudapat sungguh menyayat hati.
Dengan kata dan perbuatan,
mereka hunjamkan lisannya tanpa perasaan,
hingga habis air liur mereka
untuk mencaci orang yang belum tentu
lebih buruk dari mereka sendiri.
Bagaimana pun engkau berusaha menghentikan lidah seseorang,
engkau tak akan mampu menutup mulut mereka satu per satu.
Yang mesti dilakukan ialah:
anggaplah ucapan mereka seperti angin lalu,
yang tak berarti di hadapan kita.
Mereka akan tetap mencela,
walau kita mati membusuk,
bak anjing terbaring lemas di pinggir jalan.
Tak ada orang yang peduli,
yang ada hanyalah mereka yang terus mencaci,
walau engkau telah masuk ke perut bumi yang terdalam.
Untuk mengobati luka ini,
maka kutuliskan dengan hati-hati,
bak seorang dokter menulis resep bagi pasiennya:
"Jadikanlah kedamaian di dalam hatimu.
Berbahagialah engkau walau seluruh dunia menentangmu.
Jalankan mimpimu,
jangan pedulikan lidah orang lain.
Niscaya hidupmu akan tenang dan sentosa,
karena engkau menjalankan apa yang engkau senangi."
Apakah yang kusampaikan ini omong kosong?
Apakah ini bermanfaat untuk diriku?
Apakah ini ada artinya?
Pertanyaan-pertanyaan itu tak bisa kujawab di sini.
Hanya engkau yang mengetahui jawabannya.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI