Gunjingan tak pernah surut. Seperti angin yang berembus dari satu sudut desa ke sudut lainnya, bisik-bisik itu terus berkeliaran. Aku tahu mereka berbicara tentangku. Tentang seorang perempuan yang menghabiskan hidupnya di tengah kobaran api dan benturan besi, jauh dari kehidupan yang mereka anggap lumrah bagi kaumku. Tetapi aku tidak peduli. Aku telah jatuh cinta yang membara seperti nyala perapian tempatku menempa logam.
Aku, Lintang, seorang pembuat senjata tradisional di desa terpencil di kaki Gunung Wilis. Bukan sekadar senjata biasa, tapi pusaka yang memiliki roh, sejarah, dan harga diri. Ketika teman-teman sebayaku sibuk bermain boneka atau belajar menenun, aku sudah tenggelam dalam dunia Ayah. Dunia besi, api, dan tetes keringat.
Ayah adalah seorang empu terakhir di desa ini. Sejak kecil, aku selalu terpesona melihatnya bekerja. Tangannya yang penuh bekas luka seakan menari dengan palu, menciptakan nyala api yang menari di udara. Aku sering mengintip dari balik pintu bengkel saat ia membentuk sebilah keris, mataku terpaku pada setiap percikan api yang meletup. Hingga suatu hari, aku tak bisa lagi sekadar menonton.
"Ayah, ajari aku," pintaku dengan mata berbinar.
"Kau perempuan, Lintang. Ini pekerjaan berat." Ayah menatapku lama, lalu tertawa pelan.
"Tapi aku ingin belajar," desakku.
"Baiklah. Tapi mulai dari hal yang mudah dulu." Ayah menghela napas panjang.
Begitulah aku mulai. Dari sekadar membantu memilih kayu terbaik untuk gagang keris, menggosoknya hingga halus, hingga akhirnya menyentuh logam. Bertahun-tahun aku mengasah keterampilan, diam-diam mencuri ilmu dari tangan Ayah. Ketika teman-teman sebayaku menikah satu per satu, aku tetap tinggal di bengkel, menempa besi dan mengukir pamor. Orang-orang mulai berbisik, menyebutku aneh, menyebutku perawan tua. Tapi aku tidak peduli. Aku telah memilih jalanku.
Namun, hidup tak pernah semulus bilah pusaka yang telah disempurnakan. Ayah meninggal di usia senjanya, meninggalkan warisan yang tak mudah kupertahankan. Tanpa pelindung, aku menjadi sasaran. Para lelaki pandai besi di desa mulai menantangku, mencoba merendahkan hasil karyaku.
"Apa yang bisa dilakukan perempuan dalam dunia besi dan api?" kata mereka sambil tertawa.
Aku membalas tantangan itu dengan kerja keras. Hari demi hari, aku membakar besi dengan lebih semangat, menempa dengan lebih kuat. Hingga suatu hari, karyaku menarik perhatian seorang kolektor dari kota. Keris buatanku dibeli dengan harga yang tak pernah kuduga. Sejak saat itu, namaku mulai dikenal.
Tapi semakin tinggi aku terbang, semakin banyak tangan yang ingin menarikku jatuh. Suatu malam, seseorang menyelinap ke bengkelku. Aku menemukan bilah-bilah kerisku hancur, warangka yang sudah kusiapkan patah berkeping-keping. Aku marah, tetapi aku tidak menangis. Aku membalas dengan cara terbaik yaitu bekerja lebih keras.
Malam itu, aku bermimpi. Dua sosok muncul dalam kegelapan. Seorang lelaki tua berambut putih dan seorang pemuda dengan sorot mata tajam. Mereka tidak berbicara, hanya tersenyum kepadaku.
"Teruslah menempa, jangan berhenti." Senyum yang membawa pesan.
Ketika terbangun, aku merasa ada sesuatu yang berubah dalam diriku. Aku kembali ke bengkel dan mulai menempa keris yang paling indah yang pernah kubuat. Keris itu bukan untuk dijual. Ia adalah bagian dari diriku. Satu-satunya pendamping sejati dalam hidupku.
Tahun-tahun berlalu, dan kini orang-orang tak lagi mencemoohku. Mereka datang untuk belajar, untuk membeli karyaku. Bahkan jurnalis dari berbagai tempat mewawancaraiku. Tapi mereka semua selalu bertanya hal yang sama.
"Sebagai perempuan, mengapa kau memilih jalan ini?" Tanya mereka.
"Karena besi dan api telah memilihku terlebih dahulu." Aku hanya tersenyum dan menjawab.
Aku pun akan terus menempa, selama nyala api masih menyala dalam hidupku. Namun, perjalananku belum selesai. Pada suatu hari, seorang pria tua datang ke bengkelku, mengenakan pakaian khas seorang empu. Ia memperhatikan setiap detail dari keris yang kugantung di dinding bengkel, mengamati pola-pola pamor yang telah kutempa dengan sepenuh jiwa.
"Kerja yang luar biasa," katanya dengan suara berat dan penuh pengalaman.
"Tapi kau belum melihat seluruh potensi dari yang kau buat." Jawabnya lagi.
"Maksudmu?" Aku menatapnya penuh rasa ingin tahu.
Pria itu tersenyum, lalu mengeluarkan sebilah keris tua dari balik kainnya. Bilahnya telah menua, tapi pamornya bersinar dengan kekuatan yang belum pernah kulihat sebelumnya. "Ini adalah pusaka yang diwariskan turun-temurun dari para empu sebelum kita. Keris bukan hanya tentang bentuk dan keindahan, tapi juga tentang jiwa yang tertanam di dalamnya."
"Bagaimana aku bisa mencapai tingkat seperti itu?" Aku menelan ludah, merasa tubuhku bergetar.
"Berguru padaku. Aku bisa mengajarimu apa yang belum kau ketahui." Pria itu meletakkan kerisnya di atas meja.
Hatiku berdebar. Tawaran itu terlalu berharga untuk ditolak. Aku mengangguk tanpa ragu. Maka dimulailah perjalanan baru dalam hidupku. Belajar bukan hanya soal menempa logam, tapi juga memahami filosofi di balik setiap bilah yang dibuat. Aku mendalami sejarah, mengunjungi tempat-tempat di mana para empu zaman dulu menempa pusaka mereka, dan bahkan berpuasa untuk memperdalam hubungan spiritual dengan karyaku. Bulan demi bulan berlalu, hingga akhirnya aku memahami esensi sejati dari pekerjaanku. Aku kembali ke bengkel dengan pengetahuan yang lebih dalam, dan karya-karyaku mulai memancarkan sesuatu yang lebih dari sekadar keindahan. Mereka memiliki jiwa.
Kini, bukan hanya orang desa yang datang ke bengkelku. Kolektor dari kota-kota besar, bahkan dari luar negeri, mulai berdatangan. Mereka ingin memiliki keris buatanku, tak peduli berapa pun harganya. Tapi bagiku, ini bukan sekadar bisnis. Setiap bilah yang kutempa adalah bagian dari warisan, dan aku memastikan hanya mereka yang benar-benar menghargainya yang dapat memilikinya. Aku, Lintang, bukan hanya seorang pandai besi. Aku adalah penerus tradisi yang telah berlangsung berabad-abad. Selama tanganku masih sanggup mengangkat palu, selama api masih berkobar di perapianku, aku akan terus menempa. Sebab dalam setiap dentingan besi yang beradu, ada kisah, ada nyawa, ada warisan yang harus tetap hidup.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI