Renungan Malam
Malam telah datang menghapuskan siang.
Telah tenggelam dengan tenangnya, hingga hilang sinarnya.
Terbitlah cahaya merah merona, awan syafaq merah bak ucapan selamat tinggal.
Manusia datang berbondong-bondong ke rumah mereka,
bak itik yang pulang dari sawah.
Mereka menikmati waktu istirahat,
beratap malam, ditemani syahdunya kesunyian.
Jangkrik-jangkrik mulai berbunyi,
sebagai pelengkap dalam kegelapan,
bak orkestra yang mengiringi seorang penyanyi.
Aku termenung, duduk di atas kasurku,
dengan perasaan yang bercampur aduk.
Kemanapun aku pergi, pikiran jahatku terus mendatangi,
bak pasukan yang mengejar musuhnya.
Seperti jarum yang menghunjam ke dalam dada bertubi-tubi,
walau tak menghasilkan luka.
Namun luka di dada ini rasanya pedih sekali,
bak diiris-iris oleh jarum, menetap di sana begitu lama.
Hari demi hari, bulan demi bulan, tahun demi tahun,
bayang-bayang itu selalu datang mengintai,
bak polisi yang memburu residivis narkoba.
Manusia bergerak sesuai dengan tujuannya.
Ada yang mencari penghidupan,
ada yang mencari jabatan,
ada yang mencari harta,
ada yang mencari ilmu.
Namun ada sesuatu yang tak mereka sadari---
ketika telah lama berjalan,
tak terasa hati mereka menjadi kosong hingga kering.
Dada mereka ibarat kebun yang tak pernah disiram,
tanamannya layu, tanahnya retak.
Begitulah gambaran manusia yang hanya mengejar kepuasan,
yang hanya mementingkan apa yang tampak di luar.
Walau tampak sejahtera,
di dalam hatinya ia sengsara---
menangis hatinya dalam diam.
Itulah gambaran hidup bagi mereka
yang hanya memikirkan isi perut,
tanpa peduli dengan isi hati.
Ibarat tubuh butuh makan,
maka hati pun perlu diberi asupan.
Tanpa itu, panas akan datang mendera,
melekat di dalam dada.